MANAJEMEN KURIKULUM DAN PROGRAM PEMBELAJARAN

18.59




Manajemen Kurikulum dan Program Pembelajaran
Oleh: Amrizal

PENDAHULUAN

Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Ia merupakan cerminan  falsafah hidup suatu bangsa. Ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan itu kelak akan ditentukan oleh kurikulum yang digunakan oleh bangsa tersebut sekarang. Dengan demikian, ia mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Dalam konteks tersebut, Soedijarto menjelaskan bahwa kurikulum mampu membentuk karakter bangsa dan  menanamkan nilai-nilai nasionalisme terhadap anak bangsa sehingga mencintai bangsanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri dan keluarganya. Di samping itu, kurikulum juga mengandung nilai religious yang berupaya mendidik anak bangsa supaya mengenal Tuhannya dan dirinya sehingga menyuntikkan kesadaran sehingga mereka menjadi anak-anak yang bertanggungjawab. [1]
Mengingat pentingnya peranan kurikulum  di dalam pendidikan maka pengembangan dan penyusunannya tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh dan kuat.[2] Landasan tersebut tidak hanya dipergunakan oleh penyusun kurikulum, tetapi juga harus dipahami  dan dijadikan dasar pertimbangan oleh pelaksana kurikulum seperti guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan, dan pihak-pihak lain  yang terkait dengan tugas-tugas manajemen atau pengelolaan pendidikan.
Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif, dan efisien. [3]Fungsi-fungsi pokok manajemen berupa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan dalam prakteknya merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Manajemen yang efektif dan efisien dengan melaksanakan keempat fungsi pokok tersebut secara terpadu dan terintegrasi akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara umum, dan kualitas kurikulum secara khusus.
Pembahasan makalah ini  akan dimulai dengan membahas konsep manajemen kurikulum; pengertian , ruang lingkup, prinsip dan fungsi manajemen kurikulum, komponen manajemen kurikulum, dan akan diakhiri dengan pembahasan tentang bagaimana implementasi kurikulum pendidikan nasional.


A.  Pengertian Manajemen Kurikulum

Secara bahasa manajemen berasal dari kata “to manage” yang artinya mengatur. Adapun secara istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard bahwa: ” Management as working with and through individuals and groups to accomplish organizational goals” (manajemen merupakan kegiatan yang dilakukan bersama dan  melalui orang-orang serta kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi).[4]Hal senada dikemukakan oleh Hamalik, bahwa manajemen  merupakan suatu proses sosial yang berhubungan dengan keseluruhan usaha manusia dengan manusia lain serta sumber-  sumber lainnya dengan menggunakan metode yang efisien efektif untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya.[5] Usaha-usaha tersebut menurut George R. Terry, berupa proses-proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian untuk menentukan serta mencapai tujuan melalui pemanfaatan SDM dan sumber daya lainnya.[6]
Berdasarkan beberapa pengertian manajemen tersebut , maka dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan serangkaian kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengendalikan dan mengembangkan terhadap segala upaya dalam mengatur dan mendayagunakan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Adapun istilah kurikulum, banyak para ahli memberikan pendapat. Pemahaman tentangnya adalah penting, karena akan menentukan arah pembelajaran yang terkait dengan proses maupun substansinya. Menurut Suyanto, jika kurikulum hanya di pahami dalam arti sempit, jangan diharapkan kalau pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan dan pendidikan yang diselenggarakan tidak akan mampu mengahasilkan generasi yang pintar, tangguh, dan cerdas.[7]
Secara etimologi, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu), yang pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga. Karena pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali/penghargaan.[8] Secara terminology, sebagaimana dikemukakan oleh Hilda Taba, bahwa kurikulum sebagai rencana belajar (a curriculum is a plan for learning). Rencana tersebut biasanya berisi tujuan, materi atau isi, strategi pembelajaran dan evaluasi.[9] Hal senada dikemukakan oleh Beauchamp dalam bukunya  warsito yang dikutip oleh Sa’dun Akbar bahwa, “ A Curriculum is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of people during their enrollment in given school”. (Kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisi bahan-bahan, tetapi pada dasarnya, ia merupakan rencana pendidikan bagi orang-orang  selama mereka mengikuti pendidikan yang diberikan di sekolah).[10] Defenisi seperti di atas sejalan dengan defenisi yang terdapat pada undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[11]
Defenisi yang sedikit berbeda  dikemukan oleh B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores bahwa  kurikulum adalah  "a sequence of potential experiences is set up in the school for the purpose of disciplining children and youth in group ways of thinking and acting (urutan pengalaman potensial yang diatur sekolah untuk tujuan mendisiplinkan anak-anak dan remaja dengan cara kelompok berpikir dan bertindak) ".[12] Hal senada dan lebih luas dikemukan oleh  Albert Oliver yang mengemukakan bahwa: “Curriculum with the educational program and divided into four basic element: (1) the program of study, (2) the program of experiences, (3) the program of services, and (4) the hidden curriculum”. [13] Berdasarkan pendapat Oliver tersebut dapat dipahami bahwa kurikulum pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat komponen pokok yaitu sebagai program pendidikan atau belajar, program pengalaman, program latihan, dan hidden curriculum.
Dengan demikian, dalam teori kurikulum sedikitnya ada dua bagian besar kurikulum, yaitu kurikulum formal yang tertulis atau written curriculum dan kurikulum yang tidak tertulis yang  lebih dikenal dengan hidden curriculum. Untuk mencapai pendidikan yang baik, keduanya harus saling melengkapi  dan tidak boleh terjadi ketimpangan. Menurut Sanjaya perkembangan  peserta didik hanya akan tercapai apabila dia memperoleh pengalaman belajar melalui semua pelajaran yang disajikan sekolah, baik melalui kurikulum tertulis ataupun yang tidak tertulis (hidden curriculum).[14] Dalam konteks tersebut, Dede Rosyada berpendapat bahwa kurikulum yang dapat mengantarkan siswa sesuai harapan, idealnya tidak cukup hanya kurikulum yang dipelajari saja (written curriculum), tetapi juga hidden curriculum yang secara teoretis sangat rasional memengaruhi siswa baik menyangkut lingkungan sekolah, suasana kelas, bahkan pada kebijakan dan manajemen pengelolaan sekolah secara lebih luas dan hubungan vertikal dan horizontal.[15]
Berdasarkan beberapa definisi manajemen dan kurikulum yang telah dipaparkan di atas, maka manajemen kurikulum menurut Suharsimi Arikunto adalah segala proses usaha bersama untuk memperlancar pencapaian tujuan pengajaran dengan titik berat pada usaha, meningkatkan kualitas interaksi belajar mengajar.[16] Sama halnya dengan pendapat B. Suryosubroto bahwa manajemen kurikulum adalah kegiatan yang dititikberatkan kepada usaha-usaha pembinaan situasi belajar mengajar di sekolah agar selalu terjamin kelancarannya.[17]  Dikemukakan pula oleh Luneberg dan Orstein bahwa ada tiga proses utama dalam manajemen kurikulum, yaitu perencanaan kurikulum (planning the curriculum), pelaksanaan kurikulum (implementation the curriculum), dan penilaian terhadap pelaksanaan kurikulum (evaluating the curriculum).[18]
Dengan demikian dapat simpulkan bahwa manajemen kurikulum adalah suatu kegiatan yang dirancang untuk memudahkan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran  yang diawali dari tahap perencanaan dan diakhiri dengan evalusi program, agar kegiatan  dapat terarah serta dapat berdaya hasil guna dan berdaya guna.

B.     Prinsip dan Fungsi Manajemen Kurikulum
Terdapat lima prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan manajemen kurikulum, yaitu sebagai berikut:
1.    Produktivitas, hasil yang akan diperoleh dalam kegiatan kurikulum merupakan aspek yang harus dipertimbangkan dalam manajemen kurikulum. Pertimbangan bagaimana agar peserta didik dapat mencapai hasil belajar sesuai dengan tujuan kurikulum harus menjadi sasaran dalam manajemen kurikulum.
2.     Demokratisasi, pelaksanaan manajemen kurikulum harus berasaskan demokrasi yang menempatkan pengelola, pelaksana, dan subjek didik pada posisi yang seharusnya dalam melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab untuk mencapai tujuan kurikulum.
3.    Kooperatif, untuk memperoleh hasil yang diharapkan dalam kegiatan manajemen kurikulum perlu adanya kerja sama yang positif dari berbagai pihak yang terlibat.
4.    Efektivitas dan efisiensi, rangkaian kegiatan manajemen kurikulum harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi untuk mencapai tujuan kurikulum sehingga kegiatan manajemen kurikulum tersebut memberikan hasil yang berguna dengan biaya, tenaga, dan waktu yang relatif singkat.
5.    Mengarahkan visi, misi, dan tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum. Proses manajemen kurikulum harus dapat memperkuat dan mengarahkan visi, misi, dan tujuan kurikulum.[19]
Adapun  fungsi dari manajemen kurikulum di antaranya:[20]
1.    Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya kurikulum, pemberdayaan sumber maupun komponen kurikulum dapat ditingkatkan melalui pengelolaan yang terencana dan efektif.
2.    Meningkatkan keadilan (equality) dan kesempatan pada siswa untuk mencapai hasil yang maksimal, kemampuan yang maksimal dapat dicapai peserta didik tidak hanya melalui kegiatan intrakurikuler. Meningkatkan relevansi dan efektifitas sesuai dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar peserta didik, kurikulum yang dikelola secara efektif dapat memberikan kesempatan dan hasil yang relevan dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar.
3.    Meningkatkan efektivitas kinerja guru maupun aktivitas siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, pengelolaan kurikulum yang professional efektif, dan terpadu, dapat memberikan motivasi pada kinerja guru maupun aktivitas siswa dalam belajar.
4.    Meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses belajar mengajar, proses pembelajaran selalu dipantau dalam rangka melihat konsistensi antara desain yang telah direncanakan dengan pelaksanaan pembelajaran. Dengan demikian, ketidaksesuaian antara desain dengan implementasi dapat dihindarkan. Di samping itu, guru maupun siswa selalu termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran yang efektif dan efisien karena adanya dukungan kondisi positif yang diciptakan dalam kegiatan pengelolaan kurikulum.
5.    Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk membantu mengembangkan kurikulum, kurikulum yang dikelola secara profesional akan melibatkan masyarakat, khususnya dalam mengisi bahan ajar atau sumber belajar perlu disesuaikan dengan ciri khas dan kebutuhan pembangunan daerah setempat.[21]
Dengan demikian, berdasarkan defenisi manajemen maka secara garis besar ada beberapa kegiatan berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen kurikulum, yaitu : a. Mengelola perencaan kurikulum, b. Mengelola implementasi kurikulum c. Mengelola pelaksanaan evaluasi kurkulum.
a.    Mengelola perencanaan kurikulum.
Merencanakan pada dasarnya adalah menentukan kegiatan yang hendak dilakukan pada masa depan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengatur berbagai sumber daya agar hasil yang dicapai sesuai dengan apa yang diharapkan.[22]  Oemar Hamalik mendefenisikan perencanaan kurikulum sebagai suatu proses sosial yang kompleks yang menuntut berbagai jenis dan tingkat pembuatan keputusan. Secara umum, perencanaan ini memiliki dua  fungsi; [23](1)  sebagai pedoman atau alat manajemen yang berisi petunjuk tentang jenis dan sumber individu yang diperlukan, media pembelajaran yang digunakan, tindakan-tindakan yang perlu dilakukan, sumber biaya, tenaga, dan sarana yang diperlukan, sistem monitoring dan evaluasi, peran unsur unsur ketenagaan untuk mencapai tujuan manajemen lembaga pendidikan; (2) berfungsi sebagai pendorong untuk melaksanakan sistem pendidikan sehinga mencapai hasil optimal.
Perencanaan kurikulum harus memperhatikan karakteristik kurikulum yang baik, baik dari segi isi, pengorganisasian maupun peluang-peluang untuk menciptakan pembelajaran yang baik, sehingga akan mudah diwujudkan oleh pelaksanaan kurikulum, yaitu guru.[24] Tugas sekolah dalam hal ini adalah: (1)Memahami standar kompetensi dan silabus yang berlaku secara Nasional dan lokal yang sudah dikembangkan oleh Depdiknas dan Dinas Kabupaten. (2) Mengembangkan silabi sesuai dengan kondisi siswa dan kebutuhan masyarakat sekitar sekolah. (3). Mengembangkan materi ajar, dan (4). mengembangkan instrumen penilaian.[25]
Secara lebih rinci pelaksanaan kurikulum, dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dapat dibedakan perencanaan kurikulum di tingkat nasional (pusat) dan tingkat institusional (sekolah). Pertama, perencanaan tingkat pusat meliputi; (1) merumuskan tujuan pendidikan nasional, (2) merumuskan standar isi dan standar kompetensi lulusan, (3) merumuskan peodman-pedoman pelaksanaan yang akan dilaksanakan di sekolah seperti: struktur program (susunan mata pelajaran dan alokasi waktu), pedoman penyusunan kalender pendidikan, pedoman penyusunan jadwal pelajaran, dan lain-lain.
Kedua, perencanaan tingkat sekolah, meliputi; (1) menyusun program tahunan, [26] (2) menyusun program semester, [27] (3) menyusun silabus, [28] dan (4) menyusun rencana program pembelajaran. [29]
b.   Pengelolaan implementasi kurikulum.
Implementasi kurikulum merupakan proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap.[30]Secara sederhana juga bisa dikatakan bahwa implementasi kurikulum merupakan terjemahan kurikulum dokumen menjadi kurikulum aktual. Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi kurikulum antara lain adalah (1) aspek makro pengembangan kurikulum (kondisi masyarakat, politik, sosial, budaya, ekonomi, teknologi); (2) aspek materi dan prosedur pengembangan kurikulum sebagai ide; (3) aspek materi dan prosedur pengembangan kurikulum sebagai dokumen;(4) aspek materi dan implementasi diwujudkan dalam kegiatan belajar dan mengajar menjadikan siswa lebih kompeten; dan (5) aspek materi dan prosedur evaluasi hasil belajar.
Menurut Mulyasa, implemetasi kurikulum setidaknya dipengaruhi oleh tiga factor: (1) karakteristik kurikulum, yang mencakup ruanglingkup ide baru suatu kurkulum dan kejelasannya bagi pengguna lapangan; (2) strategi implementasi, yaitu strategi yang digunakan dalam implementasi seperti diskusi profesi, seminar, penataran, lokakarya, dan lain sebagainya; (3) karakteristik pengguna kurikulum, yang meliputi pengetahuan, nilai, dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemampuannya untuk merealisasikan kurkulum dalam pembelajaran.[31]
Implementasi kurikulum seharusnya menempatkan kreativitas siswa lebih dari penguasaan materi.[32]Menurut Howard Garner, system pendidikan yang salah dapat membunuh kreativitas anak-anak sehingga hanya tinggal 10% dari potensinya ketika usia 8 tahun. Ketika salah didik ini berlangsung sampai usia 12 tahun, potensi kreativitasnya menurun hingga hanya 2%. [33]
Menurut Rusman, untuk mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran, maka siswa harus ditempatkan sebagai subjek dalam proses tersebut. Komunikasi yang dikembangkan seyogyanya multiarah Penekanannya adalah aktivitas siswa untuk mencari pemahaman akan objek, menganalisis dan merekonstruksi sehingga terbentuk pengetahuan baru. [34]
Dalam proses pembelajaran, kurikulum dokumen harus diaktualisasikan menjadi kurikulum nyata (actual curriculum – curriculum in action). Perwujudan tersebut sangat tergantung pada kemampuan guru sebagai implementator kurikulum. Oleh karena itu, ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dalam mengimplementasikan kurikulum: (1) pemahaman esensi dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam kurikulum. Karena hal ini akan mempengaruhi penjabarannya, baik dalam penyususnan rancangan pengajaran maupun dalam pelaksanan kurikulum. (2) Kemampuan untuk menjabarkan tujuan-tujuan kurikulum menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik. (3) Kemampuan untuk menerjemahkan tujuan khusus kepada kegiatan pembelajaran.[35]
Ketika seorang guru telah memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, maka ia harus tetap dikembangkan dan ditingkatkan melalui berbagai kegiatan seperti diskusi-diskusi, simulasi dalam peer group atau MGMP/KKG, lokakarya, pelatihan-pelatihan, penataran interen dengan mendatangkan narasumber, dan lain sebagainya.
Hamalik membagi pelaksanaan kurikulum  menjadi dua tingkatan yaitu pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah dan tingkat kelas. Pertama, Pada pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah, kepala sekolah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kurikulum di lingkungan sekolah yang dipimpinnya. Dikarenakan; (1) Kepala sekolah sebagai pemimpin, termasuk memimpin pelaksanaan kurikulum; (2) Kepala sekolah adalah seorang administrator dalam pelaksanaan kurikulum yang berperan dalam perencanaan program, pengorganisasian staf pergerakan semua pihak yang perlu dilibatkan dalam pelaksanaan supervisi, dan penilaian terhadap personal sekolah; (3) Kepala sekolah sebagai penyusun rencana tahunan di bidang kemuridan, personal atau tenaga kependidikan, sarana pendidikan, ketatausahaan sekolah, pembiayaan atau anggaran pendidikan, pembinaan organisasi sekolah dan hubungan kemasyarakatan atau komunikasi pendidikan.
Kedua, pada pelaksanaan kurikulum tingkat kelas, yang berperan besar adalah guru yang meliputi tiga jenis kegiatan administrasi yaitu: sebagai yang bertugas dalam melaksanakan; (1) Kegiatan dalam bidang proses belajar mengajar; (2)  pembinaan kegiatan ekstra kurikuler; (3) pembimbing dalam kegiatan bimbingan belajar.[36]
Fulan dan Park  mengemukakan perencanaan untuk implementasi kurikulum selalu gagal karena beberapa alasan antara lain (1) perencana mengambil keputusan sementara ia tidak memahami dan menyadari situasi yang sedang dihadapi para pelaku implementasi; (2) perencana memperkenalkan perubahan tanpa menjelaskan cara untuk mengidentifikasi dan cara melakukan perubahan itu; dan (3) perencana tidak berusaha memahami nilai-nilai, ide, dan pengalaman-pengalaman yang penting bagi pelaku impelementasi, dan lain sebagainya .
Kendala yang dihadapi dalam implementasi kurikulum, terutama berkenaan dengan: (1) masih lemahnya diagnosis kebutuhan baik pada skala makro maupun mikro sehingga implementasi kurikulum sering tidak sesuai dengan yang diharapkan; (2) perumusan kompetensi pada tahapan  mikro sering dikacaukan dengan tujuam instruksional yang dikembangkan; (3) pemilihan pengalaman belajar yang dikembangkan; dan (4) evaluasi masih sering tidak sesuai dengan tujuan instruksional yang dikembangkan. [37]
Untuk mengantisipasi kendala yang dihadapi, maka perlu diupayakan hal-hal berikut: (1) dalam mendiagnosis kebutuhan seyogianya sebaiknya masyarakat dilibatkan sejak awal; (2) selalu meningkatkan kemampuan guru; (3) struktur materi diorganisasikan mulai dari perencanaan pembelajaran dalam bentuk jam pelajaran, sampai dengan evaluasi menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan. [38]
Oleh karena itu, untuk menghindari rintangan dan hambatan potensial dalam implementasi kurikulum, maka para perencana dan pengambil kebijakan harus duduk bersama melakukan diskusi untuk mengklarifikasi masalah-masalah dan menyamakan persepsi mengenai pengembangan dan implementasi kurikulum yang menjadikan siswa kompeten. Kemudian pengambil kebijakan mengidentifikasi solusi dari berbagai permasalahan dalam implementasi kurikulum dengan guru, pekerja kurikulum, dan pihak lain yang memungkinkan untuk disertakan.
c.    Mengelola pelaksanaan evaluasi kurikulum
Evaluasi kurikulum merupakan usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu.[39] Rusman menyimpulkan bahwa evaluasi pada hakekatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan evaluasi (value judgment) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), namun juga dapat didasarkan kepada hasil pengamatan (qualitative description).[40] Tujuannya adalah (1) menyediakan informasi mengenai pelaksanaan pengembangan dan pelaksanaan suatu kurikulum sebagai masukan bagi pengambilan keputusan; (2) menentukan tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu kurikulum serta factor-faktor yang berkontribusi dalam suatu lingkungan tertentu; (3) mengembangkan berbagai alternative pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam upaya perbaikan kurikulum; (4) memahami dan menjelaskan karakteristik suatu kurikulum dan pelaksanaan suatu kurikulum.[41]
Sasaran dari evaluasi kurikulum adalah rancangan, isi, dan implementasinya yang meliputi; (1) kesesuaian kurikulum dengan visi, misi, sasaran, dan tujuan lembaga, (2) relevansi kurikulum dengan tuntutan pendidikan, (3) kesesuaian kurikulum local dengan kebutuhan masyarakat terdekat dan kepentingan internal lembaga, (4) struktur kurikulum (keluasan, kedalaman, koherensi, penataan/pengorganisasian), (5) kesuaian isi dengan kompetensi yang dapat dialihkan, terorientasi kea rah pendidikan lanjutan, pekerjaan, dan karier.[42]


D. Implementasi Kurikulum Nasional Indonesia: Antara Cita dan Fakta
1.    Potret Perjalanan Kurikulum Nasional
Dalam perjalanannya, dunia pendidikan Indonesia telah menerapkan enam kurikulum, yaitu kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004 atau kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan terakhir kurikulum 2013. Dalam konteks perubahan tersebut, ada rumor yang berkembang dalam masyarakat bahwa ada  kesan” Ganti Menteri Pendidikan Ganti Kurikulum”. Kesan tersebut bisa benar dan bisa tidak, tergantung dari sudut mana mata memandang. Kalau sudut pandangnya politis maka perubahan kurikulum tersebut akan selalu dikaitkan dengan kekuasaan (siapa yang berkuasa). Namun, kalau sudut pandangnya nonpolitis, maka perubahan tersebut barangkali merupakan suatu keniscayaan dalam rangka merespon perkembangan masyarakat yang begitu cepat. Pendidikan harus mampu menyelesaikan dinamika perkembangan tersebut, apalagi ia berkaiatan dengan  tuntutan dan kebutuhan masyarakat, dan  hal tersebut hanya bisa dijawab dengan perubahan kurikulum.
Menurut Indra Djati Sidi, [44]  bahwa pembaruan kurikulum merupakan suatu keniscayaan. Pengembangannya haruslah didasarkan kepada beberapa indikator; pertama, kurikulum harus bersifat luwes, sederhana, dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang karena berbagai perkembangan tekonologi dan tuntutan masyarakat. Kedua, kurikulum harus bersifat pedoman pokok (general guideline) kegiatan pembelajaran siswa. Kurikulum tidak terlalu rinci dan dapat dikembangkan secara mandiri dan kreatif oleh para guru sesuai dengan potensi peserta didik setempat, keadaan sumber daya penduduk, dan kondisi daerah setempat. Ketiga, pengembangan kurikulum selayaknya secara simultan dengan pengembangan bahan ajar dan media atau alat pembelajaran.
Keempat, kurikulum pendidikan hendaknya berpatokan pada standar global atau regional, berwawasan nasional, dan dilaksanakan secara lokal. Dengan demikian, kualitas kurikulum pendidikan setara dengan  negara-negara lain yang mempunyai wawasan keunggulan, namun dapat disesuaikan dengan kondisi lokal yang berbeda.  Kelima, kurikulum pendidikan hendaknya merupakan satu kesatuan dan kesinambungan dengan satuan jenjang pendidikan di atasnya. Keenam, pengembangan kurikulum bukan lagi menjadi otoritas pemerintah pusat, tetapi merupakan shared activity dengan pemerintah daerah, bahkan komunitas. Ketujuh, pengembangan tidak diarahkan untukmenciptakan satu kurikulum tunggal yang diberlakukan untuk semua sekolah. Kedelapan, kurikulum juga mesti memperhatikan pendidikan yang terjadi di keluarga dan komunitas. Sekolah, keluarga, dan komunitas ketiganya menjadi pilar pendidikan kegiatan pendidikan merupakan share activity dari ketiga pilar pendidikan tersebut.
Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas perubahan-perubahan kurikulum pendidikan nasional:
1.      Kurikulum 1968
Sebelum diterapakan kurikulum 1968, pada tahun 1947 pernah diterapkan Rencana pelajaran yang pada waktu itu menterinya dijabat oleh Mr. Suwandi.  Rencana Pelajaran 1947 memuat ketentuan sebagai berikut: (1) bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah, (2) jumlah mata pelajaran untuk Sekolah Rakyat (SR) 16 bidang studi, SMP 17 bidang studi, dan SMA jurusan B 19 bidang studi. Lahirnya Rencana Pelajaran 1947 diawali dari pembenahan sistem  sekolah pasca Indonesia merdeka yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.
Tujuan pendidikan menurut kurikulum 1969 adalah mempertinggi mental-moral pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan, serta mengembangkan fisik yang kuat dan kesehatan. Ketentuan-ketentuan dalam kurikulum 1968 adalah: (1) bersifat: correlated Subject curriculum; (2) jumlah mata pelajaran untuk SD 10 bidang studi, SMP 18  bidang studi, SMA jurusan A  18 bidang studi, SMA jurusan B 20 bidang studi, jurusan SMA C 19 bidang studi, (3) penjurusan SMA dilakukan di kelas II.
2.      Kurikulum 1975
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri dijabat oleh LetjenTNI Dr. Syarif Thajeb (1973-1978). Ketentuan-ketentuan kurikulum 1975 adalah: (1) sifat: integrated curriculum organization, (2) SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9 bidang studi, (3) pelajaran Ilmu Alam dan Ilmu Hayat menjadi ilmu pengetahuan alam (IPA), (4) pelajaran ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi Matematika, (5) jumlah mata pelajaran SMP dan SMA  menjadi 11 bidang studi, (6) penjurusan SMA dibagi tiga : IPA, IPS, dan Bahasa.
3.      Kurikulum 1984
Kurikulum ini diterapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto seorang ahli sejarah Indonesia. Ketentuan-ketentuan dalam kurikulum 1984 adalah: (1) sifat: Content Based Curriculum, (2) program pelajaran mencakup 11 bidang studi, (3) jumlah mata pelajaran SMP 12 bidang studi, (4) jumlah mata pelajaran SMA 15 bidang studi untuk program Inti, 4 bidang studi untuk program pilihan, (5) penjurusan SMA dibagi lima: program A1 (ilmu fisika), A2 (ilmu biologi), A3 (ilmu sosial, A4) ilmu budaya, dan A5 (ilmu agama), (6) penjurusan dilakukan di kelas II.
Pada kurikulum 1984 ada penambahan bidang studi, yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Hal ini bisa dimaklumi  karena menteri pendidikan saat itu dijabat oleh seorang sejarawan. Dalam perjalanannya, kurikulum 1984 dianggap oleh banyak kalangan dianggap sarat  beban sehingga diganti dengan kurikulum 1994 yang lebih sederhana.
4.      Kurikulum 1994
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Ing Wardiman Djojonegoro seorang teknokrat yang menimba ilmu di Jerman Barat bersama BJ. Habibie. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam kurikulum 1994 adalah: (1) bersifat Objectif Based Curriculum, (2) nama SMP menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA diganti SMU (Sekolah Menegah Umum), (3) mata pelajaran PSPB dihapus, (4) program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 23 mata pelajaran, (5) program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata pelajaran, (6) penjurusan SMA dilakukan dikelas II terdiri dari program IPA, IPS, dan bahasa.
Ketika reformasi bergulir tahun 1998, kurikulum 1994 mengalami penyesuaian-penyesuaian dalam rangka mengokomodasi tuntutan reformasi. Oleh karena itu, muncul suplemen kurikulum 1994 yang lahir tahun 1999. Dalam suplemen tersebut ada penyesuaian-penyesuaian materi  pelajaran, terutama pada pelajaran sosial, seperti PPKN, Sejarah, dan beberapa mata pelajaran yang lainnya. Lagi-lagi, kurikulum ini pun mengalami nasib yang sama dengan kurikulum sebelumnya bersamaan dengan lahirnya undang-undang nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan nasional menggagas kurikulum baru yang diberi nama kurikulum berbasis komptensi.
5.      Kurikulum Berbasis Kompetensi (kurikulum 2004)
Kurikulum Berbasis Kompetensi lahir ditengah-tengah adanya tuntutan mutu pendidikan di Indonesia. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa mutu pendisikan Indonesia semakin hari semakin terpuruk. Bahkan dengan negara tentangga pun yang dulu belajar di Indonesia seperti Malaysia, Indonesia tertingga dalam hal mutu pendidikan. Pendidikan di Indonesia diaanggap hanya melahirkan lulusan yang akan menjadi beban negara dan masyarakat karena kurang ditunjang dengan kompetensi yang memadai ketika terjun dalam masyarakat.
Kukrikulum Berbasis Kompetensi digagas ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Abdul Malik Fajar, M.Sc. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam kurikulum berbasis kompetensi adalah: (1) bersifat: Competency Based Curriculum, (2) penyebutan SLTP menjadi SMP dan SMU menjadi SMA, (3) program pelajaran SD disusun dalam   mata pelajaran, (4) program pengajaran SMP disusun dalam 11 mata pelajaran, (5) program SMA disusun dalam 17 mata pelajaran, (6) penjurusan SMA dilakukan di kelas II, terdiri atas Ilmu Alam, Sosial, Bahasa.
Kurikulum berbasis kompetensi meskipun sudah diujicobakan di beberapa sekolah melalui pilot project, tetapi pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional belum mengesahkan kurikulum ini secara formal. Sepertinya pemerintah masih ragu-ragu dengan kurikulum ini, hal ini dimaklumi, karena uji coba kurikulum ini menuai kritikan dari berbagai kalangan, baik para ahli pendidikan maupun praktisi pendidikan. Beberapa kritikan terhadap kurikulum ini adalah: (1)  masih sarat dengan materi sehingga ketakutan guru akan dikejar-kejar materi seperti yang terjadi pada kurikulum 1994 akan terulang kembali, (2) pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional masih terlalu intervensi  terhadap kewenangan sekolah dan guru  untuk mengembangkan kurikulum tersebut,  (3) masih belum jelasnya (bias) kompetensi sehingga ketika diterapkan pada standar kompetensi  kelulusan belum terlalu aplikatif, (4) adanya sistem penilaian yang belum jelas terstruktur.
6.      Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetesni (KBK). KTSP lahir karena KBK diaanggap masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini Diknas masih dipandang terlalu intervensi dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberikan wewenang untuk mengembangkan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen kurikulum lainnya.
Menurut Dwiningrum,[45] implementasi kurikulum KTSP adalah dalam rangka upaya merekontruksi kembali peran sekolah dalam pengembangan kurikulum. Kurikulumnya didisain untuk menghindari budaya hegenomi. Demikian halnya, pengetahuan yang diberikan tidak hanya “ditransferkan”, tetapi “ditansformasikan”. KTSP memberikan kesempatan bagi guru untuk mengembangkan kemampuan tranformatif, yakni mengembangkan materi sesuai dengan kemampuan dan potensi siswa agar nantinya dengan bekal pengetahuan dasar dan kemampuan menjadi individu yang aktif dan kreatif.
7.      Kurikulum 2013
Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Hal tersebut adalah dalam rangka untuk merespon berbagai tantangan internal dan eksternal. Pertama, tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 Standar Nasional Pendidikan yang meliputi Standar Pengelolaan, Standar Biaya, Standar Sarana Prasarana, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, dan Standar Kompetensi Lulusan. Tantangan internal lainnya terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Kedua, seperti; (1) tantangan masa depan, [46](2) kompetensi masa depan, [47] (3) persepsi masyarakat, (4) perkembangan pengetahuan dan pedagogi, dan (5) fenomena negative yang mengemuka.
Perubahan-perubahan kurikulum nasional yang terjadi ternyata dalam prakteknya tidaklah mudah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dwiningrum misalnya, tentang pelaksanaan kurikulum KTSP menggambarkan bahwa KTSP yang dikembangkan oleh guru masih “ganti baju”, yakni tetap KBK yang juga belum dipahami oleh guru secara keseluruhan.[48]Karena,  tidak semua guru mempunyai kemampuan yang sama untuk dapat mengembangkan kurikulum secara mandiri sesuai dengan ketentuan kurikulum dan sesuai dengan kondisi sekolah.

2.    Kurikulum Nasional: Seharusnya Membelajarkan
Pendidikan merupakan gambaran umum atas apa yang harus dijalankan, sedangkan kurikulum  merupakan wilayah konsep dan teknis yang sudah menjadi konstruksi sebuah praktek pendidikan. Adapun tujuan pendidikan adalah mengajar, memanusiakan, dan mengarahkan anak didik agar mencapai akhir yang sempurna. Dalam konteks tersebut, maka konsep kurikulum seharusnya  lahir dari kebutuhan-kebutuhan di lapangan bagaimana anak didik harus belajar dan mendapatkan pendidikan. Dengan kata lain, ia harus berbicara atas nama kepentingan dan kebutuhan anak didik bukan yang lain, baik secara khusus maupun umum.[49]
Beane membagi kurikulum dalam empat jenis, yaitu (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi siswa.[50] Pertama, sebagai sebuah produk, kurikulum nasional Indonesia pada semua jenjang amat sarat dengan mata pelajaran sehingga berpengaruh terhadap daya serap siswa yang tidak optimal. Mereka belajar tentang banyak hal tetapi dangkal. Sampai saat ini banyak pihak terutama guru  memahami kurikulum hanya sebagai produk. Akibatnya, banyak sekolah (baca:guru) menjadi terlalu memusatkan diri dalam pembelajaran pada pencapaian target kurikulum dalam domain kognitif semata. Persoalan seperti system nilai, kreativitas, dan kompetensi perilaku siswa kurang bahkan tidak mendapat perhatian yang proporsional.
Kedua, sebagai sebuah program, di dalam kurikulum nasional masih terdapat materi yang tumpang-tindih  baik secara vertical maupun horizontal. Secara vertical, materi di kelas satu bisa muncul lagi di kelas dua atau kelas tiga untuk mata pelajaran yang sama. Sedangkan secara horizontal, terdapat pokok bahasan yang sama pada beberapa mata pelajaran yang berbeda.[51]
Ketiga dan Keempat, Kurikulum sebagai sebuah proses dan pengalaman belajar  erat kaitannya dengan prilaku guru di depan kelas dalam konteks pembelajaran. Kurikulum dalam arti produk hanya seperti blueprint bagi suatu proses membangun sebuah gedung yang monumental. Bagaimanapun bagusnya blueprint yang telah disiapkan seorang arsitektur, blueprint tersebut tidak akan bernakna tanpa adanya pelaksana yang kompeten dalam bidang bangunan di lokasi gedung itu akan didirikan. Dengan analog ini, kurikulum masih memerlukan intervensi dan kearifan seorang guru yang akan mengajarkannya di depan kelas.
Sejatinya, melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan diharapkan mampu melahirkan manusia yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting; pertama, berusaha mengenali hakekat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya; kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang bukan dirinya.[52]  Kedua hal inilah yang merupakan karakteristik dari manusia pembelajar.
Selama ini, proses pembelajaran yang dilakukan guru selalu mendapat sorotan dan kritikan dari berbagai pihak, karena ketidakmampuannya  melahirkan manusia pembelajar. Andrias Harefa misalnya telah menunjukkan  akar persoalan sebenarnya dalam sistem pendidikan kita, bahwa proses pembelajaran yang dilakukan telah dibatasi menjadi sekedar pengajaran dan pelatihan. Hal tersebut telah membuat peserta didik tidak sadar dan tidak paham akan makna belajar. Bagi mereka, belajar adalah untuk hidup, bukan hidup untuk belajar; belajar ketika berada di sekolahan atau bangku kuliah, belajar untuk nilai bagus, belajar untuk mendapatkan pekerjaaan, memperoleh jabatan, dan lain sebagainya. Aktivitas belajar terhenti ketika sudah tamat sekolah atau sudah menjadi sarjana, serta telah mendapatkan pekerjaan pula. [53]        
Kritikan senada juga dilontarkan oleh Indra Jati sidi. Ia melihat bahwa proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru saat ini masih pada teacher  oriented  atau berpusat pada guru. Seorang peserta didik hanya dipersiapkan untuk harus dan mau mendengar dan menerima informasi, serta mentaati segala perlakuan guru. Sehingga dengan demikian, peserta didik tidak mampu mengaktivasi kemampuan otaknya, tidak memiliki keberanian menyampaikan pendapat, lemah penalaran dan tergantung pada orang lain.[54]
Hal senada juga dikemukan oleh Jamal ma’mur Asmani, bahwa masih banyak praktek pendidikan yang dianggap sebagai creative killer, yang menyebabkan siswa berkembang menjadi pribadi yang rendah diri, takut mengambil resiko, pasif, dan tidak berkarakter. Hal tersebut bisa dilihat dari proses pembelajaran yang masih menekankan praktek menghafal isi teks buku, sistem tes yang membutuhkan jawaban baku/standar (misalnya benar atau salah, sistem pilihan ganda), serta melatih memori jangka pendek (menghafal hanya untuk bisa menjawab tes, dan akan lupa beberapa hari kemudian). Di samping itu, materi pembelajaran yang diberikan secara parsial dan abstrak membuat para siswa tidak bisa berpikir HOTS (higher order thingking skills) yaitu konseptual (keterkaiatan antar-materi pelajaran serta keterkaitannya dengan kehidupan nyata), berpikir sintesis untuk memberikan solusi/pemecahan masalah, serta berpikir kritis untuk menyaring dan mengolah berbagai informasi yang ada. Proses pembelajaran yang kaku (siswa lebih banyak menyimak, tanpa diskusi aktif), beban pelajaran yang terlalu berat, rasa tertekan, dan ketakutan siswa akan kegagalan, serta guru yang kaku/galak.[55]
Di samping itu, Paolu Freire   juga melontarkan kriktikan keras terhadap model pembelajar pasif yang dilakukan guru, yang disebutnya sebagai pendidikan gaya bank; guru mengajar, murid belajar; guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir, murid dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya; guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri; guru mengacaukaan wewenang ilmu pengetahuaan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid; guru adalah subjek proses belajar, dan murid objeknya.[56]
Artinya,  peserta didik diberi ilmu pengetahuan agar kelak diharapkkan menghasilkan sesuatu  dengan berlipat ganda. Peserta didik jadi objek investasi dari sang guru. Mereka tidak berbeda dengan komunitas ekonomi. Inverstornya adalah guru yang mewakili lembaga ilmu pengetahuan, depositnya adalah pelajaran. Peserta didik dianggap sebagai sebuah bejana kosong yang akan diisi, sebagai tabungan yang harus dikeluarkan kembali saat guru menghendakinya. Guru berfungsi sebagai subjek aktif, dan peserta didik sebagai objek pasif.
Sadar atau tidak, sistem pengajaran gaya perbankan yang selama ini ditampilkan oleh para guru kita atau kita sendiri, sebenarnya telah menafikan harkat kemanusiaan peserta didik. Mereka adalah manusia-manusia tertindas di mana hak-hak mereka telah dinistakan. Mereka telah dibenamkan kepada “ kebudayaan bisu”, yaitu kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan untuk mengungkapkan  pikiran dan perasaan sendiri, sehingga diam dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan dan harus ditaati. Mereka menjadi objek, padahal fitrah manusia sejati adalah menjadi subjek.[57]
Praksis pendidikan yang mengikuti antagonis gaya bank tersebut telah berimplikasi sangat jauh; manusia-manusia yang dilahirkan adalah manusia-manusia yang terpasung dari kemandirian dan kreativitas; mereka tidak mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan  sosial dalam komunitas lingkungannya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Alwasilah terhadap mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Amerika Serikat, terbukti bahwa: (1) dalam diskusi kelompok, mahasiswa Indonesia cenderung menjadi pendengar bukannya pembicara; (2) dalam menyajikan makalah mereka kurang percaya diri, dan kurang mampu menggelarkan bukti-bukti pendukung gagasan; (3) dalam menyusun paper, pertama mereka menyusunnya dalam bahasa Indonesia kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris; (4) saat berkonsultasi dengan dosen, mereka menunjukkan hormat yang berlebihan; (5) di dalam kelas mereka cenderung diam dan mengikut pada orang lain.[58]
Untuk melahirkan manusia pembelajar melalui proses pembelajaran merupakan tanggungjawab guru. Oleh karena itu maka guru harus mau merubah paradigma pembelajaran yang selama ini dipraktekkan, dengan melalui langkah-langkah berikut:
Pertama, menggeser paradigma guru tentang dirinya. Hal ini dimaksudkan sebagai cara guru memandang hidup dan dunia profesinya. Kenyataannya adalah bahwa banyak sekali guru-guru kita yang menganggap bahwa profesi guru adalah profesi kelas dua, rendah, kering, dan membosankan. Menjadi guru karena sudah frustasi tidak mendapatkan pekerjaan lain yang dianggap lebih bergengsi,… dan sebagainya.
            Cara pandang guru terhadap profesinya di atas, dinilai oleh Dede Rosyada sebagai guru yang tidak baik. Seorang guru tidak boleh sinis dengan pekerjaannya, tetapi sebaliknya, seharusnya dia bangga. Adalah tidak etis dan bijaksana kalau seorang guru menganggap profesinya sebagai profesi orang-orang miskin hanya karena indeks gajinya yang tidak memadai, padahal dia tahu sebelumnya bahwa gaji  seorang guru memang tidak memadai sehingga profesi guru menjadi terhina.[59] Ingatlah wahai para guru, seperti apa profesi guru di mata orang lain (bukan guru) tergantung seperti apa kita memandang diri (profesi) kita. Paradigma guru adalah cara guru mempersepsikan, memahami, dan menafsirkan dunia pendidikan dan sekelilingnya.
            Kedua, cara pandang guru tentang dirinya di tengah-tengah muridnya. Paradigma guru tentang dirinya, sebagaaimana digambarkan oleh Paulo Freire, harus mulai disingkirkan. Guru tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pengajar, tapi sebagai mitra belajar (belajar bersama) peserta didik. Guru tidak lagi menganggap dirinya sebagai orang yang tahu segalanya, sehingga memperlihatkan ke-aku-annya, keegoisannya, keangkuhannya, dan sebagainya di hadapan muridnya. Apalagi di era di mana gerbang informasi sudah terbuka lebar dan masuk ke ruang-ruang yang sangat pribadi sekali pun. Adalah merupakan suatu keniscayaan bahwa peserta didik tahu sesuatu yang gurunya tidak tahu. Dengan demikian, guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber informasi.
            Guru tidak lagi  dominan dalam proses pembelajaran; yang berpikir, berbicara, mengatur dan bertindak sendiri tanpa melibatkan peserta didik. Artinya, guru tidak lagi memposisikan dirinya sebagai satu-satunya subjek. Dalam konteks ini, fungsi guru tidak lain hanya sebagai motivator, fasilitator, promotor of learning yang lebih mengutamakan bimbingan dan menumbuhkan kreativitas peserta didik.
            Jadilah guru yang baik ! yakni, seperti kriteria yang dikemukakan oleh Abdurrahman Mas’ud; (1) bisa menjadi suri tauladan  bagi kehidupan social akademis peserta didik, (2) menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik, antusias, dan ikhlas mendengar dan menjawab pertanyaan, serta menjauhkan diri dari sikap emosional dan feodal, seperti cepat marah dan tersinggung karena pertanyaan peserta didik disalahartikan sebagai mengurangi wibawa.[60]
            Gilbert H. Hunt, sebagaimana dikutip oleh Dede Rasyada, [61] mengemukakan tujuh criteria guru yang baik: (1) sifatnya harus baik; antusias, stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi pada tugas dan pekerja keras, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa dipercaya, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri, demokratis, penuh harapan bagi siswa, tidak semata mencari reputasi pribadi, mampu mengtasi stereotipe siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar siswa, mampu menyampaikan perasaannya, dan memiliki pendengaran yang baik. (2) Memiliki pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diaampunya, dan terus mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya itu. (3) Mampu menjamin bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit bahasan yang diharapkan siswa secara maksimal. (4) Mampu memberikan harapan pada siswa, mampu membuat siswa akuntabel, dan mendorong partisipasi orang tua dalam memajukan kemampuan akademik siswa. (5) Biasa menerima berbagai masukan, risiko, dan tantangan, bijaksana terhadap  kritikan siswa,... (6) Mampu merencana dan mengorganisir
            Jadilah Quantum Teacher ! kata Bobbi De Porter dalam bukunya Quantum Teaching. Dia mengemukakan 13 sifat seorang seorang quantum teacher; (1) Antusias; menampilkan semangat hidup, (2) berwibawa; menggerakkan orang, (3) positif; melihat peluang dalam setiap saat, (4) supel; mudah menjalin hubungan dengan beragam siswa, (5) humoris; berhati lapang untuk menerima kesalahan, (6) luwes; menemukan lebih dari satu cara untuk mencapai hasil, (7) menerima dan mencari dibalik tindakan dan penampilan luar untuk menemukan nilai-nilai inti, (8) fasih; mampu berkomunikasi dengan jelas dan jujur, (9) tulus; memiliki niat dan motivasi positif, (10) spontan; dapat mengikuti irama dan tetap menjaga hasil, (11) manarik dan tertarik; mengaitkan setiap informasi  dengan pengalaman hidup  dan peduli terhadap diri peserta didik, (12) menganggap siswa “mampu”; percaya akan dan mengorkesrasi kesuksesan peserta didik, dan (13) menetapkan dan memelihara harapan tinggi; membuat pedoman kualitas hubungan dan kualitas kerja yang memacu setiap peserta didik untuk berusaha sebaik mungkin .[62]
            Jadi, guru yang baik adalah guru yang memiliki sifat-sifat ideal. Tidak realistis ? Tidak juga. Masih banyak guru-guru kita yang menampilkan sifat-sifat di atas. Pertanyaannya adalah seberapa  yakin dan konsistennya para guru untuk menampilkan sifat-sifat tersebut. Dalam konteks ini, De Porter mengatakan, “ Yakinlah dengan kemampuan anda mengajar dan kemampuan siswa anda belajar, maka akan terjadi hal-hal menakjubkan”.
            Ketiga, menggeser paradigma guru tentang siswanya.
            Untuk memulai bagian ini, penulis kembali mengemukakan  bagaimana cara guru memandang diri dan siswanya seperti tergambar pada pendapat Paulo Freire:
·         guru mengajar, murid belajar
·         Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
·         Guru berpikir, murid dipikirkan
·         Guru bicara, murid mendengarkan
·         Guru mengatur, murid diatur
·         Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
·         Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
·         Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri
·         Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan profesionalnya dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
·         Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya
Peserta didik adalah seorang anak manusia yang memiliki harkat dan martabat yang tak boleh dijajah, ditindas, atau dinafikan oleh siapapun, termasuk para guru. Apa yang digambarkan oleh Paulo freire di atas merupakan penjajahan, penindasan, dan penafian akan harkat kemanusiaan peserta didik.
Siapakah peserta didik ?
Pertama, peserta didik adalah makhluk dua dimensional yang terkomposisi atas jiwa dan raga yang saling berhubungan dan saling menunjang, dan tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks ini, para peneliti telah melahirkan teori-teori tentang Intelectual Quatient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Ternyata, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel Goleman diketahui bahwa IQ hanya menyumbang 20% terhadap keberhasilan seseorang, bahkan hanya 6 % menurut Steren J. Stein dan Howard E. Book. [63]
Menurut Ari Ginanjar Agustian, IQ dan EQ saja belum cukup untuk membuat seseorang benar-benar sukses dalam kehidupannya. Ada nilai-nilai lain yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, yaitu Spiritual Quotient (SQ). IQ memang penting, yaitu agar manusia bisa menciptakan dan memanfaatkan teknologi demi efisiensi dan efektivitas. EQ juga penting dalam membangun hubungan antar manusia sekaligus meningkatkan kinerja. Namun, tanpa SQ maka keberhasilan itu hanyalah akan menghasilkan “Hitler” baru atau “Fir’aun” kecil di muka bumi.
Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran diharapkan pendidik dapat mengembangkan kecerdasan-kecerdasan peserta didik, sehingga mereka dapat menjalani hidup dengan baik dan berhasil, menjadi manusia seutuhnya yang mengerti tujuan hidup, harkat, dan martabatnya. IQ memang penting, tapi nilai bukan segalanya. Nilai tinggi belum tentu sukses, dan nilai rendah juga belum tentu gagal.
Kedua, peserta didik adalah makhluk individual social. Sebagai makhluk individual, peserta didik adalah seorang individu tertentu. Ia merupakan kesatuan tak terbagi, unik, dan otonom. Tugas, tanggung jawab, dan panggilan pertama seorang individu adalah belajar menjadi seorang yang bertanggung jawab untuk dirinya sendiri.
Untuk menjadi dirinya sendiri, peserta didik harus diberikan kesempatan untuk belajar menumbuhkembangkan keberanian untuk menyatakan perbedaan, dan bukan memaksanya untuk menyamakan diri atau meniru-niru orang lain. Belajar menjadi pemberani dalam arti menerima perbedaan sebagai suatu kenyataan yang wajar dan manusiawi, serta pantas disyukuri dan bukan disesali, apalagi ditiadakan. Peserta didik juga harus dididik untuk mengatasi kecenderungan diri untuk bersikap reaktif dengan melempar tanggungjawab dan suka mencari kambing hitam (excuses), juga harus dididik untuk berani menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menunaikan setiap pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Ia juga harus dididik untuk berani mengakui kesalahan dan kekhilafannya, berani bertindak sesuai dengan suara hatinya, berani menyatakan apa yang diyakininya sebagai benar, berani menerima dirinya, menghargai dirinya, mempercayai dirinya, dan mengarahkan dirinya untuk menjadi otentik dan sejati atau menjadi dirinya sendiri, mengekspresikan diri sepenuhnya, seutuh-utuhnya, apa pun resiko dan konsekuensinya.[64]
Berdasarkan hal tersebut, proses pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik, kegiatan belajar dalam rangka mendapatkan informasi, dan sebagainya lebih banyak dilakukan peserta didik. Dengan demikian, peserta didik sudah mulai dilatih bersikap kreatif, mandiri, dan produktif di mana sikap seperti itu sangat dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat maju. Kondisi semacam ini pada gilirannya dapat menciptakan masyarakat belajar (learning society)
Dengan demikian, peserta didik menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya, begitu juga seorang guru. Jadi, keduanya (guru dan peserta didik) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Hubungan keduanya menjadi subjek-subjek, bukan subjek-objek. Objek mereka adalah realitas. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subjek untuk memahami objek bersama. Dari sinilah akan muncul pelbagai penemuan dan terobosan baru, khususnya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai makhluk individual, peserta didik memang dapat berdiri sendiri. Tetapi, keberadaanya selalu bersama dengan yang lain. Karena ia adalah makhluk social. Oleh karena itu, individualitas manusia perlu dipahami dalam kaitan sosialnya, dan antara keduanya tidak boleh dipisahkan. Dalam konteks ini, pendidik dapat membimbing peserta didik untuk bisa menghargai, menghormati, dan bahkan bekerjasama dengan orang lain atau temannya. Peserta didik dapat saling membantu dalam belajar (mengajar) sesame peserta didik lainnya. Bahkan banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru.[65]
Ketiga, peserta didik adalah makhluk yang bebas. Manusia disebut bebas apabila ia dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu yang menghalangi perwujudan dirinya secara utuh. Namun, kebebasan individu adalah kebebasan dengan tanpa menghilangkan atau merampas kemerdekaan dan kebebasan orang lain. Dalam konteks pendidikan, kebebasan peserta didik bukan berarti melepaskan diri dari guru dan teman-temannya, dan hanya berpikir tentang dirinya sendiri. Sebab, hal itu tidak manusiawi, tidak sportif, dan destruktif. Tetapi ia adalah kebebasan yang diciptakan oleh pendidik agar peserta didik memiliki kebiasaan bebas secara individu dan mendidiknya dengan pendidikan pembebasan agar mereka mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupannya tanpa harus tergantung pada orang lain. Pendidikan dan pengajaran tanpa kebebasan akan menghasilkan orang-orang muda yang serba gagu dan ragu untuk mengambil pilihan.
Berdasarkan hal tersebut, maka tugas pendidik adalah: [66]  pertama, mentradisikan anak memikul tanggungjawab sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Peserta didik dibebaskan melakukan apa saja tanpa harus bergantung pada orang lain. Kedua, melibatkan peserta didik dalam mengatasi problematika hidup agar pada saatnya di masyarakat ia telah memiliki keteguhan jiwa, semangat yang kuat, objektif, memiliki kekuatan iman, percaya diri, mampu melaksanakan tugas diri dan negaranya, dan selalu mantap dan sukses dalam hidupnya. Ketiga, tepat dan bijak dalam memuji peserta didik agar memiliki kepercayaan diri yang wajar dan sehat. Terlalu percaya diri mengisyaratkan bahwa orang tersebut sangat lemah. Keempat, jangan memperbanyak perintah dan larangan, sebab hal itu akan mematikan emosi dan kreativitas peserta didik. Sebab, perintah atau larangan yang berlebihan sama artinya dengan pengendalian, penggiringan, dan pengurangan kesempatan bagi anak untuk berinisiatif, dan pada gilirannya anak akan bergantung dan kurang percaya diri, bakat dan minatnya pun akan tumpul tak tergerak lagi. Kelima, pendidik hendaknya memperhatikan kemampuan rill peserta didik, kemudian mengarahkan dan memotivasinya menuju kesempurnaan jiwa dan skill.
Dengan demikian, peran pendidik sangat menentukan apakah proses pendidikan tersebut dapat membebaskan atau tidak terhadap individu peserta didik untuk bisa mandiri dan menemukan jati diri kemanusiaanya. Hal ini akan berhasil apabila pendidik memahami dan sadar akan kebebasan diri sendiri.
Keempat, peserta didik adalah makhluk yang menyejarah. Artinya; (1) sebagai makhluk yang sadar manusia dapat mengenal dan mengerti masa lalunya dan dapat memanfaaatkannya demi kehidupannya di masa sekarang dan yang akan datang. (2) sebagai makhluk yang berkehendak bebas yang dapat merancang hidupnya, sehingga kendati dipengaruhi masa lampaunya ia tetap mengambil sikap terhadapnya. Ia dapat menentukan dirinya dan menghidupi dirinya. (3) manusia berkembang dalam waktu, hidupnya tidak statis. Dalam hidupnya ia mengalami perubahan dan perkembangan.
Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan harus didasarkan atas fakta masa lampau peserta didik, baik perorangan maupun sebagai bangsa. Dari segi perorangan, peserta didik bukanlah suatu tabularasa sebagaimana dianggap oleh John Locks. Kelenturannya untuk dibentuk, daya tangkap, dan daya tampungnya untuk diisi mengenali batas-batas tertentu. Unsur-unsur bawaan, baik dari segi biologis, psikologis, dan kerohanian akan cukup berpengaruh juga pada tingkat prestasi yang dicapai. Untuk dapat berkembang secara sehat, peserta didik perlu mengenali dan menerima fakta masa lampaunya.
E.       Kesimpulan
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Ia dapat (paling tidak sedikit) meramalkan hasil pendidikan/pengajaran yang diharapkan karena ia menunjukkan apa yang harus dipelajari dan kegiatan apa yang harus dialami oleh peserta didik. Oleh karena itu , ia harus dimenej atau dikelola dengan baik dengan menerapkan ilmu manajemen modern.  Tanpa hal itu, maka tujuan pendidikan yang diinginkan tidak akan tercapai dengan maksimal.


















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Soedijarto.  2008. Landasan dan Arah pendidikan nasional Kita,  Jakarta, Kompas.

Tim Dosen Administrasi Pendidikan. 2009.  Manajemen Pendidikan, Bandung,  Alfabeta

Handoko, T. Hani. 1984. Manajemen, edisi 2 . Jokjakarta: tp.

Blanchard, Kenneth H. and Paul, Hersey. 1982. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resouces, New Jersey: Prentice-Hall.

Hamalik, Oemar. 2006.  Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: UPI dan Remaja Rosdakarya.

Hasibuan, Melayu S.P.  2007. Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah,  Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Suyanto & Hisyam, Djihad. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Yokyakarta: AdiCita.

Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan pembelajaran. 2012. Kurikulum Dan Pembelajaran, Bandung: Rajagrafindo Persada.

Munir. 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi,  Bandung: Alfabeta.
Akbar. Sa’dun,  dan Sriwiyana, Hadi. 2010. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran (IPS), Yogyakarta: Cipta Media.

Connelly. F. Michael dan Clandinin, D. Jean. 1988.  Teacher as Curriculum Planners, Amsterdam Vanue: Teacher College Press, 1988.

Tim Dosen AP. 2011. Manajemen Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press.

Arikunto. Suharsimi dan Yuliana, Lia. 2009. Manajemen Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media.

Suryosubroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan Di Sekolah,  Jakarta:Rineka Cipta.

Rusman. 2009. Manajemen Kurikulum, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. 2009. Manajemen Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Hamalik, Oemar. Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Fattah, Nanang. 2008.  Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Susilo, Muhammad Joko. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mulyasa, E. 2009. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Suryobroto, B. 2009. Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Majid, Abdul. 2009. Perencanaan Pembelajaran : Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muslich, Masnur.  2008. KTSP (Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan), Jakarta: PT Bumi Aksara.

Mulyasa, E. 2010. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.

Asmani, Jamal Ma’mur. 2009. Manajemen Pengelolaan dan Kepemimpinan Pendidikan Profesional, Jokjakarta: Diva Press.

Hasan, Hamid. 2008. Evaluasi Kurikulum,  Bandung: PT Rosdakarya.

Dwiningrum, Siti Irene Astuti. 2011. Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

Yamin, Moh. 2009. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, Jokjakarta: Diva Press.

Beane, J.A. and Toepler, C.F et al. 1986. Curriculum Planing and Development, (Boston: Allyin and Bacon.

Harefa, Andrias. 2000. Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta: Harian Kompas.

Sidi, Indra Jati. 2000. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.





[1] Soedijarto, Landasan dan Arah pendidikan nasional Kita, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 118.
[2] Ada beberapa landasan yang bisa digunakan dalam pengembangan kurikulum; (1)  landasan filosofis sebagai landasan utama; (2) masyarakat dan kebudayaan; (3) individu (peserta didik); dan (4) teori-teori belajar (psikologis). Lihat: Tim Dosen Administrasi Pendidikan, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 191.
[3] Paling tidak ada tiga alasan kenapa manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi termasuk pendidikan; (1) untuk mencapai tujuan, (2) untuk menjaga keseimbangan di antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, dan (3) untuk mencapai efisiensi dan efektivitas. Lihat: T. Hani Handoko, Manajemen, edisi 2 (Jokjakarta: tp., 1984), hlm. 6-7.
[4] Kenneth H. Blanchard and Hersey Paul, Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resouces, (New Jersey: Prentice-Hall, 1982), hln. 3.
[5] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: UPI dan Remaja Rosdakarya, 2006), h. 16.
[6] Lihat: Melayu S.P. Hasibuan, Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 1-2.
[7] Suyanto & Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yokyakarta: AdiCita, 2000), hlm. 65.
[8] Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan pembelajaran, Kurikulum Dan Pembelajaran, (Bandung: Rajagrafindo Persada, 2012),hlm. 2.
[9] Munir, Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 28.
[10] Sa’dun Akbar dan Hadi Sriwiyana, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran (IPS), (Yogyakarta: Cipta Media, 2010),hlm. 2.
[11] Tim Dosen AP, Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2011),hlm. 37.
[12] F. Michael Connelly dan D. Jean Clandinin, Teacher as Curriculum Planners, (Amsterdam Vanue: Teacher College Press, 1988), hlm. 5.
[13] Lihat: Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen Pelaksanaa dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, (Yokyakarta: Pustka Pelajar, 2008), h. 51.
[14] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada, 2008), 9
[15] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokras, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 32.
[16] Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 2009), hlm. 131.
[17] B. Suryosubroto, Manajemen Pendidikan Di Sekolah, (Jakarta:Rineka Cipta,2004),hlm. 42.
[18] Tim Dosen AP, Manajemen Pendidikan, hlm. 41.
[19] Rusman, Manajemen Kurikulum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 4.
[20] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 93.
[21] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen Pendidikan, ,hlm. 93.
[22] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2008),hlm. 49.
[23] Oemar Hamalik, loc. cit.
[24] Tim Dosen AP, Manajemen Pendidikan, hlm. 42.
[25] Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008),hlm. 155.
[26] Program tahunan merupakan program umum setiap mata pelajaran umum setiap kelas, yang dikembangkan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan. Program ini perlu dipersiapkan dan dikembangkan oleh guru sebelum tahun ajaran, karena merupakan pedoman bagi pengembangan program-program berikutnya, yakni program semester, program mingguan, dan program harian atau program pembelajaran setiap kompetensi dasar. Lihat: E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009),hlm. 249.
[27] Dalam menyusun semester/caturwulan dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : (1) menghitung hari dan jam efektif selama satu cawu/semester, (2) mencatat mata pelajaran yang akan diajarkan selama satu cawu, (3) membagi alokasi waktu yang tersedia selama satu cawu. Lihat: B. Suryobroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), Cet. 2, hlm. 25.
[28] Silabus adalah rancangan pembelajaran yang berisi rencana bahan ajar mata pelajaran tertentu pada jenjang dan kelas tertentu. Sebagai hasil dari seleksi, pengelompokan, pengurutan dan penyajian materi kurikulum yang dipertimbangkan berdasarkan ciri dan kebutuhan daerah setempat. Silabus merupakan seperangkat rencana serta pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan penilaian yang disusun secara sistematis memuat komponen-komponen yang saling berkaitan untuk mencapai penguasaan kompetensi dasar. Lihat: Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran : Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009 ),hlm. 39.
[29] Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Berdasarkan RPP inilah seorang guru (baik yang menyusun RPP itu sendiri maupun yang bukan) diharapkan bisa menerapkan pembelajaran secara terprogram. Oleh karena itu, RPP harus mempunyai daya terap (aplicable) yang tinggi. Pada sisi lain, melalui RPP pun dapat diketahui kadar kemampuan guru dalam menjalankan profesinya. Lihat: Masnur Muslich, KTSP (Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan), (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008),hlm. 45.
[30] E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 178.
[31] E. Mulyasa, Implementasi.., op.cit., hlm. 179-180.
[32] Rusman, hlm. 75.
[33] Jamal Ma’mur Asmani, Manajemen Pengelolaan dan Kepemimpinan Pendidikan Profesional, (Jokjakarta: Diva Press, 2009), hlm. 64.
[34] Rusman, loc.cit.
[35] Ibid., hlm. 75-76.
[36] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum,hlm. 185-186.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT Rosdakarya, 2008), hlm. 41.
[40] Rusman, op.cit., hlm. 94.
[41] Ibid., hlm. 42-43
[42] Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 165.
[43] Ibid.
[44] Indra Djati Sidi, op. cit., hlm. 15-17.
[45] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 123.

[46] Seperti tantangan globalisasi: WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA, (2) Masalah lingkungan hidup, (3) Kemajuan teknologi informasi, (4) Konvergensi ilmu dan teknologi, (5) Ekonomi berbasis pengetahuan, (6) Kebangkitan industri kreatif dan budaya, (7) Pergeseran kekuatan ekonomi dunia, (8) Pengaruh dan imbas teknosains, (9) Mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan.
[47] Seperti: (1) Kemampuan berkomunikasi, (2) Kemampuan berpikir jernih dan kritis, (3) Kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, (4) Kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab, (5) Kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, (6) Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, (7) Memiliki minat luas dalam kehidupan, (8) Memiliki kesiapan untuk bekerja, (9) Memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, (10) Memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungan.
[48] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 123-124.
[49] Moh. Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Jokjakarta: Diva Press, 2009), hlm. 155-156.
[50] J.A. Beane and C.F Toepler et al., Curriculum Planing and Development, (Boston: Allyin and Bacon, 1986), hlm. 29-23.
[51]Suyanto dan Djihad Hisyam,  Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yokyakarta: Adicita, 2000), hlm. 62.
[52] Andrias Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, (Jakarta: Harian Kompas, 2000), hlm. 30.
[53] Ibid., hlm. 53.
[54] Indra Jati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 24-25.
[55] Lihat Jamal ma’mur Asmani, op. cit., hlm. 65-66
[56] lihat dalam Toto Raharjo et al.,  Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41.
[57] Ibid., hlm. 41.
[58] A. Chaidir Alwasilah, “Kurikulum Dasar (Dorongan Agar Siswa Nalar)”, dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II, Kurikulum untuk Abad ke 21, (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 124.
[59] Dede Rosyada, Pendidikan Demokratis, (Jakaarta: Grasindo, 2004), hlm. 114
[60] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yokyakarta: Gema Media, 2003), hlm. 203.
[61] Dede Rosyada, op.cit., hlm. 113-115.
[62] Bobbi De Porter, Quantum Teaching: mempraktekkan Quantum Learning di Ruang Kelas, (Bandung: keifa, 2002), hlm.115.
[63] Lihat Ari Ginanjar Agustian, 2003, hlm. 61
[64] Andrias harefa,  op.cit., hlm.134-135.
[65] lihat Anita Lee, Cooperative Learning, ( Jakarta: Grasindo, 2002), hlm.12.

[66] lihat St. Kartono, Menebus Pendidikan yang Tergadai, ( Yokyakarta: Galang Press, 2002), hlm.158.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook