SEJARAH DIKOTOMI PENDIDIKAN DI INDONESIA

18.41





SEJARAH DIKOTOMI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Amrizal

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah
Kecerdasan bangsa adalah aset utama bangsa untuk melestarikan bangsa  itu sendiri. Apa pun yang dimiliki oleh suatu bangsa; kekayaan alam, sosial dan budaya misalnya, tidak akan ada artinya bila pengelolaannya tidak dilandasi oleh kecerdasan. Demikian pula, apapun tujuan mulia negara bagi bangsanya tetap tidak akan pernah menjadi kenyataan bila tidak dilaksanakan dengan kecerdasan. Kecerdasan adalah kunci pemecahan masalah, dan kecerdasan hanya dapat ditingkatkan melalui pendidikan.[1]
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai secara nyata dari adanya kecerdasan dari sejumlah warga negara Indonesia, dan kecerdasan itu dapat berfungsi setelah disentuh oleh pendidikan. Kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya pendidikan dapat dilihat dari amanat yang telah dikeluarkan melalui pembukaan UUD 1945 alenia ke-4. Berikut petikannya:[2]
" Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan banhsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara R.epublik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Di samping itu, di dalam batang tubuh UUD 1945, bab X1II, pasal 31 ayat 1 &2 dikatakan bahwa, (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, (2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Pasal tersebut dengan jelas menghendaki agar pemerintah mengadakan satu sistem pendidikan nasional untuk memberi kesempatan kepada setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Atas dasar inilah pemerintah mendirikan sekolah-sekolah untuk melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, baik di perkotaan, pedesaan, atau bahkan di tempat-tempat terpencil sekalipun yang masyarakatnya sedikit dan berpencar-pencar antara satu dengan yang lainnya.
Hukum dasar, tentang pendidikan di atas merupakan bukti adanya kesadaran bangsa Indonesia akan arti penting pendidikan. Namun, hal itu belum diringi dengan kecerdasannya dalam menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. Sistem pendidikan yang diselenggarakan selama ini sangat bersifat dikotomik; pendidikan umum (SD, SLTP, SMU, SMK, Universitas umum, dan lain-lain) versus pendidikan keagamaan (MI, MTs, MA, Pesantren), pelajaran umum versus pelajaran agama, sampai kepada penyelenggara pendidikan antara Kementerian Pendidikan Nasional yang menyelenggarakan pendidikan umum dan Kemeterian Agama yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan.
Di samping itu, praksis pendidikan kita saat ini masih terlalu menekankan arti penting akademik, kecerdasan otak, dan jarang sekali menyentuh aspek kecerdasan emosi dan spiritual yang mengajarkan integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, dan ketahanan mental. Akibatnya, berkecamuknya krisis dan degradasi dalam ranah moral, sumber daya manusia, dan penyempitan cakrawala berpikir yang cenderung berkutat pada militansi sempit atau penolakan pluralitas. Padahal IQ (dzaka ‘aqli), EQ (dzka zihni), dan SQ (dzaka qalbi) merupakan komponen-komponen yang perlu dikembangkan secara harmonis sehingga menghasilkan daya guna yang luar biasa baik secara horizontal maupun vertical.[3]
Menurut Syafi’i Ma’arif, bahwa kelemahan sistem pendidikan ini berakar pada kerapuhan fondasi filosofis yang mendasari  sistem itu. Kerapuhan ini tercuat keluar dalam bentuk dualisme dikotomis antara apa yang dikategorikan sebagai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Ilmu-ilmu agama menduduki posisi fardhu ‘ain, sedangkan ilmu-ilmu sekular paling tinggi berada dalam posisi fardhu kifayah. [4]
Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga bisa muncul sekarang ini. Tulisan berikut berupaya menyelidiki proses sejarah tersebut; baik sebab-sebab kemunculannya, solusi-solusi yang pernah ditawarkan, dan akibat-akibat yang dimunculkan.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dikotomi Pendidikan
Dikotomi berasal dari bahasa inggris to dichototomize (kata kerja), dichotomous (kata benda), yang memiliki makna division into two, usually contradictory classes or mutually exclusive pair,[5] ‘ pembagian dua hal, yang biasanya memang terdiri dari dua kelompok yang berbeda atau dua pandangan yang sama-sama ekslusif”. Adapun dikotomi pendidikan memiliki makna pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama.[6] Makna ini secara sederhana dapat dipahami bahwa pada penghujung abad ke-11, yakni pada masa focus pembicaraan ini, di kalangan umat Islam telah terjadi pemilahan antara ilmu agama dan ilmu umum dengan memandang yang satu lebih supreme dari pada yang lain.
Di samping istilah dikotomi, ada terma lain yang memiliki makna yang sama yaitu dualisme. Kata dualisme itu sendiri adalah gabungan dua kata yang berasal dari bahasa Latin yaitu “dualis” atau “duo” dan “ismus” atau “isme”. “Duo” memberi arti kata dua sedangkan “ismus” berfungsi membentuk kata nama bagi satu kata kerja. Dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan. Secara terminologi, dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan. Oleh karena itu, dualisme ialah keadaan yang menjadi dua dan ia adalah satu sistem atau teori yang berdasarkan pada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua substansi. [7]
Dengan demikian Marwan Sarijo [8]  menyatakan bahwa istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama. Dengan pemaknaan di atas, dualisme dan dikotomi pendidikan adalah pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan atau ilmu umum. Dualisme dan dikotomi ini, bukan hanya pada tataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan. Dalam operasionalnya, pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing.

B. Sejarah Dikotomi Pendidikan di Indonesia
Dikotomi pendidikan di Indonesia telah ada sejak lama, tepatnya ketika Belanda menjajah negeri ini. [9] Belanda sebagai pemerintah kolonial, menurut pengamatan S. Nasution, telah menanamkan enam prinsip politik pendidikannya di Indonesia, yaitu: (1) dualisme, (2) gradualisme, (3) konkordansi, (4) kontrol sentral yang ketat, (5) tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis, dan (6) pendidikan pegawai sebagai tujuan utama.[10] Di samping itu, menurut Ki Suratman, ada tiga ciri atau sifat pokok pendidikan kolonial Belanda, yaitu:[11] (1)  bersifat heterogen, (2) bersifat deskriminatif, dan (3) cenderung inteletualistik   
Semenjak abad ke 20, arah etis (Etische Koers) dijadikan landasan idiil dalam sistem pendidikan di Hindia Belanda. Sejalan dengan pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, maka disusun  dasar pikiran atas dua pokok pikiran. (1) pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan Bumiputra; dan (2) pemberian pendidikan rendah kepada golongan Bumiputra disesuaikan dengan tenaga kerja murah. [12] Menurut Sumarsono, hal tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa kepentingan Belanda sebagai bangsa penjajah; seperti untuk meningkatkan pengetahuan mereka berkaitan dengan ilmu-ilmu umum dan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia, keperluan tenaga pembantu rumah tangga dari penduduk pribumi sehingga mereka diberikan pendidikan secukupnya, ingin mendapatkan simpati dari warga penduduk pribumi karena jasa pendidikan yang diberikan, kepentingan misionaris, dan lain sebagainya.[13]
Dengan demikian, saat itu terdapat dua corak pendidikan Indonesia, yaitu: (1) pendidikan tradisional pesantren yang hanya mengenal agama saja yang telah ada sebelum kolonial Belanda, dan (2) pendidikan modern kolonial Belanda yang menganut sistem persekolahan yang berkembang di dunia Barat, dan tidak mengenal agama. [14] Hal tersebut, menurut Syarifuddin Jurdi telah menciptakan semacam “dualisme pendidikan”  dalam kehidupan umat. Di satu pihak terdapat lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang berupa  pesantren-pesantren, dan di pihak lain mulai berkembang lembaga-lembaga pendidikan modern yang menganut sistem sekolah Barat yang pada umumnya bersifat sekuler. Dari lembaga-lembaga pendidikan model terakhir ini dilahirkan cendekiawan-cendekiawan, biasanya disebut intelektual, yang umumnya bersifat negatif  terhadap agama, sementara dari lembaga-lembaga pendidikan tradisional saat itu  muncul agamawan-agamawan, umumnya disebut alim ulama atau kiai, yang umumnya memiliki pandangan sempit.[15]
Untuk mencapai tujuannya, kolonial Belanda telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan baik formal maupun non-formal sebagai berikut :[16]
1.      Pada 1882 Belanda membentuk “ Pristeranden” yang bertugas mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren.
2.      Pada tahun 1905 di keluarkan Ordonansi  yang bertugas mengawasi pesantren dan mengatur izin bagi guru-guru agama yang akan mengajar. Menurut Alwi Shihab, Ordonansi itu secara khusus dimaksudkan untuk membatasi gerakan-gerakan guru-guru agama, dan secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam.[17]
3.      Pada 1925 dikeluarkan aturan yang membatasi pada lingkaran kiai tertentu yang boleh memberikan pelajaran mengaji.
4.      Pada tahun 1932 keluar lagi aturan yang terkenal dengan Ordonansi Sekolah Liar (Widhle School Ordonantie) yang berupaya memberantas serta menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberi pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah.
5.       Pencekalan terhadap kita-kitab yang mampu mendinamisasikan pemikiran dan tindakan kaum santri. Seperti kitab Risalah Tauhid, dan Tafsir al-Manar dari Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir al-Jawahir dan al-Quran wa al-‘Ulum al-‘Ashriyah dari Syaikh Thanthawi Jauhari, al-Islam Ruh al-Madaniyah dan ‘Izhat al-Nasyi’in oleh Musthafa al-Ghulayain. Padahal kitab-kita tersebut tidak memuat kaedah-kaedah politik, melainkan sekedar ada kandungan seruan moral untuk bersikap dinamis.
Menghadapi kebijakan politik pendidikan kolonial,  maka pesantren menempuh strategi ganda dalam rangka menjaga identitas religio-kulturalnya dari kedigdayaan penetrasi sistem pendidikan sekuler dan invasi kekuatan militer kolonial, yaitu: (1) penentangan tersembunyi dan perlawanan terbuka. Penentangan tersembunyi diwujudkannya dalam bentuk sikap konservatif, defensive, dan isolasionis, dan (2) perlawanan terbuka. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk sikap nonkooperatif dan pengobaran semangat  anti penjajah. Langkah ini dilatarbelakangi oleh kian menguatnya penetrasi budaya Barat modern dan kebijakan deskriminatif pemerintah kolonial terhadap umat Islam yang menorehkan pengalaman pahit sehingga terbagun citra negatif mengenai penjajah Barat.[18]
Tumbuhnya gelora perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang bergemuruh di berbagai penjuru dunia dan di tanah air  telah memicu pesantren untuk giat terlibat aktif dalam perjuangan melawan Barat kolonial secara terbuka. Keterlibatan ini pada akhirnya membentuk kesadaran “protonasiolisme” di kalangan Islam tradisional yang berorintasi pada penciptaan dan penggalangan nasionalitas vis a vis penjajah sehingga mampu mengubah fungsi pesantren yang semula sebagai lembaga pendidikan, menjadi a centre of anti-Duch sentiment (pusat pembangkit rasa anti Belanda).[19]
Militansi kebijakan perlawanan budaya ini telah membuahkan dua hal  yang justru saling berlawanan, ibarat pisau bermata dua: di satu sisi, ia berhasil mempertahankan tingkat kepahlawanan bangsa yang tak  kenal menyerah di kalangan umat Islam dan komunitas pesantren; sementaraa di sisi lain, hal tersebut justru telah meminggirkan dunia pesantren dari arus utama interaksi social-budaya dan pendidikan yang semakin diungguli oleh pola-pola interaksi modern sehingga kurang memperoleh berbagai faedah dari partisipasi dan pelibatan diri di dalamnya. [20]
Sebagai contoh, pada tahun 1810 M., pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan bahwa para kiai harus memiliki paspor bila mau mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain di Jawa; pada tahun 1825 M., pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang dimaksudkan sebagai pengawasan dan pengkangan terhadap kegiatan haji; pada 1905 M., pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang mengharuskan para guru agama Islam memiliki izin khusus untuk mengajar. [21]
Kebencian (sikap anti)  terhadap kolonial Belanda di kalangan pesantren dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi, yaitu (1) pengasingan diri ke desa-desa atau ke tempat yang jauh dari jangkauan kolonial; (2) bersikap nonkooperatif dan mengadakan perlawanan secara diam-diam; dan (3) memberontak dan  melakukan perlawanan secara fisik. [22]
Di samping kolonial Belanda, munculnya paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis dengan modernisasi pendidikannya (baca: madrasah) juga diakui turut andil dalam membentuk sikap dan kecenderungan yang memperkokoh solidaritas dan integritas antar komunitas pesantren. Menyangkut kemunculan dan ekspansi sistem pendidikan modern Islam yang digulirkan kalangan reformis, respons pesantren digambarkan sebagai “menolak sambil mengikuti”. [23] Namun, kehadirannya kemudian dianggap sebagai salah satu penyebab problem dikotomi pendidikan di negeri ini. Kehadirannya telah melahirkan dua pengelola pendidikan ; sekolah atau lembaga pendidikan yang mengajarkan pelajaran umum atau sekuler ditangani oleh Departemen Pendidikan, sedangkan madrasah ditangani oleh Departemen Agama. Hampir sama dengan tingkatan sekolah yang diawasi, dibimbing, dan dibantu oleh Departemen Pendidikan, madrasah juga dimulai dari tingkatan dasar (ibtidaiyah), menengah pertama (Tsanawiyah), dan tingkat atas (‘aliyah).  Lebih jauh, pemerintah juga telah mengembangkan pendidikan tinggi yang mengkhususkan diri pada studi Islam, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN).[24]
Demikian juga, telah terjadi dualisme antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sebagai gambaran dari pemisahan antara dunia pemerintah dan dunia swasta. Dunia swasta sulit untuk memasuki pemerintah. PTN sulit memasuki PTS dan sebaliknya PTS sulit untuk memasuki dunia PTN. Kedua makhluk tersebut seakan-akan bertentangan satu dengan yang lain yang seharusnya mempunyai suatu visi dan misi yang sama yaitu melahirkan tenaga kerja Indonesia tingkat tinggi yang dapat bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain. Selanjutnya, dualisme PTN dan PTS telah menghambat kemajuan serta peningkatan mutu pendidikan tinggi. [25]

C. Dampak Dikotomi Pendidikan Indonesia
Pada dasarnya, ilmu pengetahuan manusia secara umum hanya dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok: Natural Sciences, Social Sciences, dan Humanities. Persoalannya bukan pada pembagian tiga bidang ilmu yang sudah mapan, melainkan lebih pada mengapa mahasiswa dan dosen pada bidang natural sciences tidak mengenal isu-isu dasar social sciences, dan humanities dan lebih-lebih religius studies, dan begitu sebaliknya. Keterpisahan dan keterfregmentasian ini berakibat luar biasa pada dunia birokrasi, dunia pemerintahan, dunia BUMN, dunia bisnis, dunia usaha, lingkungan hidup, dan dunia pekerjaan pada umumnya. Keterpisahan ini hanya akan mencetak dan menelurkan ilmuan dan praktisi yang tidak berkarakter. [26]
Praktek sistem pendidikan dikotomis, telah memberikan implikasi begitu jauh terhadap output pendidikannya. Pendidikan agama telah menghasilkan manusia yang dikaruniai rasa ketaatan yang sangat besar, sedangkan pendidikan umum melahirkan sosok manusia yang beranggapan bahwa tidak ada batasan atau akhir dari kemungkinan-kemungkinan di dalam dirinya, atau dia dapat membentuk sendiri kehidupan yang dijalaninya tanpa tuntunan Ilahi.[27] Dengan demikian, apa yang dikehendaki seperti yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional, “…mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,…” tidak akan pernah tercapai.
Dalam konteks ini, Abdul Munir Mulkhan[28] mengemukakan bahwa hingga hari ini, dunia pendidikan dan gerakan-gerakan Islam dalam berbagai konsentrasi dan aliran sulit menumbuhkan tradisi intelektual kritis sebagai etika dasar penafsiran terhadap kedua sumber teks utama Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang seharusnya terus dilakukan. Dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia, beliau menunjuk seperti (1) pesantren yang masih terus bersikukuh mempertahapkan temuan ilmiyah ulama klasik, (2) madrasah dan sekolah Islam terus menghadapi dilema di antara mempertahankan tradisi klasik dan kebutuhan umat terhadap pengetahuan objektif bagi kepentingan hidup kontemporer, (3) IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi masih sibuk dengan pemahaman temuan ilmiyah ulama salaf dan mentradisikannya. Sehingga, menurut Mulkhan , sangat sulit diharapkan bisa melahirkan pemikir-pemikir orisinil tentang bagaimana Islam memandu dunia dan memecahkan berbagai masalah sosial. (4) Sekolah umum sampai perguruan tinggi umum tidak berhasil memberi bimbingan etika bagi siswa dan mahasiswanya dalam menghadapi kehidupan modern yang materialistik dan kapitalistik. Di samping itu, pelajaran agama yang diberikan juga tidak memberi peluang bagi tumbuhnya pemikiran kritis.
Menurut Mulkhan,, dikotomi pendidikan tersebut telah menghadapkan anak-anak Muslim pada pertentangan-pertentangan tanpa jembatan penyelesaian. Guru dan dosen biologi, fisika dan kimia serta ilmu sosial dan kealaman lainnya terus mengajar bahwa alam natural dan alam sosial memiliki mekanisme sendiri untuk ada, tumbuh dan berkembang. Sedangkan pada jam sebelum atau sesudah itu, guru dan dosen agama Islam terus mengindoktrinisasikan bahwa semuanya merupakan ciptaan Allah dan bergerak, tumbuh, dan berkembang berdasarkan hukum Tuhan yang diberitakan dalam al-Quran dan al-Hadits.[29]
Di samping itu, dikotomi pendidikan juga mengakibatkan permasalahan-permasalahan  ketidakseimbangan paradigmatik sebagai berikut. [30] Pertama, kurang berkembangnya konsep humanism religious dalam dunia pendidikan Islam, yakni adanya tendensi pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah daripada khalifatullah dan hablum minallah daripada hablum minannas. Kedua, orientasi pendidikan yang timpang itu telah melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan islam, dari persoalan filosofis sampai ke metodologis, bahkan sampai ke the tradition of learning. Ketiga, masih dominannya gerakan skolastik yang terlembaga dalam sejarah Islam, sementara gerakan humanisme melemah.
Sistem pendidikan yang dikotomik, menyebabkan lahirnya sistem pendidikan umat Islam yang sekularistik, rasionalistik-empiristik, intuitif dan materialistik, dan keadaan tersebut tidak mendukung tata kehidupan umat yang  mampu melahirkan peradaban Islami. [31]
Secara lebih rinci, Amrullah Ahmad[32] menjelaskan bahwa  masalah dikotomi pendidikan Islam adalah sebagai berikut: Pertama, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan bertauhid. Kedua, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan bertauhid diatas menyebabkan lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah[33]  islami. Ketiga, dikotomi fikrah Islami menyebabkan adanya dikotomi kurikulum. Keempat, dikotomi kurikulum menyebabkan terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan. Kelima, dikotomi proses pencapaian tujuan pendidikan dalam interaksi sehari-hari di lembaga pendidikan menyebabkan dikotomi abituren pendidikan dalam bentuk split personality ganda dalam arti kemusyrikan, kemunafikan yang melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran, sikap, cita-cita dan perilaku yang sering disebut sekularisme.
Yang keenam, suasana dikotomik ini melembaga dalam sistem pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang ditandai dengan tradisi “mengulurkan tangan” ke luar untuk meminta bantuan dana atau fasilitas tertentu dan dukungan secara politis dengan alasan obyektif atau subyektif; bahwa terjadinya krisis dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketujuh, lembaga pendidikan akan melahirkan manusia yang berkepribadiaan ganda, yang justru melahirkan dan memperkokoh sistem kehidupan umat yang sekularistik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan materialistik. Kedelapan, tata kehidupan umat yang demikian itu, hanya mampu melahirkan peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam. Kesembilan, dalam proses regenerasi umat, maka tampillah da’i yang berusaha merealisir Islam dalam bentuknya yang memisahkan kehidupan sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dengan ajaran Islam agama urusan akhirat dan ilmu teknologi untuk urusan dunia. Dengan demikian, lengkaplah kegandahan kehidupan.

D.              Solusi Dikotomi Pendidikan Kasus Indonesia
Akibat kedunguan memahami dokrin Al-Quran mengenai konsep ilmu, menjadi sebab utama mengapa umat tak berdaya berhadapan dengan peradaban lain yang terus saja bergerak dan menggelinding. Solusi untuk meretas kebuntuan ini, tinggalkan dualisme dalam sistem pendidikan.[34]
Ki Hajar Dewantara, seorang pahlawan nasional, dengan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP)-nya pada tanggal 27 Desember 1945, mengadakan pembicaraan mengenai garis besar pendidikan nasional. Hasil pembicaraan tersebut membentuk komisi khusus untuk merumuskan lebih terinci mengenai garis-garis besar pendidikan di Indonesia. Dalam laporan yang disusun oleh panitia tersebut diusulkan tentang pendidikan agama sebagai berikut:[35]
1.      Pelajaran agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah.
2.      Para guru dibayar oleh pemerintah.
3.      Pada sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV.
4.      Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu.
5.      Para guru diangkat oleh Departemen Agama.
6.      Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.
7.      Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama.
8.      Diadakan latihan bagi para guru agama.
9.      Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
10. Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.
Menurut Karel A. Steenbrink, untuk nomor 6,8,9,dan 10 nampaknya dimaksudkan sebagai kritik ahli pendidikan terhadap pengajaran agama pada umumnya.
Mohammad Natsir ketika menjabat sebagai Perdana Menteri (27 April 1951 – 3 April 1952) menurut Ridwan Saidi, sengaja memilih Dr. Bahder Djohan (seorang intelektual berpendidikan Barat yang memiliki kepekaan keagamaan) sebagai Menteri Pendidikan  Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). K.H. A. Wahid Hasyim (seorang Kiai yang memiliki pengetahuan umum yang luas) sebagai Menteri Agama. Melalui  kedua menteri itu, Kabinet Natsir meletakkan dasar gagasan bahwa pendidikan umum harus ditambah dengan pelajaran agama dan pendidikan agama harus dilengkapi dengan pelajaran ilmu pengetahuan umum. Hal itu tertuang dalam Peraturan Bersama melalui “SK Menteri PP dan K No. 1432/Kab dan SK Menteri Agama NO. K1/651 Tahun 1951 tanggal 20 Januari 1951”.
Dalam peraturan tersebut disebutkan, antara lain: [36]
1.      Di sekolah-sekolah rakyat, pendidikan agama diberikan mulai kelas 4 sebanyak 2 jam pelajaran seminggu. Untuk lingkungan istimewa (khusus), dapat dimulai sejak kelas 1 dengan alokasi waktu tidak melebihi 4 jam pelajaran seminggu.
2.      Di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atass, baik sekolah umum maupun sekolah kejuruan, diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam pelajaran seminggu.
3.      Pendidikan agama diberikan menurut agama murid dan baru diberikan pada suatu kelas jika ada sekurang-kurangnya 10 orang murid yang menganut suatu agama, dengan ketentuan bahwa murid-murid yang memeluk agama lain dari agama yang diajarkan pada suatu waktu, boleh meninggalkan kelas selama jam pelajaran itu.
4.      Guru agama dilarang mengajarkan segala sesuatu yang mungkin menyinggung perasaan orang yang memeluk agama atau kepercayaan lain.
5.      Bahan pelajaran agama ditetapkan oleh Kementerian Agama setelah disetujui oleh Kementerian PP dan K.

Nurkholis Majid menilai bahwa kesepakatan kedua menteri itu telah terbukti menjadi titiktolak proses dan perjalanan kedua sistem pendidikan Indonesia (madrasah dan sekolah) menuju ke arah titik temu atau konvergensi.[37]
K.H. Wahid Hasyim, yang menjadi menteri Agama saat itu berupaya mengintegrasikan dualisme pendidikan di Indonesia dengan memasukkan tujuh mata pelajaran umum ke dalam mata pelajaran madrasah, yaitu pelajaran membaca menulis latin, berhitung, bahasa Indonesia, sejarah ilmu bumi dan olah raga. Selain itu, pemerintah telah menyelenggarakan pendidikan guru untuk pelajaran agama di sekolah umum dan pengetahuan umum di perguruan agama.
Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 nomor 4, dan Undang­Undang Pendidikan tahun 1954 no. 20.[38] Sedangkan pemberian pengetahuan umum pada sekolah agama juga telah dimulai pada tahun 1950-an, bahkan pada beberapa madrasah telah dimulai sebelum merdeka.[39]
Sampai sekarang, pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum sangat minim sekali, yaitu dua jam seminggu. Memang ada usaha-usaha yang dilakukan oleh Departeman Agama untuk menambah jam pelajaran menjadi enam jam per minggu pada tahun 1970, tetapi oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan usulan tersebut tidak disetujui.[40]
Untuk pendidikan di lingkungan madrasah dan pesantren, Departemen Agama telah berusaha untuk tidak mempertajam perbedaan antara pelajaran agama dan pelajaran umum, yaitu dengan mengelurkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama dan Menteri Dikbud dan Menteri Dalam Negeri tahun 1975. Kurikulum Madrasah yang baku dari Departemen Agama tentang perbandingan mata pelajaran umum dan pelajaran agama 70 % : 30 %.[41]
Untuk pendidikan tinggi (baca: IAIN), Departement Agama juga sudah berupaya memperkecil, jika tidak menghilangkan, dikotomi yang ada. Setidak­-tidaknya terdapat dua langkah signifikan yang telah dilakukan.[42] Pertama, memperkenalkan dan memperbanyak mata kuliah umum seperti filsafat umum, sosiologi, perbandingan agama, statistik, dan lain-lain dalam kurikulum nasional IAIN. Tujuan upaya ini selain untuk mendekatkan "ilmu-ilmu agama" dan "ilmu -ilmu umum", juga agar mahasiswa IAIN tidak terbelenggu dalam kerangka dan pendekatan normatif dalam memahami agama, sebagaimana lazim dalam "ilmu-­ilrnu agama". Dengan begitu, diharapkan mahasiswa IAIN juga mampu berpikir dan menggunakan pendekatan sosiologis dan historis dalam memahami agama.
Kedua, mendirikan dan mengembangkan jurusan jurusan umum seperti jurusan Pedagogi, Jurusan Bahasa Inggris„ Jurusan Bahasa Indonesia, Jurusan Sosial Kemasyarakatan, dan lain pada dasawarsa 1970-an. Pada akhir 1970-an sebagian jurusan-jurusan ini dilikuidasi dan sejak 1980-an digantikan jurusan Tadris (pengajaran) seperti Tadris IPA, Tadris Matematika, Tadris Biologi, dan sebagainya.
Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah tersebut belum mampu menghilangkan praktek dikotomi tersebut. Karena, ketika kebijakan dan keputusan dibuat, para pengambil kebijakan sendiri belum mampu menghilangkan pandangan dikotomis tersebut dalam dirinya. Misalnya, dalam pembentukan dan pengembangan jurusan-jurusan umum dan kemudian Tadris, lebih didorong oleh kalangan IAIN dan Departemen Agama untuk memenuhi kebutuhan penyediaan guru-guru madrasah dalam bidang-bidang umum tersebut. [43] Oleh karena itu, wajar kalau dunia pendidikan kita masih menghasilkan lulusan yang memiliki pribadi "pecah" dan, atau setengah-setengah dalam menguasai IPTEK dan IMTAQ atau hanya menguasai salah satunya.
Konversi IAIN menjadi UIN sedikit banyak dapat mengatasi problema dikotomi keilmuan. Menurut Amin Abdullah, bahwa konversi ini akan menjawab kegelisahan para ilmuan terhadap rancang bangun akademik ilmu-ilmu keislaman yang dikotomik-atomistik ; bayani, ‘irfani, dan burhani.[44]
Di samping itu, banyak ilmuan Muslim telah menawarkan pemikiran paradigmatik sebagai solusi permasalahan dikotomi pendidikan Islam . Isma’il Raji al-Faruqi menyatakan,”sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan, yang selanjutnya merupakan prasyarat untuk menghilangkan dualisme kehidupan, untuk memberi jalan keluar dari malaise yang dihadapi umat, pengetahuan harus diislamisasikan.”. Yaitu usaha mewarnai pengetahuan dengan nilai-nilai Islam, suatu nilai yang mengarah kepada perwujudan keadaan positif-konstruktif dan menghindarkan dari keadaan negatif-destruktif.[45]
Perkembangan lembaga pendidiklan Islam ternyata belum berhasil menyelesaikan hubungan dialogis antara teori pengetahuan modern dan pengetahuan Islam klasik. Tradisi intelektual dalam modernitas harus mampu mengatasi dikotomi pendidikan bagi generasi muda Muslim tersebut. Penyelesain masalah ini akan meemberi peluang pengembangan pemikiran Islam dalam logika modernitas yang amat penting dalam memberikan sumbangan bagi pengembangan gerakan modernisasi Islam dalam seluruh dimensi kehidupan,  khususnya bidang politik, ekonomi. Budaya, dan iptek.[46]
Abdurrahman Mas’ud [47] telah menggagas satu format pendidikan nondikotomik dengan paradigma humanisme religius . Ia merupakan sebuah konsep keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya humanisasi ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggungjawab hablum  minallah dan hablum minannas. Menurutnya, konsep ini jika diimplementasikan dalam praktek dunia pendidikan Islam akan berfokus pada akal sehat atau common sense, individualisme menuju kemandirian dan tanggungjawab, thirst for knowledge, pendidikan pluralisme, kontekstualisme yang lebih mementingkan fungsi daripada simbol, serta keseimbangan antara reward dan punishment.
Abd. Rachman Assegaf  telah melakukan indentifikasi terhadap empat problem yang dihadapi oleh pendidikan Islam, yaitu problem lack of vision, kesalehan individual dan ketertinggalan teknologi, dikotomi ilmu, dan tradisi berpikir normatif-deduktif. Sebagai solusi bagi permasalaah tersebut, ia telah menerbitkan sebuah karyanya berjudul: Filsafat Pendidikan Islam : Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis integratif-interkonektif”. Buku ini menyajikan konsep pembaruan pendidikan Islam dalam perspektif keilmuan yang integratif-interkonektif. Paradigma keilmuan integratif-interkonektif menyajikan kajian terhadap falsafah, sains, dan agama Islam sebagai hubungan antar entitas yang saling terkait (interconnected entities).
Konsep pendidikan hadhari menawarkan jalan keluar atas problema tersebut dengan jalan internalisasi nilai dan prinsip umum yang meliputi petunjuk waktu (releaved guidance), nilai-nilai kenabian, dan nilai-nilai masa keemasan dengan tetap merespons isu-isu kontemporer.
Ramayulis juga mengemukakan beberapa pemikiran tentang solusi yang dapat dilakukan untuk keluar dari persoalan dikotomi.[48] Pertama, meluruskan kembali pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam. Menurutnya, Islam yang selama ini dipahami secara parsial harus diperbaiki dan diarahkan kepada pemahaman yang kaffah. Kedua, Melakukan perubahan orientasi mengenai konsep “ilmu” yang secara langsung dikaitkan dengan dalil-dalil keagamaan dan sebaliknya ajaran agama dikorelasikan dengan teori-teori ilmu pengetahuan sehingga wawasan peserta didik menyatu dalam agama dan ilmu pengetahuan. Ketiga, Islamisasi ilmu pengetahuan, dengan cara membentuk kembali berbagai disiplin ilmu yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam, melalui metodologi, strategi, pendekatan, problematika aspirasi dan tujuan yang islami, sehingga melahirkan berbagai disiplin yang bercorak Islam seperti Sosiologi Islam, Biologi Islam, dan lain sebagainya. Untuk keperluan tersebut perlu disusun buku-buku ilmu pengetahuan umum yang berwawasan keislaman dan buku-buku agama yang berwawasan IPTEK.  Kurikulum pendidikan islam harus disusun secara integral, holistic, dan integrative mulai dari Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi.
Keempat, mengusahakan tenaga-tenaga kependidikan yang memiliki visi dan wawasan Islam dalam arti yang sebenarnya, sekalipun Negara kita bukan Negara Islam. Kelima, mewujudkan ulama intelek dan intelek ulama. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah kaderisasi ulama modern dan pasca sarjana silang antara Kementerian Pendidikan nasional dan Kementerian Agama. Keenam, menghidupkan kembali tradisi pesantren pada madrasah dan sekolah dengan cara pembentukan fikir dan zikir, peembentukan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang melalui “system pondok” (asrama) yang mengikat peserta didik selama 24 jam dengan berbagai kegiatan keagamaan dan kegiatan ilmiah serta ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Ketujuh, pembenahan ke dalam terhadap lembaga pendidikan Islam yang ada dengan menyiapkan sarana prasarana yang lengkap dan memuaskan, serta pengelolaannya secara professional dan managemen modern yang islami baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta, sehingga menjadi lembaga pendidikan yang unggul, dengan pelayanan yang unggul, yang berorientasi kepada: (1) kesempurnaan hasil, (2) kecepatan proses, (3) kepuasan pelanggan, dan (4) keikhlasan niat karena Allah SWT.
M. Syafi’i Ma’arif juga memberikan solusi,  yang ditawarkan adalah dengan menumbangkan konsep dualisme dikotomis secara mendasar. Jika berhasil, maka dalam jangka panjang memang akan merubah sistem pendidikan secara keseluruhan,  dari tingkat dasar sampai tingkat Perguruan Tinggi (PT). Seperti meleburkan IAIN dengan PT-PT negeri lainnya. Tapi peleburan ini bukan peleburan satu atap, namun peleburan berdasarkan rumusan filosofis.[49]











BAB III
DIKOTOMI PENDIDIKAN
Sebuah Analisis Kritis Terhadap Persoalan Pendidikan Indonesia

Dikotomi pendidikan  merupakan persoalan akut yang menimpa sebagian besar masyarakat Muslim dunia termasuk Indonesia. Persoalan ini  telah memiliki kesejarahan yang panjang, yaitu dimulai sekitar penghujung abad ke-11 M , di mana di kalangan umat Islam telah terjadi pemilahan apa yang disebut sebagai “ilmu agama dan ilmu umum”, dan hal tersebut masih berlanjut sampai saat ini.
Para cendikiawan Muslim, para ulama, dan penguasa  Muslim sebagian mereka telah menyadari adanya persoalan ini. Berbagai pemikiran dan kebijakan telah mereka lahirkan sebagai solusi dengan harapan praktek dikotomi dalam dunia pendidikan tersebut bisa dihilangkan. Namun, usaha tersebut ternyata belum mampu menghilangkan praktek dikotomik . Karena, kebijakan-kebijakan bersifat parsial dan tidak menyentuh akar persoalan. Di samping itu, ketika kebijakan-kebijakan tersebut diambil, misalnya, para dicision maker belum mampu menghilangkan pemikiran dikotomik dalam dirinya.
Sebagian cendekiawan Muslim berpendapat bahwa salah satu persoalan mendasar dikotomik pendidikan adalah kesalahan dalam memahami konsep ilmu. Dalam Islam, semua ilmu berasal dari Yang Maha Satu. Dalam kitab-Nya, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali dari UIN Syahid Jakarta, terdapat tidak kurang dari 36 jenis ilmu. Sebagian besar merupakan apa yang dikenal sebagai ilmu-ilmu umum atau ilmu-ilmu sekuler atau ilmu-ilmu bukan agama. Bagaimana mungkin ilmu-ilmu yang terdapat di Al-Quran tersebut disebut sebagai bukan ilmu-ilmu Islam. Hal tersebut merupakan kesalahan yang sangat besar.
Dengan demikian, “Ilmu umum dan  ilmu agama”  adalah dua terma   yang menjadi akar persoalan dikotomik ilmu yang kemudian berkembang menjadi dikotomi-dikotomi aspek lainnya (sekolah agama versus sekolah umum, perguruan tinggi agama versus perguruan tinggi umum, kementerian agama versus kemeterian pendidikan nasional, dan seterusnya).  Kenyataannya adalah kedua terma tersebut sudah mendarah daging di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam konteks ini, sebagai solusi persoalan ini adalah menghilangkan peredaran kedua terma tersebut dari masyarakat, baik tulisan maupun lisan.
Apa yang dilakukan Pondok Pesantren Gontor, misalnya, bisa menjadi inspirasi bagi pengelola pendidikan di negeri ini. Gontor tidak pernah mempertentangkan antara “pendidikan agama dan pendidikan umum’. Kurikulum mereka tidak mengenal dengan kedua istilah tersebut. Semuanya terlihat sebagai satu kesatuan yang utuh, dan semuanya adalah Islam.

harus dileburkan


BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan paparan makalah ini, yang bisa dikatakan adalah bahwa dikotomi ilmu (pendidikan) dalam Islam masih merupakan persoalan yang belum bisa diselesaikan. Sementara berbagai dampaknya terus meluas menggerogoti peradaban Islam dan semakin menambah catatan ketertinggalan Islam dari peradaban Barat. Dikotomi ini tidaklah muncul dengan tiba-tiba tetapi dimulai oleh sebuah sejarah panjang yang menghasilkan berbagai produk cara berpikir dan lembaga pendidikan yang mendukung terbentuknya dikotomi tersebut. Belajar dari sejarah tersebut, maka mau tidak mau upaya penyelesaian dikotomi tersebut harus dimulai sejak dini dan terus digulirkan sehingga diharapkan dalam proses sejarahnya nanti mampu membentuk sebuah konsep keilmuan yang integratif dan interkoneksi serta mampu menghasilkan peradaban Islam yang diharapkan.


















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Munir Mulkhan, Moral Politik Santri; Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas, Jakarta, Erlangga, 2003.

Abdullah, dkk., Antologi Studi Islam Teori dan Metodologi, Yokyakarta, Sunan Kalijaga

Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dalam Belenggu Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, 2009.

Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam, Bandung,  Mizan, 1994.

Ahmad Watik Pratiknya, "Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia", Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991.

Ahmada Mansur  Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, cet. IV, Bandung Mizan, 1998.

Azyumardi Azra, `”Pengelompokan Disiplin "I1muAgama" perspektif IAIN" dalam M. Amin

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta, Logos, 1999.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.

Diana Nomida Musnir, "Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis" dalam Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yokyakarta, Kanisius, 2000.

 Fauzan Suwito, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, Bandung, Angkasa, 2004.

H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang, Tera Indonesia, 1998.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,  Bandung, Mizan, 1991.

Ki Suratman, “ Perjalanan Sekolah Taman Siswa “, Prisma, no. 9, tahun 1983.
Lembaga Ilmu Pengetaahuan Indonesia, Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Jilid XXXIV No. 2, 2008.
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yokyakarta,  LKiS,  2008.

Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Amissco, 1996.
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, t.tp, Gelora Aksara Pratama, t.th.

Mujamil Qomar, Pesantren dan Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi,dalam muqaddimah, ( tt. PT Gelora Aksara Pratama, t.th.

M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, (Bandung: Mizan, 2010).

Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, Jakarata, Gramedia, 2004.

Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, Yokyakarta, LKiS, 1999.

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan islam dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, Jakarta, Kalam Mulia, 2012.

Said Aqil Siroj,Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi, Bandung, Mizan, 2006.

Sekretariat Negara RI, UUD 1945,P4, dan GBHN, Jakarta, PT. Mutiara Sakti Utama, 1985.
Sumarsono Mestoko, Pendidikan Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1979.

Syarifuddin Jurdi dkk. (ed.), 1 Abad Muhammadiyah, Jakarta, Kompas, 2010.

Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Yogyakarta, Safira Insan Press, 2005.

Zainal Abidin Bagir dkk., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi untuk Aksi, Bandung, Mizan, 2005.

Zainal Abidin Bagir dkk., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi untuk Aksi,  Bandung,  Mizan, 2005.






[1] Diana Nomida Musnir, "Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis" dalam Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, (Yokyakarta, Kanisius, 2000), h. 68.
[2] Sekretariat Negara RI, UUD 1945,P4, dan GBHN,(Jakarta, PT. Mutiara Sakti Utama, 1985), h. .l.

[3] Said Aqil Siroj,Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006), h. 240.
[4] Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h. 151.
[5] Oxford Advanced Dicyionary (Oxford, 1987), h. 238. Arti yang tidak jauh berbeda dapat dilihat pada: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h. 205.
[6] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), h. 22.
[7] Lihat : Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insan Press, 2005), h. 91-91.
[8] Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), h. 22.
[9] Ibid.
[10]Mujamil Qomar, Pesantren dan Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi,dalam muqaddimah, ( tt.: PT Gelora Aksara Pratama, t.th.), h. Xiv.
[11] Lihat Ki Suratman, “ Perjalanan Sekolah Taman Siswa “, Prisma, no. 9, tahun 1983, h. 41-42
[12] Depdikbud, Pendidikan dari zaman ke Zaman, (Jakarta: Depdikbud, 1979), h. 31.
[13] Lihat Sumarsono Mestoko, Pendidikan Indonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1979), h. 41. Lihat juga Fauzan Suwito, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa, 2004), h. 159.

[14] Samsul Nizar (ed.), Sejarah Pendidikan Islam: menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana Preneda Media, 2008), h. 298.
[15] Syarifuddin Jurdi dkk. (ed.), 1 Abad Muhammadiyah, ( Jakarta: Kompas, 2010), h. 96-97.
[16] Mujamil Qomar, Pesantren …, op. cit., . h. 12.
[17] Alwi Shihab, membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998). H. 149

[18] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yokyakarta: LKiS,  2008), h. 177.
[19]Ahmada Mansur  Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, cet. IV, ( Bandung: Mizan, 1998), h. 240.
[20] Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (jakarata: Gramedia, 2004), h. 25.
[21] Lihat Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, (Yokyakarta: LKiS, 1999), h. 39-43.)
[22] Wahyoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren.. ), h. 77-78.
[23] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), h. 99.
[24] Lembaga Ilmu Pengetaahuan Indonesia, Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Jilid XXXIV No. 2, 2008, h. 82.
[25]H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, (Magelang, Tera Indonesia, 1998), h. 189-190.)
[26] Zainal Abidin Bagir dkk., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), h. 242.
[27] Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman: Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999, hal. 108.
[28] Abdul Munir Mulkhan, Etika Kritis Fazlur Rahman", dalam kata pengantar Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspelmf Neo Modernisme, Yokyakarta: Tiara Wacana, 2000, hal. Xxi-xxvi.

[29] Ibid
[30] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humnisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yokyakarta: Gama Media, 2002), h. 15.
[31] Amrullah Achmad, Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, dalam Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, Ibid., hlm 51-52.
[32] Amrullah Achmad, Ibid., hlm. 52-53.
[33] Fikrah yang dimaksud disini adalah keseluruhan sistem pemikiran seseorang yang menjadi “manajemen pikiran” atau menjadi semacam operator mayor yang berfungsi dalam mentransformasikan masukan (informasi) menjadi output (hasil-hasil  pemikiran) baik berupa gagasan-gagasan, ilmu, teknologi ataupun sistem
[34] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dalam Belenggu Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009), h. 228.
[35] Karel A. Steenbrink, PesantrerT Madrasah Sekolah: Peendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarata: LP3ES, 1986, hal. 90-1.
[36] Lihat: M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, (Bandung: Mizan, 2010), th.
[37] Ibid.
[38] Adapun bunyi Undang-Undang Pendidikan no. 20 tersebut , antara lain (1) Dalam sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama: orang tua murid menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tersebut. (2) Cara menyelenggarakan pendidikan agama di sekolah­sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama­sama dengan Menteri Agama. Penjelasan pasal ini antara lain menetapkan bahwa pengajaran agama tidak boleh mempengaruhi kenaikan kelas para murid (Ibid., h. 91-2.)
[39] H. Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta: PT. Cemara Indah, 1978, h. 83.
[40] Karel A. Steenbrink, op. cit., h. 94
[41] Marwan Sarijo, Bunga Rampai Perdidikan Agama Islam,  Jakarta, CV. Amisco, 1996 h.
[42] Azyumardi Azra, `”Pengelompokan Disiplin "I1muAgama" perspektif IAIN" dalam M. Amin Abdullah, dkk., Antologi Studi Islam Teori dan Metodologi, Yokyakarta, Sunan Kalijaga.
[43] Ibid.
[44] Tentang konsep  bayani, irfani, dan burhani, lebih lanjut baca: Zainal Abidin Baqir, et al., Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), h. 241.
[45] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, ( t.tp: Gelora Aksara Pratama, t.th.), h. 223.
[46] Abdul Munir Mulkhan, Moral Politik Santri; Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 157.
[47] Baca lebih lanjut : Abdrrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Jakarta: Yokyakarta, Gama media, 2002).
[48] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan islam dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h. 446-448.
[49] Ahmad Syafi’i Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h. 151.

You Might Also Like

1 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook