MANAJEMEN KURIKULUM DAN PROGRAM PEMBELAJARAN
18.59
Manajemen Kurikulum dan
Program Pembelajaran
Oleh: Amrizal
PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan,
sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Ia merupakan cerminan falsafah hidup suatu bangsa. Ke arah mana dan
bagaimana bentuk kehidupan itu kelak akan ditentukan oleh kurikulum yang
digunakan oleh bangsa tersebut sekarang. Dengan demikian, ia mempunyai
kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Dalam konteks tersebut,
Soedijarto menjelaskan bahwa kurikulum mampu membentuk karakter bangsa dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme terhadap
anak bangsa sehingga mencintai bangsanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri
dan keluarganya. Di samping itu, kurikulum juga mengandung nilai religious yang
berupaya mendidik anak bangsa supaya mengenal Tuhannya dan dirinya sehingga
menyuntikkan kesadaran sehingga mereka menjadi anak-anak yang bertanggungjawab.
[1]
Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan maka pengembangan dan
penyusunannya tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh dan
kuat.[2]
Landasan tersebut tidak hanya dipergunakan oleh penyusun kurikulum, tetapi juga
harus dipahami dan dijadikan dasar
pertimbangan oleh pelaksana kurikulum seperti guru, kepala sekolah, pengawas
pendidikan, dan pihak-pihak lain yang
terkait dengan tugas-tugas manajemen atau pengelolaan pendidikan.
Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral dan tidak
dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Tanpa manajemen
tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif, dan
efisien. [3]Fungsi-fungsi
pokok manajemen berupa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan
dalam prakteknya merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Manajemen yang
efektif dan efisien dengan melaksanakan keempat fungsi pokok tersebut secara
terpadu dan terintegrasi akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan
kualitas pendidikan secara umum, dan kualitas kurikulum secara khusus.
Pembahasan makalah ini akan
dimulai dengan membahas konsep manajemen kurikulum; pengertian , ruang lingkup,
prinsip dan fungsi manajemen kurikulum, komponen manajemen kurikulum, dan akan
diakhiri dengan pembahasan tentang bagaimana implementasi kurikulum pendidikan
nasional.
A. Pengertian Manajemen
Kurikulum
Secara
bahasa manajemen berasal dari kata “to manage” yang artinya mengatur. Adapun
secara istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard bahwa: ” Management as working with and through
individuals and groups to accomplish organizational goals” (manajemen
merupakan kegiatan yang dilakukan bersama dan
melalui orang-orang serta kelompok dengan maksud untuk mencapai
tujuan-tujuan organisasi).[4]Hal
senada dikemukakan oleh Hamalik, bahwa manajemen merupakan suatu
proses sosial yang berhubungan dengan keseluruhan usaha manusia dengan manusia
lain serta sumber- sumber lainnya dengan
menggunakan metode yang efisien efektif untuk mencapai tujuan yang ditentukan
sebelumnya.[5]
Usaha-usaha tersebut menurut George R. Terry, berupa proses-proses perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian untuk menentukan serta mencapai
tujuan melalui pemanfaatan SDM dan sumber daya lainnya.[6]
Berdasarkan
beberapa pengertian manajemen tersebut , maka dapat disimpulkan bahwa manajemen
merupakan serangkaian kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan,
mengendalikan dan mengembangkan terhadap segala upaya dalam mengatur dan
mendayagunakan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana secara efisien dan
efektif untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Adapun
istilah kurikulum, banyak para ahli memberikan pendapat. Pemahaman tentangnya
adalah penting, karena akan menentukan arah pembelajaran yang terkait dengan
proses maupun substansinya. Menurut Suyanto, jika kurikulum hanya di pahami
dalam arti sempit, jangan diharapkan kalau pendidikan dan pengajaran yang
dilaksanakan akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan dan
pendidikan yang diselenggarakan tidak akan mampu mengahasilkan generasi yang
pintar, tangguh, dan cerdas.[7]
Secara
etimologi, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata curir (pelari)
dan curere (tempat berpacu), yang pada awalnya digunakan dalam
dunia olahraga. Karena pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak
yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish
untuk memperoleh medali/penghargaan.[8]
Secara terminology, sebagaimana dikemukakan oleh Hilda
Taba, bahwa kurikulum sebagai rencana belajar (a curriculum is a plan for learning). Rencana tersebut biasanya
berisi tujuan, materi atau isi, strategi pembelajaran dan evaluasi.[9]
Hal senada dikemukakan oleh Beauchamp dalam bukunya
warsito yang dikutip oleh Sa’dun Akbar bahwa, “ A Curriculum
is a written document which may contain many ingredients, but basically
it is a plan for the education of people during their enrollment in
given school”. (Kurikulum
adalah dokumen tertulis yang berisi bahan-bahan, tetapi pada dasarnya, ia
merupakan rencana pendidikan bagi orang-orang
selama mereka mengikuti pendidikan yang diberikan di sekolah).[10]
Defenisi seperti di atas sejalan dengan defenisi yang terdapat pada
undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[11]
Defenisi
yang sedikit berbeda dikemukan oleh B.
Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores bahwa kurikulum adalah "a sequence of potential experiences
is set up in the school for the purpose of disciplining children and
youth in group ways of thinking and acting (urutan
pengalaman potensial yang diatur sekolah untuk tujuan mendisiplinkan anak-anak
dan remaja dengan cara kelompok berpikir dan bertindak) ".[12]
Hal senada dan lebih luas dikemukan oleh
Albert Oliver yang mengemukakan bahwa: “Curriculum with the educational program and divided into four basic
element: (1) the program of study, (2) the program of experiences, (3) the
program of services, and (4) the hidden curriculum”. [13]
Berdasarkan pendapat Oliver tersebut dapat
dipahami bahwa kurikulum pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat komponen
pokok yaitu sebagai program pendidikan atau belajar, program pengalaman,
program latihan, dan hidden curriculum.
Dengan demikian, dalam teori kurikulum
sedikitnya ada dua bagian besar kurikulum, yaitu kurikulum formal yang tertulis
atau written curriculum dan kurikulum
yang tidak tertulis yang lebih dikenal
dengan hidden curriculum. Untuk
mencapai pendidikan yang baik, keduanya harus saling melengkapi dan tidak boleh terjadi ketimpangan. Menurut
Sanjaya perkembangan peserta didik hanya
akan tercapai apabila dia memperoleh pengalaman belajar melalui semua pelajaran
yang disajikan sekolah, baik melalui kurikulum tertulis ataupun yang tidak
tertulis (hidden curriculum).[14]
Dalam konteks tersebut, Dede Rosyada berpendapat bahwa kurikulum yang dapat
mengantarkan siswa sesuai harapan, idealnya tidak cukup hanya kurikulum yang
dipelajari saja (written curriculum),
tetapi juga hidden curriculum yang
secara teoretis sangat rasional memengaruhi siswa baik menyangkut lingkungan
sekolah, suasana kelas, bahkan pada kebijakan dan manajemen pengelolaan sekolah
secara lebih luas dan hubungan vertikal dan horizontal.[15]
Berdasarkan
beberapa definisi manajemen dan kurikulum yang telah dipaparkan di atas, maka
manajemen kurikulum menurut Suharsimi Arikunto adalah segala proses usaha
bersama untuk memperlancar pencapaian tujuan pengajaran dengan titik berat pada
usaha, meningkatkan kualitas interaksi belajar mengajar.[16]
Sama halnya dengan pendapat B. Suryosubroto bahwa manajemen kurikulum adalah
kegiatan yang dititikberatkan kepada usaha-usaha pembinaan situasi belajar
mengajar di sekolah agar selalu terjamin kelancarannya.[17]
Dikemukakan pula oleh Luneberg dan
Orstein bahwa ada tiga proses utama dalam manajemen kurikulum, yaitu
perencanaan kurikulum (planning the curriculum), pelaksanaan kurikulum (implementation
the curriculum), dan penilaian terhadap pelaksanaan kurikulum (evaluating the curriculum).[18]
Dengan
demikian dapat simpulkan bahwa manajemen kurikulum adalah suatu kegiatan yang
dirancang untuk memudahkan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang diawali dari tahap perencanaan dan
diakhiri dengan evalusi program, agar kegiatan dapat terarah serta dapat berdaya hasil guna
dan berdaya guna.
B. Prinsip dan Fungsi Manajemen Kurikulum
Terdapat
lima prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan manajemen kurikulum,
yaitu sebagai berikut:
1.
Produktivitas, hasil yang akan
diperoleh dalam kegiatan kurikulum merupakan aspek yang harus dipertimbangkan dalam
manajemen kurikulum. Pertimbangan bagaimana agar peserta didik dapat mencapai
hasil belajar sesuai dengan tujuan kurikulum harus menjadi sasaran dalam manajemen
kurikulum.
2.
Demokratisasi,
pelaksanaan manajemen kurikulum harus berasaskan demokrasi yang menempatkan
pengelola, pelaksana, dan subjek didik pada posisi yang seharusnya dalam
melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab untuk mencapai tujuan kurikulum.
3.
Kooperatif, untuk memperoleh hasil yang
diharapkan dalam kegiatan manajemen kurikulum perlu adanya kerja sama yang
positif dari berbagai pihak yang terlibat.
4.
Efektivitas dan efisiensi, rangkaian
kegiatan manajemen kurikulum harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi
untuk mencapai tujuan kurikulum sehingga kegiatan manajemen kurikulum tersebut
memberikan hasil yang berguna dengan biaya, tenaga, dan waktu yang relatif
singkat.
5.
Mengarahkan visi, misi, dan tujuan yang
ditetapkan dalam kurikulum. Proses manajemen kurikulum harus dapat memperkuat
dan mengarahkan visi, misi, dan tujuan kurikulum.[19]
Adapun fungsi
dari manajemen kurikulum di antaranya:[20]
1.
Meningkatkan
efisiensi pemanfaatan sumber daya kurikulum, pemberdayaan sumber maupun
komponen kurikulum dapat ditingkatkan melalui pengelolaan yang terencana dan
efektif.
2.
Meningkatkan
keadilan (equality) dan kesempatan pada siswa untuk mencapai hasil yang
maksimal, kemampuan yang maksimal dapat dicapai peserta didik tidak hanya melalui
kegiatan intrakurikuler. Meningkatkan relevansi dan efektifitas sesuai dengan
kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar peserta didik, kurikulum yang
dikelola secara efektif dapat memberikan kesempatan dan hasil yang relevan
dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar.
3.
Meningkatkan
efektivitas kinerja guru maupun aktivitas siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran, pengelolaan kurikulum yang professional efektif, dan terpadu,
dapat memberikan motivasi pada kinerja guru maupun aktivitas siswa dalam
belajar.
4.
Meningkatkan
efisiensi dan efektivitas proses belajar mengajar, proses pembelajaran selalu
dipantau dalam rangka melihat konsistensi antara desain yang telah direncanakan
dengan pelaksanaan pembelajaran. Dengan demikian, ketidaksesuaian antara desain
dengan implementasi dapat dihindarkan. Di samping itu, guru maupun siswa selalu
termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran yang efektif dan efisien karena
adanya dukungan kondisi positif yang diciptakan dalam kegiatan pengelolaan
kurikulum.
5.
Meningkatkan
partisipasi masyarakat untuk membantu mengembangkan kurikulum, kurikulum yang
dikelola secara profesional akan melibatkan masyarakat, khususnya dalam mengisi
bahan ajar atau sumber belajar perlu disesuaikan dengan ciri khas dan kebutuhan
pembangunan daerah setempat.[21]
Dengan
demikian, berdasarkan defenisi manajemen maka secara garis besar ada beberapa
kegiatan berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen kurikulum, yaitu : a. Mengelola
perencaan kurikulum, b. Mengelola implementasi kurikulum c. Mengelola
pelaksanaan evaluasi kurkulum.
a.
Mengelola perencanaan kurikulum.
Merencanakan pada dasarnya adalah menentukan
kegiatan yang hendak dilakukan pada masa depan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mengatur berbagai sumber daya agar hasil yang dicapai sesuai dengan apa yang
diharapkan.[22] Oemar Hamalik mendefenisikan perencanaan kurikulum
sebagai suatu proses sosial yang kompleks yang menuntut berbagai jenis dan
tingkat pembuatan keputusan. Secara umum, perencanaan ini memiliki dua fungsi; [23](1)
sebagai pedoman atau alat manajemen yang
berisi petunjuk tentang jenis dan sumber individu yang diperlukan, media pembelajaran
yang digunakan, tindakan-tindakan yang perlu dilakukan, sumber biaya, tenaga,
dan sarana yang diperlukan, sistem monitoring dan evaluasi, peran unsur unsur
ketenagaan untuk mencapai tujuan manajemen lembaga pendidikan; (2) berfungsi
sebagai pendorong untuk melaksanakan sistem pendidikan sehinga mencapai hasil
optimal.
Perencanaan kurikulum harus
memperhatikan karakteristik kurikulum yang baik, baik dari segi isi,
pengorganisasian maupun peluang-peluang untuk menciptakan pembelajaran yang
baik, sehingga akan mudah diwujudkan oleh pelaksanaan kurikulum, yaitu guru.[24]
Tugas sekolah dalam hal ini adalah: (1)Memahami standar kompetensi dan silabus
yang berlaku secara Nasional dan lokal yang sudah dikembangkan oleh Depdiknas
dan Dinas Kabupaten. (2) Mengembangkan silabi sesuai dengan kondisi siswa dan
kebutuhan masyarakat sekitar sekolah. (3). Mengembangkan materi ajar, dan (4).
mengembangkan instrumen penilaian.[25]
Secara lebih rinci pelaksanaan kurikulum,
dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dapat dibedakan
perencanaan kurikulum di tingkat nasional (pusat) dan tingkat institusional
(sekolah). Pertama, perencanaan tingkat pusat meliputi; (1) merumuskan
tujuan pendidikan nasional, (2) merumuskan standar isi dan standar kompetensi
lulusan, (3) merumuskan peodman-pedoman pelaksanaan yang akan dilaksanakan di
sekolah seperti: struktur program (susunan mata pelajaran dan alokasi waktu),
pedoman penyusunan kalender pendidikan, pedoman penyusunan jadwal pelajaran,
dan lain-lain.
Kedua, perencanaan tingkat sekolah, meliputi;
(1) menyusun program tahunan, [26]
(2) menyusun program semester, [27]
(3) menyusun silabus, [28]
dan (4) menyusun rencana program pembelajaran.
[29]
b.
Pengelolaan
implementasi kurikulum.
Implementasi kurikulum merupakan
proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan
praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan,
ketrampilan, nilai, dan sikap.[30]Secara
sederhana juga bisa dikatakan bahwa implementasi kurikulum merupakan terjemahan
kurikulum dokumen menjadi kurikulum aktual. Aspek penting yang perlu
diperhatikan dalam implementasi kurikulum antara lain adalah (1) aspek makro
pengembangan kurikulum (kondisi masyarakat, politik, sosial, budaya, ekonomi,
teknologi); (2) aspek materi dan prosedur pengembangan kurikulum sebagai ide; (3) aspek materi dan
prosedur pengembangan kurikulum sebagai dokumen;(4) aspek materi dan
implementasi diwujudkan dalam kegiatan belajar dan mengajar menjadikan siswa
lebih kompeten; dan (5) aspek materi dan prosedur evaluasi hasil belajar.
Menurut Mulyasa, implemetasi kurikulum
setidaknya dipengaruhi oleh tiga factor: (1) karakteristik kurikulum, yang
mencakup ruanglingkup ide baru suatu kurkulum dan kejelasannya bagi pengguna
lapangan; (2) strategi implementasi, yaitu strategi yang digunakan dalam
implementasi seperti diskusi profesi, seminar, penataran, lokakarya, dan lain
sebagainya; (3) karakteristik pengguna kurikulum, yang meliputi pengetahuan,
nilai, dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemampuannya untuk
merealisasikan kurkulum dalam pembelajaran.[31]
Implementasi kurikulum seharusnya
menempatkan kreativitas siswa lebih dari penguasaan materi.[32]Menurut
Howard Garner, system pendidikan yang salah dapat membunuh kreativitas
anak-anak sehingga hanya tinggal 10% dari potensinya ketika usia 8 tahun.
Ketika salah didik ini berlangsung sampai usia 12 tahun, potensi kreativitasnya
menurun hingga hanya 2%. [33]
Menurut Rusman, untuk mengembangkan
kreativitas siswa dalam pembelajaran, maka siswa harus ditempatkan sebagai subjek
dalam proses tersebut. Komunikasi yang dikembangkan seyogyanya multiarah Penekanannya
adalah aktivitas siswa untuk mencari pemahaman akan objek, menganalisis dan
merekonstruksi sehingga terbentuk pengetahuan baru. [34]
Dalam proses pembelajaran, kurikulum
dokumen harus diaktualisasikan menjadi kurikulum nyata (actual curriculum – curriculum in action). Perwujudan tersebut
sangat tergantung pada kemampuan guru sebagai implementator kurikulum. Oleh
karena itu, ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dalam
mengimplementasikan kurikulum: (1) pemahaman esensi dari tujuan-tujuan yang
ingin dicapai dalam kurikulum. Karena hal ini akan mempengaruhi penjabarannya,
baik dalam penyususnan rancangan pengajaran maupun dalam pelaksanan kurikulum.
(2) Kemampuan untuk menjabarkan tujuan-tujuan kurikulum menjadi tujuan-tujuan
yang lebih spesifik. (3) Kemampuan untuk menerjemahkan tujuan khusus kepada
kegiatan pembelajaran.[35]
Ketika seorang guru telah memiliki
kemampuan-kemampuan tersebut, maka ia harus tetap dikembangkan dan ditingkatkan
melalui berbagai kegiatan seperti diskusi-diskusi, simulasi dalam peer group atau MGMP/KKG, lokakarya,
pelatihan-pelatihan, penataran interen dengan mendatangkan narasumber, dan lain
sebagainya.
Hamalik membagi pelaksanaan
kurikulum menjadi dua tingkatan yaitu
pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah dan tingkat kelas. Pertama, Pada pelaksanaan kurikulum tingkat
sekolah, kepala sekolah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kurikulum di
lingkungan sekolah yang dipimpinnya. Dikarenakan; (1) Kepala sekolah sebagai
pemimpin, termasuk memimpin pelaksanaan kurikulum; (2) Kepala sekolah adalah
seorang administrator dalam pelaksanaan kurikulum yang berperan dalam
perencanaan program, pengorganisasian staf pergerakan semua pihak yang perlu
dilibatkan dalam pelaksanaan supervisi, dan penilaian terhadap personal
sekolah; (3) Kepala sekolah sebagai penyusun rencana tahunan di bidang
kemuridan, personal atau tenaga kependidikan, sarana pendidikan, ketatausahaan
sekolah, pembiayaan atau anggaran pendidikan, pembinaan organisasi sekolah dan
hubungan kemasyarakatan atau komunikasi pendidikan.
Kedua, pada pelaksanaan kurikulum tingkat
kelas, yang berperan besar adalah guru yang meliputi tiga jenis kegiatan
administrasi yaitu: sebagai yang bertugas dalam melaksanakan; (1) Kegiatan
dalam bidang proses belajar mengajar; (2)
pembinaan kegiatan ekstra kurikuler; (3) pembimbing dalam kegiatan
bimbingan belajar.[36]
Fulan dan Park mengemukakan perencanaan untuk implementasi
kurikulum selalu gagal karena beberapa alasan antara lain (1) perencana mengambil keputusan sementara ia tidak memahami
dan menyadari situasi yang sedang dihadapi para pelaku implementasi; (2)
perencana memperkenalkan perubahan tanpa menjelaskan cara untuk
mengidentifikasi dan cara melakukan perubahan itu; dan (3) perencana tidak
berusaha memahami nilai-nilai, ide, dan pengalaman-pengalaman yang penting bagi
pelaku impelementasi, dan lain sebagainya .
Kendala yang dihadapi dalam
implementasi kurikulum, terutama berkenaan dengan: (1) masih lemahnya diagnosis
kebutuhan baik pada skala makro maupun mikro sehingga implementasi kurikulum sering
tidak sesuai dengan yang diharapkan; (2) perumusan kompetensi pada tahapan mikro sering dikacaukan dengan tujuam
instruksional yang dikembangkan; (3) pemilihan pengalaman belajar yang
dikembangkan; dan (4) evaluasi masih sering tidak sesuai dengan tujuan
instruksional yang dikembangkan. [37]
Untuk mengantisipasi kendala yang
dihadapi, maka perlu diupayakan hal-hal berikut: (1) dalam mendiagnosis
kebutuhan seyogianya sebaiknya masyarakat dilibatkan sejak awal; (2) selalu
meningkatkan kemampuan guru; (3) struktur materi diorganisasikan mulai dari
perencanaan pembelajaran dalam bentuk jam pelajaran, sampai dengan evaluasi
menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan. [38]
Oleh karena itu, untuk menghindari
rintangan dan hambatan potensial dalam implementasi kurikulum, maka para
perencana dan pengambil kebijakan harus duduk bersama melakukan diskusi untuk
mengklarifikasi masalah-masalah dan menyamakan persepsi mengenai pengembangan
dan implementasi kurikulum yang menjadikan siswa kompeten. Kemudian pengambil kebijakan mengidentifikasi solusi dari berbagai
permasalahan dalam implementasi kurikulum dengan guru, pekerja kurikulum, dan
pihak lain yang memungkinkan untuk disertakan.
c.
Mengelola pelaksanaan evaluasi kurikulum
Evaluasi
kurikulum merupakan usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu
kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari
kurikulum dalam suatu konteks tertentu.[39]
Rusman menyimpulkan bahwa evaluasi pada hakekatnya merupakan suatu proses
membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan evaluasi (value judgment) tidak hanya didasarkan
kepada hasil pengukuran (quantitative
description), namun juga dapat didasarkan kepada hasil pengamatan (qualitative description).[40]
Tujuannya adalah (1) menyediakan informasi mengenai pelaksanaan pengembangan
dan pelaksanaan suatu kurikulum sebagai masukan bagi pengambilan keputusan; (2)
menentukan tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu kurikulum serta
factor-faktor yang berkontribusi dalam suatu lingkungan tertentu; (3) mengembangkan
berbagai alternative pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam upaya
perbaikan kurikulum; (4) memahami dan menjelaskan karakteristik suatu kurikulum
dan pelaksanaan suatu kurikulum.[41]
Sasaran
dari evaluasi kurikulum adalah rancangan, isi, dan implementasinya yang
meliputi; (1) kesesuaian kurikulum dengan visi, misi, sasaran, dan tujuan lembaga,
(2) relevansi kurikulum dengan tuntutan pendidikan, (3) kesesuaian kurikulum
local dengan kebutuhan masyarakat terdekat dan kepentingan internal lembaga,
(4) struktur kurikulum (keluasan, kedalaman, koherensi,
penataan/pengorganisasian), (5) kesuaian isi dengan kompetensi yang dapat
dialihkan, terorientasi kea rah pendidikan lanjutan, pekerjaan, dan karier.[42]
Dalam
proses pembelajaran, evaluasi diarahkan pada kesesuaian strategi dan metode
dengan kompetensi yang akan dicapai, efisiensi dan produktivitas, dan
penggunaan teknologi pembelajaran dan sumber informasi. Di samping itu,
evaluasi juga diarahkan untuk melihat apakah siswa aktif dan memiliki motivasi
untuk mengembangkan kompetensi, tata nilai, sikap, dan kemandirian.[43]
D. Implementasi Kurikulum Nasional
Indonesia: Antara Cita dan Fakta
1.
Potret
Perjalanan Kurikulum Nasional
Dalam perjalanannya, dunia
pendidikan Indonesia telah menerapkan enam kurikulum, yaitu kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum1984,
kurikulum 1994, kurikulum 2004 atau kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan terakhir kurikulum 2013. Dalam konteks perubahan tersebut, ada
rumor yang berkembang dalam masyarakat bahwa ada kesan” Ganti Menteri Pendidikan Ganti
Kurikulum”. Kesan tersebut bisa benar dan bisa tidak, tergantung dari sudut
mana mata memandang. Kalau sudut pandangnya politis maka perubahan kurikulum
tersebut akan selalu dikaitkan dengan kekuasaan (siapa yang berkuasa). Namun,
kalau sudut pandangnya nonpolitis, maka perubahan tersebut barangkali merupakan
suatu keniscayaan dalam rangka merespon perkembangan masyarakat yang begitu
cepat. Pendidikan harus mampu menyelesaikan dinamika perkembangan tersebut,
apalagi ia berkaiatan dengan tuntutan
dan kebutuhan masyarakat, dan hal
tersebut hanya bisa dijawab dengan perubahan kurikulum.
Menurut Indra Djati
Sidi, [44] bahwa pembaruan kurikulum merupakan suatu
keniscayaan. Pengembangannya haruslah didasarkan kepada beberapa indikator; pertama, kurikulum harus bersifat luwes,
sederhana, dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan
datang karena berbagai perkembangan tekonologi dan tuntutan masyarakat. Kedua, kurikulum harus bersifat pedoman
pokok (general guideline) kegiatan pembelajaran siswa. Kurikulum tidak terlalu
rinci dan dapat dikembangkan secara mandiri dan kreatif oleh para guru sesuai
dengan potensi peserta didik setempat, keadaan sumber daya penduduk, dan
kondisi daerah setempat. Ketiga,
pengembangan kurikulum selayaknya secara simultan dengan pengembangan bahan
ajar dan media atau alat pembelajaran.
Keempat,
kurikulum pendidikan hendaknya berpatokan pada standar global atau regional,
berwawasan nasional, dan dilaksanakan secara lokal. Dengan demikian, kualitas
kurikulum pendidikan setara dengan
negara-negara lain yang mempunyai wawasan keunggulan, namun dapat
disesuaikan dengan kondisi lokal yang berbeda.
Kelima, kurikulum pendidikan
hendaknya merupakan satu kesatuan dan kesinambungan dengan satuan jenjang
pendidikan di atasnya. Keenam,
pengembangan kurikulum bukan lagi menjadi otoritas pemerintah pusat, tetapi
merupakan shared activity dengan
pemerintah daerah, bahkan komunitas. Ketujuh,
pengembangan tidak diarahkan untukmenciptakan satu kurikulum tunggal yang
diberlakukan untuk semua sekolah. Kedelapan,
kurikulum juga mesti memperhatikan pendidikan yang terjadi di keluarga dan
komunitas. Sekolah, keluarga, dan komunitas ketiganya menjadi pilar pendidikan
kegiatan pendidikan merupakan share
activity dari ketiga pilar pendidikan tersebut.
Berikut ini akan dijelaskan
secara ringkas perubahan-perubahan kurikulum pendidikan nasional:
1.
Kurikulum
1968
Sebelum diterapakan
kurikulum 1968, pada tahun 1947 pernah diterapkan Rencana pelajaran yang pada
waktu itu menterinya dijabat oleh Mr. Suwandi.
Rencana Pelajaran 1947 memuat ketentuan sebagai berikut: (1) bahasa
Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah, (2) jumlah mata
pelajaran untuk Sekolah Rakyat (SR) 16 bidang studi, SMP 17 bidang studi, dan
SMA jurusan B 19 bidang studi. Lahirnya Rencana Pelajaran 1947 diawali dari
pembenahan sistem sekolah pasca
Indonesia merdeka yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.
Tujuan pendidikan menurut
kurikulum 1969 adalah mempertinggi mental-moral pekerti dan memperkuat
keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan, serta mengembangkan
fisik yang kuat dan kesehatan. Ketentuan-ketentuan dalam kurikulum 1968 adalah:
(1) bersifat: correlated Subject
curriculum; (2) jumlah mata pelajaran untuk SD 10 bidang studi, SMP 18 bidang studi, SMA jurusan A 18 bidang studi, SMA jurusan B 20 bidang
studi, jurusan SMA C 19 bidang studi, (3) penjurusan SMA dilakukan di kelas II.
2.
Kurikulum
1975
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri dijabat oleh
LetjenTNI Dr. Syarif Thajeb (1973-1978). Ketentuan-ketentuan kurikulum 1975
adalah: (1) sifat: integrated curriculum
organization, (2) SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9 bidang
studi, (3) pelajaran Ilmu Alam dan Ilmu Hayat menjadi ilmu pengetahuan alam
(IPA), (4) pelajaran ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi Matematika, (5) jumlah
mata pelajaran SMP dan SMA menjadi 11
bidang studi, (6) penjurusan SMA dibagi tiga : IPA, IPS, dan Bahasa.
3.
Kurikulum
1984
Kurikulum ini diterapkan
ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto seorang
ahli sejarah Indonesia. Ketentuan-ketentuan dalam kurikulum 1984 adalah: (1)
sifat: Content Based Curriculum, (2)
program pelajaran mencakup 11 bidang studi, (3) jumlah mata pelajaran SMP 12
bidang studi, (4) jumlah mata pelajaran SMA 15 bidang studi untuk program Inti,
4 bidang studi untuk program pilihan, (5) penjurusan SMA dibagi lima: program
A1 (ilmu fisika), A2 (ilmu biologi), A3 (ilmu sosial, A4) ilmu budaya, dan A5
(ilmu agama), (6) penjurusan dilakukan di kelas II.
Pada kurikulum 1984 ada
penambahan bidang studi, yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Hal
ini bisa dimaklumi karena menteri pendidikan
saat itu dijabat oleh seorang sejarawan. Dalam perjalanannya, kurikulum 1984
dianggap oleh banyak kalangan dianggap sarat
beban sehingga diganti dengan kurikulum 1994 yang lebih sederhana.
4.
Kurikulum
1994
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan
dijabat oleh Prof. Dr. Ing Wardiman Djojonegoro seorang teknokrat yang menimba
ilmu di Jerman Barat bersama BJ. Habibie. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam
kurikulum 1994 adalah: (1) bersifat Objectif
Based Curriculum, (2) nama SMP menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama) dan SMA diganti SMU (Sekolah Menegah Umum), (3) mata pelajaran PSPB
dihapus, (4) program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 23 mata pelajaran,
(5) program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata pelajaran, (6) penjurusan SMA
dilakukan dikelas II terdiri dari program IPA, IPS, dan bahasa.
Ketika reformasi bergulir
tahun 1998, kurikulum 1994 mengalami penyesuaian-penyesuaian dalam rangka
mengokomodasi tuntutan reformasi. Oleh karena itu, muncul suplemen kurikulum
1994 yang lahir tahun 1999. Dalam suplemen tersebut ada penyesuaian-penyesuaian
materi pelajaran, terutama pada
pelajaran sosial, seperti PPKN, Sejarah, dan beberapa mata pelajaran yang
lainnya. Lagi-lagi, kurikulum ini pun mengalami nasib yang sama dengan kurikulum
sebelumnya bersamaan dengan lahirnya undang-undang nomor 23 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989.
Pemerintah melalui Departemen Pendidikan nasional menggagas kurikulum baru yang
diberi nama kurikulum berbasis komptensi.
5.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (kurikulum 2004)
Kurikulum Berbasis
Kompetensi lahir ditengah-tengah adanya tuntutan mutu pendidikan di Indonesia.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa mutu pendisikan Indonesia semakin hari
semakin terpuruk. Bahkan dengan negara tentangga pun yang dulu belajar di
Indonesia seperti Malaysia, Indonesia tertingga dalam hal mutu pendidikan.
Pendidikan di Indonesia diaanggap hanya melahirkan lulusan yang akan menjadi
beban negara dan masyarakat karena kurang ditunjang dengan kompetensi yang
memadai ketika terjun dalam masyarakat.
Kukrikulum Berbasis
Kompetensi digagas ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Abdul Malik
Fajar, M.Sc. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam kurikulum berbasis kompetensi adalah:
(1) bersifat: Competency Based
Curriculum, (2) penyebutan SLTP menjadi SMP dan SMU menjadi SMA, (3)
program pelajaran SD disusun dalam mata
pelajaran, (4) program pengajaran SMP disusun dalam 11 mata pelajaran, (5)
program SMA disusun dalam 17 mata pelajaran, (6) penjurusan SMA dilakukan di
kelas II, terdiri atas Ilmu Alam, Sosial, Bahasa.
Kurikulum berbasis
kompetensi meskipun sudah diujicobakan di beberapa sekolah melalui pilot project, tetapi pemerintah dalam
hal ini Departemen Pendidikan Nasional belum mengesahkan kurikulum ini secara
formal. Sepertinya pemerintah masih ragu-ragu dengan kurikulum ini, hal ini
dimaklumi, karena uji coba kurikulum ini menuai kritikan dari berbagai
kalangan, baik para ahli pendidikan maupun praktisi pendidikan. Beberapa
kritikan terhadap kurikulum ini adalah: (1)
masih sarat dengan materi sehingga ketakutan guru akan dikejar-kejar
materi seperti yang terjadi pada kurikulum 1994 akan terulang kembali, (2)
pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional masih terlalu
intervensi terhadap kewenangan sekolah
dan guru untuk mengembangkan kurikulum
tersebut, (3) masih belum jelasnya
(bias) kompetensi sehingga ketika diterapkan pada standar kompetensi kelulusan belum terlalu aplikatif, (4) adanya
sistem penilaian yang belum jelas terstruktur.
6.
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum Tingkat satuan
Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari Kurikulum Berbasis
Kompetesni (KBK). KTSP lahir karena KBK diaanggap masih sarat dengan beban
belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini Diknas masih dipandang terlalu
intervensi dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, dalam KTSP beban
belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru,
dan komite sekolah) diberikan wewenang untuk mengembangkan kurikulum, seperti
membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen kurikulum lainnya.
Menurut Dwiningrum,[45] implementasi kurikulum KTSP adalah dalam rangka upaya
merekontruksi kembali peran sekolah dalam pengembangan kurikulum. Kurikulumnya
didisain untuk menghindari budaya hegenomi. Demikian halnya, pengetahuan yang
diberikan tidak hanya “ditransferkan”, tetapi “ditansformasikan”. KTSP
memberikan kesempatan bagi guru untuk mengembangkan kemampuan tranformatif, yakni mengembangkan
materi sesuai dengan kemampuan dan potensi siswa agar nantinya dengan bekal
pengetahuan dasar dan kemampuan menjadi individu yang aktif dan kreatif.
7.
Kurikulum
2013
Pengembangan
Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis
Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup
kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Hal tersebut
adalah dalam rangka untuk merespon berbagai tantangan internal dan eksternal. Pertama, tuntutan pendidikan yang
mengacu kepada 8 Standar Nasional Pendidikan yang meliputi Standar Pengelolaan,
Standar Biaya, Standar Sarana Prasarana, Standar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, dan Standar
Kompetensi Lulusan. Tantangan internal lainnya terkait dengan faktor
perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia
produktif. Kedua, seperti; (1)
tantangan masa depan, [46](2) kompetensi
masa depan, [47] (3) persepsi
masyarakat, (4) perkembangan pengetahuan dan pedagogi, dan (5) fenomena
negative yang mengemuka.
Perubahan-perubahan
kurikulum nasional yang terjadi ternyata dalam prakteknya tidaklah mudah.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dwiningrum misalnya, tentang pelaksanaan
kurikulum KTSP menggambarkan bahwa KTSP yang dikembangkan oleh guru masih
“ganti baju”, yakni tetap KBK yang juga belum dipahami oleh guru secara
keseluruhan.[48]Karena,
tidak semua guru mempunyai kemampuan yang sama untuk dapat mengembangkan
kurikulum secara mandiri sesuai dengan ketentuan kurikulum dan sesuai dengan
kondisi sekolah.
2.
Kurikulum Nasional: Seharusnya
Membelajarkan
Pendidikan merupakan gambaran umum atas
apa yang harus dijalankan, sedangkan kurikulum
merupakan wilayah konsep dan teknis yang sudah menjadi konstruksi sebuah
praktek pendidikan. Adapun tujuan pendidikan adalah mengajar, memanusiakan, dan
mengarahkan anak didik agar mencapai akhir yang sempurna. Dalam konteks
tersebut, maka konsep kurikulum seharusnya lahir dari kebutuhan-kebutuhan di lapangan
bagaimana anak didik harus belajar dan mendapatkan pendidikan. Dengan kata
lain, ia harus berbicara atas nama kepentingan dan kebutuhan anak didik bukan
yang lain, baik secara khusus maupun umum.[49]
Beane membagi kurikulum dalam empat
jenis, yaitu (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3)
kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai
pengalaman belajar bagi siswa.[50]
Pertama,
sebagai sebuah produk, kurikulum nasional Indonesia pada semua jenjang amat
sarat dengan mata pelajaran sehingga berpengaruh terhadap daya serap siswa yang
tidak optimal. Mereka belajar tentang banyak hal tetapi dangkal. Sampai saat
ini banyak pihak terutama guru memahami
kurikulum hanya sebagai produk. Akibatnya, banyak sekolah (baca:guru) menjadi
terlalu memusatkan diri dalam pembelajaran pada pencapaian target kurikulum
dalam domain kognitif semata. Persoalan seperti system nilai, kreativitas, dan
kompetensi perilaku siswa kurang bahkan tidak mendapat perhatian yang
proporsional.
Kedua, sebagai sebuah program, di dalam
kurikulum nasional masih terdapat materi yang tumpang-tindih baik secara vertical maupun horizontal.
Secara vertical, materi di kelas satu bisa muncul lagi di kelas dua atau kelas
tiga untuk mata pelajaran yang sama. Sedangkan secara horizontal, terdapat
pokok bahasan yang sama pada beberapa mata pelajaran yang berbeda.[51]
Ketiga dan Keempat, Kurikulum sebagai sebuah proses dan
pengalaman belajar erat kaitannya dengan
prilaku guru di depan kelas dalam konteks pembelajaran. Kurikulum dalam arti
produk hanya seperti blueprint bagi
suatu proses membangun sebuah gedung yang monumental. Bagaimanapun bagusnya blueprint yang telah disiapkan seorang
arsitektur, blueprint tersebut tidak
akan bernakna tanpa adanya pelaksana yang kompeten dalam bidang bangunan di
lokasi gedung itu akan didirikan. Dengan analog ini, kurikulum masih memerlukan
intervensi dan kearifan seorang guru yang akan mengajarkannya di depan kelas.
Sejatinya, melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan
diharapkan mampu melahirkan manusia yang bersedia menerima tanggung jawab untuk
melakukan dua hal penting; pertama, berusaha mengenali hakekat dirinya,
potensi dan bakat-bakat terbaiknya; kedua, berusaha sekuat tenaga untuk
mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan
dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan
menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang bukan dirinya.[52] Kedua hal inilah yang merupakan karakteristik
dari manusia pembelajar.
Selama
ini, proses pembelajaran yang dilakukan guru selalu mendapat sorotan dan
kritikan dari berbagai pihak, karena ketidakmampuannya melahirkan manusia pembelajar. Andrias Harefa
misalnya telah menunjukkan akar
persoalan sebenarnya dalam sistem pendidikan kita, bahwa proses pembelajaran
yang dilakukan telah dibatasi menjadi sekedar pengajaran dan pelatihan. Hal
tersebut telah membuat peserta didik tidak sadar dan tidak paham akan makna
belajar. Bagi mereka, belajar adalah untuk hidup, bukan hidup untuk belajar;
belajar ketika berada di sekolahan atau bangku kuliah, belajar untuk nilai
bagus, belajar untuk mendapatkan pekerjaaan, memperoleh jabatan, dan lain
sebagainya. Aktivitas belajar terhenti ketika sudah tamat sekolah atau sudah
menjadi sarjana, serta telah mendapatkan pekerjaan pula. [53]
Kritikan
senada juga dilontarkan oleh Indra Jati sidi. Ia melihat bahwa proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru saat ini masih pada teacher oriented atau berpusat pada guru. Seorang peserta didik
hanya dipersiapkan untuk harus dan mau mendengar dan menerima informasi, serta
mentaati segala perlakuan guru. Sehingga dengan demikian, peserta didik tidak
mampu mengaktivasi kemampuan otaknya, tidak memiliki keberanian menyampaikan
pendapat, lemah penalaran dan tergantung pada orang lain.[54]
Hal
senada juga dikemukan oleh Jamal ma’mur Asmani, bahwa masih banyak praktek
pendidikan yang dianggap sebagai creative
killer, yang menyebabkan siswa berkembang menjadi pribadi yang rendah diri,
takut mengambil resiko, pasif, dan tidak berkarakter. Hal tersebut bisa dilihat
dari proses pembelajaran yang masih menekankan praktek menghafal isi teks buku,
sistem tes yang membutuhkan jawaban baku/standar (misalnya benar atau salah,
sistem pilihan ganda), serta melatih memori jangka pendek (menghafal hanya
untuk bisa menjawab tes, dan akan lupa beberapa hari kemudian). Di samping itu,
materi pembelajaran yang diberikan secara parsial dan abstrak membuat para
siswa tidak bisa berpikir HOTS (higher
order thingking skills) yaitu konseptual (keterkaiatan antar-materi
pelajaran serta keterkaitannya dengan kehidupan nyata), berpikir sintesis untuk
memberikan solusi/pemecahan masalah, serta berpikir kritis untuk menyaring dan
mengolah berbagai informasi yang ada. Proses pembelajaran yang kaku (siswa
lebih banyak menyimak, tanpa diskusi aktif), beban pelajaran yang terlalu
berat, rasa tertekan, dan ketakutan siswa akan kegagalan, serta guru yang
kaku/galak.[55]
Di
samping itu, Paolu Freire juga
melontarkan kriktikan keras terhadap model pembelajar pasif yang dilakukan
guru, yang disebutnya sebagai pendidikan gaya bank; guru mengajar, murid
belajar; guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir, murid
dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru
bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan
gurunya; guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri; guru
mengacaukaan wewenang ilmu pengetahuaan dengan wewenang profesionalismenya, dan
mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid; guru adalah subjek proses
belajar, dan murid objeknya.[56]
Artinya, peserta didik diberi ilmu pengetahuan agar
kelak diharapkkan menghasilkan sesuatu dengan berlipat ganda. Peserta didik jadi
objek investasi dari sang guru. Mereka tidak berbeda dengan komunitas ekonomi.
Inverstornya adalah guru yang mewakili lembaga ilmu pengetahuan, depositnya
adalah pelajaran. Peserta didik dianggap sebagai sebuah bejana kosong yang akan
diisi, sebagai tabungan yang harus dikeluarkan kembali saat guru
menghendakinya. Guru berfungsi sebagai subjek aktif, dan peserta didik sebagai
objek pasif.
Sadar
atau tidak, sistem pengajaran gaya perbankan yang selama ini ditampilkan oleh
para guru kita atau kita sendiri, sebenarnya telah menafikan harkat kemanusiaan
peserta didik. Mereka adalah manusia-manusia tertindas di mana hak-hak mereka
telah dinistakan. Mereka telah dibenamkan kepada “ kebudayaan bisu”, yaitu
kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah
ketidakberdayaan dan ketakutan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri, sehingga diam
dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan dan harus ditaati. Mereka
menjadi objek, padahal fitrah manusia sejati adalah menjadi subjek.[57]
Praksis
pendidikan yang mengikuti antagonis gaya bank tersebut telah berimplikasi
sangat jauh; manusia-manusia yang dilahirkan adalah manusia-manusia yang
terpasung dari kemandirian dan kreativitas; mereka tidak mampu berkomunikasi
secara baik dengan lingkungan fisik dan
sosial dalam komunitas lingkungannya. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Alwasilah terhadap mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di
Amerika Serikat, terbukti bahwa: (1) dalam diskusi kelompok, mahasiswa
Indonesia cenderung menjadi pendengar bukannya pembicara; (2) dalam menyajikan
makalah mereka kurang percaya diri, dan kurang mampu menggelarkan bukti-bukti
pendukung gagasan; (3) dalam menyusun paper, pertama mereka menyusunnya dalam
bahasa Indonesia kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris; (4) saat
berkonsultasi dengan dosen, mereka menunjukkan hormat yang berlebihan; (5) di
dalam kelas mereka cenderung diam dan mengikut pada orang lain.[58]
Untuk melahirkan manusia pembelajar melalui proses pembelajaran merupakan
tanggungjawab guru. Oleh karena itu maka guru harus mau merubah paradigma
pembelajaran yang selama ini dipraktekkan, dengan melalui langkah-langkah
berikut:
Pertama, menggeser paradigma guru tentang dirinya. Hal ini
dimaksudkan sebagai cara guru memandang hidup dan dunia profesinya.
Kenyataannya adalah bahwa banyak sekali guru-guru kita yang menganggap bahwa
profesi guru adalah profesi kelas dua, rendah, kering, dan membosankan. Menjadi
guru karena sudah frustasi tidak mendapatkan pekerjaan lain yang dianggap lebih
bergengsi,… dan sebagainya.
Cara
pandang guru terhadap profesinya di atas, dinilai oleh Dede Rosyada sebagai
guru yang tidak baik. Seorang guru tidak boleh sinis dengan pekerjaannya,
tetapi sebaliknya, seharusnya dia bangga. Adalah tidak etis dan bijaksana kalau
seorang guru menganggap profesinya sebagai profesi orang-orang miskin hanya
karena indeks gajinya yang tidak memadai, padahal dia tahu sebelumnya bahwa
gaji seorang guru memang tidak memadai
sehingga profesi guru menjadi terhina.[59]
Ingatlah wahai para guru, seperti apa profesi guru di mata orang lain (bukan
guru) tergantung seperti apa kita memandang diri (profesi) kita. Paradigma guru
adalah cara guru mempersepsikan, memahami, dan menafsirkan dunia pendidikan dan
sekelilingnya.
Kedua,
cara pandang guru tentang dirinya di tengah-tengah muridnya. Paradigma guru
tentang dirinya, sebagaaimana digambarkan oleh Paulo Freire, harus mulai
disingkirkan. Guru tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pengajar, tapi
sebagai mitra belajar (belajar bersama) peserta didik. Guru tidak lagi
menganggap dirinya sebagai orang yang tahu segalanya, sehingga memperlihatkan
ke-aku-annya, keegoisannya, keangkuhannya, dan sebagainya di hadapan muridnya.
Apalagi di era di mana gerbang informasi sudah terbuka lebar dan masuk ke
ruang-ruang yang sangat pribadi sekali pun. Adalah merupakan suatu keniscayaan
bahwa peserta didik tahu sesuatu yang gurunya tidak tahu. Dengan demikian, guru
tidak lagi sebagai satu-satunya sumber informasi.
Guru tidak
lagi dominan dalam proses pembelajaran;
yang berpikir, berbicara, mengatur dan bertindak sendiri tanpa melibatkan
peserta didik. Artinya, guru tidak lagi memposisikan dirinya sebagai
satu-satunya subjek. Dalam konteks ini, fungsi guru tidak lain hanya sebagai
motivator, fasilitator, promotor of learning yang lebih mengutamakan
bimbingan dan menumbuhkan kreativitas peserta didik.
Jadilah
guru yang baik ! yakni, seperti kriteria yang dikemukakan oleh Abdurrahman
Mas’ud; (1) bisa menjadi suri tauladan bagi kehidupan social akademis peserta didik,
(2) menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik, antusias, dan ikhlas
mendengar dan menjawab pertanyaan, serta menjauhkan diri dari sikap emosional
dan feodal, seperti cepat marah dan tersinggung karena pertanyaan peserta didik
disalahartikan sebagai mengurangi wibawa.[60]
Gilbert
H. Hunt, sebagaimana dikutip oleh Dede Rasyada, [61]
mengemukakan tujuh criteria guru yang baik: (1) sifatnya harus baik; antusias,
stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi pada tugas dan
pekerja keras, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa dipercaya, fleksibel, dan
mudah menyesuaikan diri, demokratis, penuh harapan bagi siswa, tidak semata
mencari reputasi pribadi, mampu mengtasi stereotipe siswa, bertanggung jawab
terhadap kegiatan belajar siswa, mampu menyampaikan perasaannya, dan memiliki
pendengaran yang baik. (2) Memiliki pengetahuan yang memadai dalam mata
pelajaran yang diaampunya, dan terus mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya
itu. (3) Mampu menjamin bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit
bahasan yang diharapkan siswa secara maksimal. (4) Mampu memberikan harapan
pada siswa, mampu membuat siswa akuntabel, dan mendorong partisipasi orang tua
dalam memajukan kemampuan akademik siswa. (5) Biasa menerima berbagai masukan,
risiko, dan tantangan, bijaksana terhadap
kritikan siswa,... (6) Mampu merencana dan mengorganisir
Jadilah Quantum
Teacher ! kata Bobbi De Porter dalam bukunya Quantum Teaching.
Dia mengemukakan 13 sifat seorang seorang quantum teacher; (1) Antusias;
menampilkan semangat hidup, (2) berwibawa; menggerakkan orang, (3) positif;
melihat peluang dalam setiap saat, (4) supel; mudah menjalin hubungan dengan
beragam siswa, (5) humoris; berhati lapang untuk menerima kesalahan, (6) luwes;
menemukan lebih dari satu cara untuk mencapai hasil, (7) menerima dan mencari
dibalik tindakan dan penampilan luar untuk menemukan nilai-nilai inti, (8)
fasih; mampu berkomunikasi dengan jelas dan jujur, (9) tulus; memiliki niat dan
motivasi positif, (10) spontan; dapat mengikuti irama dan tetap menjaga hasil,
(11) manarik dan tertarik; mengaitkan setiap informasi dengan pengalaman hidup dan peduli terhadap diri peserta didik, (12)
menganggap siswa “mampu”; percaya akan dan mengorkesrasi kesuksesan peserta
didik, dan (13) menetapkan dan memelihara harapan tinggi; membuat pedoman
kualitas hubungan dan kualitas kerja yang memacu setiap peserta didik untuk
berusaha sebaik mungkin .[62]
Jadi,
guru yang baik adalah guru yang memiliki sifat-sifat ideal. Tidak realistis ?
Tidak juga. Masih banyak guru-guru kita yang menampilkan sifat-sifat di atas.
Pertanyaannya adalah seberapa yakin dan
konsistennya para guru untuk menampilkan sifat-sifat tersebut. Dalam konteks
ini, De Porter mengatakan, “ Yakinlah dengan kemampuan anda mengajar dan
kemampuan siswa anda belajar, maka akan terjadi hal-hal menakjubkan”.
Ketiga,
menggeser paradigma guru tentang siswanya.
Untuk
memulai bagian ini, penulis kembali mengemukakan bagaimana cara guru memandang diri dan
siswanya seperti tergambar pada pendapat Paulo Freire:
·
guru
mengajar, murid belajar
·
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
·
Guru
berpikir, murid dipikirkan
·
Guru
bicara, murid mendengarkan
·
Guru
mengatur, murid diatur
·
Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
·
Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak
sesuai dengan tindakan gurunya
·
Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan
diri
·
Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan
profesionalnya dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
·
Guru
adalah subjek proses belajar, murid objeknya
Peserta didik adalah seorang anak manusia yang
memiliki harkat dan martabat yang tak boleh dijajah, ditindas, atau dinafikan
oleh siapapun, termasuk para guru. Apa
yang digambarkan oleh Paulo freire di atas merupakan penjajahan, penindasan,
dan penafian akan harkat kemanusiaan peserta didik.
Siapakah peserta didik ?
Pertama, peserta didik adalah makhluk dua dimensional yang
terkomposisi atas jiwa dan raga yang saling berhubungan dan saling menunjang,
dan tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks ini, para peneliti telah melahirkan
teori-teori tentang Intelectual Quatient (IQ), Emotional Quotient
(EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Ternyata, dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Daniel Goleman diketahui bahwa IQ hanya menyumbang 20% terhadap
keberhasilan seseorang, bahkan hanya 6 % menurut Steren J. Stein dan Howard E.
Book. [63]
Menurut Ari Ginanjar
Agustian, IQ dan EQ saja belum cukup untuk membuat seseorang benar-benar sukses
dalam kehidupannya. Ada nilai-nilai lain yang tidak bisa dipungkiri
keberadaannya, yaitu Spiritual Quotient (SQ). IQ memang penting, yaitu
agar manusia bisa menciptakan dan memanfaatkan teknologi demi efisiensi dan
efektivitas. EQ juga penting dalam membangun hubungan antar manusia sekaligus
meningkatkan kinerja. Namun, tanpa SQ maka keberhasilan itu hanyalah akan
menghasilkan “Hitler” baru atau “Fir’aun” kecil di muka bumi.
Oleh karena itu, dalam
proses pembelajaran diharapkan pendidik dapat mengembangkan
kecerdasan-kecerdasan peserta didik, sehingga mereka dapat menjalani hidup
dengan baik dan berhasil, menjadi manusia seutuhnya yang mengerti tujuan hidup,
harkat, dan martabatnya. IQ memang penting, tapi nilai bukan segalanya. Nilai
tinggi belum tentu sukses, dan nilai rendah juga belum tentu gagal.
Kedua, peserta didik adalah makhluk individual social. Sebagai
makhluk individual, peserta didik adalah seorang individu tertentu. Ia
merupakan kesatuan tak terbagi, unik, dan otonom. Tugas, tanggung jawab, dan
panggilan pertama seorang individu adalah belajar menjadi seorang yang
bertanggung jawab untuk dirinya sendiri.
Untuk menjadi dirinya
sendiri, peserta didik harus diberikan kesempatan untuk belajar
menumbuhkembangkan keberanian untuk menyatakan perbedaan, dan bukan memaksanya
untuk menyamakan diri atau meniru-niru orang lain. Belajar menjadi pemberani
dalam arti menerima perbedaan sebagai suatu kenyataan yang wajar dan manusiawi,
serta pantas disyukuri dan bukan disesali, apalagi ditiadakan. Peserta didik
juga harus dididik untuk mengatasi kecenderungan diri untuk bersikap reaktif
dengan melempar tanggungjawab dan suka mencari kambing hitam (excuses),
juga harus dididik untuk berani menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menunaikan
setiap pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Ia juga harus dididik untuk
berani mengakui kesalahan dan kekhilafannya, berani bertindak sesuai dengan
suara hatinya, berani menyatakan apa yang diyakininya sebagai benar, berani
menerima dirinya, menghargai dirinya, mempercayai dirinya, dan mengarahkan
dirinya untuk menjadi otentik dan sejati atau menjadi dirinya sendiri,
mengekspresikan diri sepenuhnya, seutuh-utuhnya, apa pun resiko dan
konsekuensinya.[64]
Berdasarkan hal tersebut,
proses pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik, kegiatan belajar
dalam rangka mendapatkan informasi, dan sebagainya lebih banyak dilakukan
peserta didik. Dengan demikian, peserta didik sudah mulai dilatih bersikap
kreatif, mandiri, dan produktif di mana sikap seperti itu sangat dibutuhkan
dalam menghadapi masyarakat maju. Kondisi semacam ini pada gilirannya dapat
menciptakan masyarakat belajar (learning society)
Dengan demikian, peserta
didik menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berpikir, dan pada
saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya, begitu
juga seorang guru. Jadi, keduanya (guru dan peserta didik) saling belajar satu
sama lain, saling memanusiakan. Hubungan keduanya menjadi subjek-subjek, bukan
subjek-objek. Objek mereka adalah realitas. Maka terciptalah suasana dialogis
yang bersifat inter subjek untuk memahami objek bersama. Dari sinilah akan
muncul pelbagai penemuan dan terobosan baru, khususnya dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Sebagai makhluk
individual, peserta didik memang dapat berdiri sendiri. Tetapi, keberadaanya
selalu bersama dengan yang lain. Karena ia adalah makhluk social. Oleh karena
itu, individualitas manusia perlu dipahami dalam kaitan sosialnya, dan antara
keduanya tidak boleh dipisahkan. Dalam konteks ini, pendidik dapat membimbing
peserta didik untuk bisa menghargai, menghormati, dan bahkan bekerjasama dengan
orang lain atau temannya. Peserta didik dapat saling membantu dalam belajar
(mengajar) sesame peserta didik lainnya. Bahkan banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata
lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru.[65]
Ketiga, peserta didik adalah makhluk yang bebas. Manusia
disebut bebas apabila ia dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu yang
menghalangi perwujudan dirinya secara utuh. Namun, kebebasan individu adalah
kebebasan dengan tanpa menghilangkan atau merampas kemerdekaan dan kebebasan
orang lain. Dalam konteks pendidikan, kebebasan peserta didik bukan berarti
melepaskan diri dari guru dan teman-temannya, dan hanya berpikir tentang
dirinya sendiri. Sebab, hal itu tidak manusiawi, tidak sportif, dan destruktif.
Tetapi ia adalah kebebasan yang diciptakan oleh pendidik agar peserta didik
memiliki kebiasaan bebas secara individu dan mendidiknya dengan pendidikan
pembebasan agar mereka mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupannya tanpa
harus tergantung pada orang lain. Pendidikan dan pengajaran tanpa kebebasan akan
menghasilkan orang-orang muda yang serba gagu dan ragu untuk mengambil pilihan.
Berdasarkan hal tersebut,
maka tugas pendidik adalah: [66] pertama, mentradisikan anak memikul
tanggungjawab sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Peserta didik
dibebaskan melakukan apa saja tanpa harus bergantung pada orang lain. Kedua,
melibatkan peserta didik dalam mengatasi problematika hidup agar pada saatnya
di masyarakat ia telah memiliki keteguhan jiwa, semangat yang kuat, objektif,
memiliki kekuatan iman, percaya diri, mampu melaksanakan tugas diri dan
negaranya, dan selalu mantap dan sukses dalam hidupnya. Ketiga, tepat
dan bijak dalam memuji peserta didik agar memiliki kepercayaan diri yang wajar
dan sehat. Terlalu percaya diri mengisyaratkan bahwa orang tersebut sangat
lemah. Keempat, jangan memperbanyak perintah dan larangan, sebab hal itu
akan mematikan emosi dan kreativitas peserta didik. Sebab, perintah atau
larangan yang berlebihan sama artinya dengan pengendalian, penggiringan, dan
pengurangan kesempatan bagi anak untuk berinisiatif, dan pada gilirannya anak
akan bergantung dan kurang percaya diri, bakat dan minatnya pun akan tumpul tak
tergerak lagi. Kelima, pendidik hendaknya memperhatikan kemampuan rill
peserta didik, kemudian mengarahkan dan memotivasinya menuju kesempurnaan jiwa
dan skill.
Dengan demikian, peran
pendidik sangat menentukan apakah proses pendidikan tersebut dapat membebaskan
atau tidak terhadap individu peserta didik untuk bisa mandiri dan menemukan
jati diri kemanusiaanya. Hal ini akan berhasil apabila pendidik memahami dan
sadar akan kebebasan diri sendiri.
Keempat, peserta didik adalah makhluk yang menyejarah. Artinya;
(1) sebagai makhluk yang sadar manusia dapat mengenal dan mengerti masa lalunya
dan dapat memanfaaatkannya demi kehidupannya di masa sekarang dan yang akan
datang. (2) sebagai makhluk yang berkehendak bebas yang dapat merancang
hidupnya, sehingga kendati dipengaruhi masa lampaunya ia tetap mengambil sikap
terhadapnya. Ia dapat menentukan dirinya dan menghidupi dirinya. (3) manusia
berkembang dalam waktu, hidupnya tidak statis. Dalam hidupnya ia mengalami
perubahan dan perkembangan.
Berdasarkan hal tersebut,
maka pendidikan harus didasarkan atas fakta masa lampau peserta didik, baik
perorangan maupun sebagai bangsa. Dari segi perorangan, peserta didik bukanlah
suatu tabularasa sebagaimana dianggap oleh John Locks. Kelenturannya untuk
dibentuk, daya tangkap, dan daya tampungnya untuk diisi mengenali batas-batas
tertentu. Unsur-unsur bawaan, baik dari segi biologis, psikologis, dan
kerohanian akan cukup berpengaruh juga pada tingkat prestasi yang dicapai. Untuk
dapat berkembang secara sehat, peserta didik perlu mengenali dan menerima fakta
masa lampaunya.
E.
Kesimpulan
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan
pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Ia dapat
(paling tidak sedikit) meramalkan hasil pendidikan/pengajaran yang diharapkan
karena ia menunjukkan apa yang harus dipelajari dan kegiatan apa yang harus
dialami oleh peserta didik. Oleh karena itu , ia harus dimenej atau dikelola
dengan baik dengan menerapkan ilmu manajemen modern. Tanpa hal itu, maka tujuan pendidikan yang
diinginkan tidak akan tercapai dengan maksimal.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Soedijarto. 2008. Landasan
dan Arah pendidikan nasional Kita,
Jakarta, Kompas.
Tim Dosen Administrasi
Pendidikan. 2009. Manajemen Pendidikan, Bandung,
Alfabeta
Handoko, T. Hani. 1984.
Manajemen, edisi 2 . Jokjakarta: tp.
Blanchard,
Kenneth H. and Paul, Hersey. 1982. Management
of Organizational Behavior: Utilizing Human Resouces, New Jersey:
Prentice-Hall.
Hamalik,
Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: UPI dan Remaja
Rosdakarya.
Hasibuan,
Melayu S.P. 2007. Manajemen: Dasar,
Pengertian dan Masalah, Jakarta:
Bumi Aksara, 2007.
Suyanto
& Hisyam, Djihad. 2000. Refleksi dan
Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Yokyakarta:
AdiCita.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan
pembelajaran. 2012. Kurikulum Dan Pembelajaran, Bandung: Rajagrafindo
Persada.
Munir. 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Bandung: Alfabeta.
Akbar. Sa’dun, dan Sriwiyana, Hadi. 2010. Pengembangan
Kurikulum dan Pembelajaran (IPS), Yogyakarta: Cipta Media.
Connelly. F.
Michael dan Clandinin, D. Jean. 1988. Teacher as Curriculum Planners, Amsterdam Vanue: Teacher College
Press, 1988.
Tim Dosen AP. 2011. Manajemen Pendidikan, Yogyakarta:
UNY Press.
Arikunto. Suharsimi dan Yuliana, Lia.
2009. Manajemen Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media.
Suryosubroto,
B. 2004. Manajemen Pendidikan Di Sekolah, Jakarta:Rineka Cipta.
Rusman. 2009. Manajemen Kurikulum, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. 2009. Manajemen Pendidikan, Bandung:
Alfabeta.
Hamalik, Oemar. Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT
Remaja Rosda Karya.
Fattah, Nanang. 2008. Landasan Manajemen Pendidikan,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Susilo, Muhammad Joko. 2008. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyasa, E. 2009. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suryobroto, B. 2009. Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Majid, Abdul. 2009. Perencanaan
Pembelajaran : Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 2008. KTSP (Kurukulum Tingkat Satuan
Pendidikan), Jakarta: PT Bumi Aksara.
Mulyasa, E. 2010. Implementasi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Asmani,
Jamal Ma’mur. 2009. Manajemen Pengelolaan
dan Kepemimpinan Pendidikan Profesional, Jokjakarta: Diva Press.
Hasan, Hamid. 2008. Evaluasi
Kurikulum, Bandung: PT Rosdakarya.
Dwiningrum,
Siti Irene Astuti. 2011. Desentralisasi
dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Yamin, Moh. 2009. Manajemen
Mutu Kurikulum Pendidikan, Jokjakarta: Diva Press.
Beane,
J.A. and Toepler, C.F et al. 1986. Curriculum
Planing and Development, (Boston: Allyin and Bacon.
Harefa, Andrias. 2000. Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta:
Harian Kompas.
Sidi, Indra Jati. 2000. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan,
Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
[2] Ada
beberapa landasan yang bisa digunakan dalam pengembangan kurikulum; (1) landasan filosofis sebagai landasan utama;
(2) masyarakat dan kebudayaan; (3) individu (peserta didik); dan (4)
teori-teori belajar (psikologis). Lihat: Tim Dosen Administrasi Pendidikan, Manajemen Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2009), hlm. 191.
[3] Paling
tidak ada tiga alasan kenapa manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi
termasuk pendidikan; (1) untuk mencapai tujuan, (2) untuk menjaga keseimbangan
di antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, dan (3) untuk mencapai
efisiensi dan efektivitas. Lihat: T. Hani Handoko, Manajemen, edisi 2 (Jokjakarta: tp., 1984), hlm. 6-7.
[4] Kenneth H. Blanchard and
Hersey Paul, Management of Organizational
Behavior: Utilizing Human Resouces, (New Jersey: Prentice-Hall, 1982), hln.
3.
[5] Oemar
Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum,
(Bandung: UPI dan Remaja Rosdakarya, 2006), h. 16.
[6] Lihat: Melayu
S.P. Hasibuan, Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), hlm. 1-2.
[7] Suyanto
& Djihad Hisyam, Refleksi dan
Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yokyakarta:
AdiCita, 2000), hlm. 65.
[8] Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan pembelajaran, Kurikulum
Dan Pembelajaran, (Bandung: Rajagrafindo Persada, 2012),hlm. 2.
[10] Sa’dun Akbar dan Hadi Sriwiyana, Pengembangan
Kurikulum dan Pembelajaran (IPS), (Yogyakarta: Cipta Media, 2010),hlm. 2.
[12] F. Michael Connelly dan D. Jean Clandinin, Teacher as
Curriculum Planners, (Amsterdam Vanue: Teacher College Press, 1988), hlm.
5.
[13] Lihat:
Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan: Manajemen Pelaksanaa dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya,
(Yokyakarta: Pustka Pelajar, 2008), h. 51.
[14] Wina
Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran
(Jakarta: Kencana Prenada, 2008), 9
[15] Dede
Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokras,
Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 32.
[16] Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana, Manajemen
Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 2009), hlm. 131.
[20] Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2009), hlm. 93.
[21] Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen Pendidikan, ,hlm. 93.
[25] Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008),hlm. 155.
[26] Program tahunan merupakan program umum
setiap mata pelajaran umum setiap kelas, yang dikembangkan oleh guru mata
pelajaran yang bersangkutan. Program ini perlu dipersiapkan dan dikembangkan
oleh guru sebelum tahun ajaran, karena merupakan pedoman bagi pengembangan
program-program berikutnya, yakni program semester, program mingguan, dan
program harian atau program pembelajaran setiap kompetensi dasar. Lihat: E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009),hlm. 249.
[27] Dalam menyusun semester/caturwulan dapat
ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : (1) menghitung hari dan jam efektif
selama satu cawu/semester, (2) mencatat mata pelajaran yang akan diajarkan
selama satu cawu, (3) membagi alokasi waktu yang tersedia selama satu cawu.
Lihat: B. Suryobroto, Proses Belajar
Mengajar di Sekolah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), Cet. 2, hlm. 25.
[28] Silabus adalah rancangan pembelajaran
yang berisi rencana bahan ajar mata pelajaran tertentu pada jenjang dan kelas
tertentu. Sebagai hasil dari seleksi, pengelompokan, pengurutan dan penyajian
materi kurikulum yang dipertimbangkan berdasarkan ciri dan kebutuhan daerah
setempat. Silabus merupakan seperangkat rencana serta pengaturan pelaksanaan
pembelajaran dan penilaian yang disusun secara sistematis memuat komponen-komponen
yang saling berkaitan untuk mencapai penguasaan kompetensi dasar. Lihat: Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran : Mengembangkan
Standar Kompetensi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009 ),hlm. 39.
[29] Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah
rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam
pembelajaran di kelas. Berdasarkan RPP inilah seorang guru (baik yang menyusun
RPP itu sendiri maupun yang bukan) diharapkan bisa menerapkan pembelajaran
secara terprogram. Oleh karena itu, RPP harus mempunyai daya terap (aplicable)
yang tinggi. Pada sisi lain, melalui RPP pun dapat diketahui kadar
kemampuan guru dalam menjalankan profesinya. Lihat: Masnur Muslich, KTSP (Kurukulum Tingkat Satuan
Pendidikan), (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008),hlm. 45.
[30] E.
Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 178.
[32]
Rusman, hlm. 75.
[33] Jamal Ma’mur
Asmani, Manajemen Pengelolaan dan
Kepemimpinan Pendidikan Profesional, (Jokjakarta: Diva Press, 2009), hlm.
64.
[38] Ibid.
[41] Ibid., hlm. 42-43
[42] Muhammad
Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 165.
[43] Ibid.
[44]
Indra Djati Sidi, op. cit., hlm.
15-17.
[45] Siti Irene
Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan,
(Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 123.
[46] Seperti tantangan globalisasi: WTO,
ASEAN Community, APEC, CAFTA, (2) Masalah lingkungan hidup, (3) Kemajuan teknologi informasi, (4) Konvergensi ilmu dan teknologi, (5) Ekonomi berbasis pengetahuan, (6) Kebangkitan industri kreatif dan budaya, (7) Pergeseran kekuatan ekonomi dunia, (8) Pengaruh dan imbas
teknosains, (9) Mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan.
[47]
Seperti: (1) Kemampuan berkomunikasi, (2) Kemampuan berpikir jernih dan kritis, (3) Kemampuan
mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, (4) Kemampuan menjadi warga
negara yang bertanggungjawab, (5) Kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran
terhadap pandangan yang berbeda, (6) Kemampuan hidup dalam masyarakat yang
mengglobal, (7) Memiliki minat luas dalam kehidupan, (8) Memiliki kesiapan
untuk bekerja, (9) Memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, (10) Memiliki
rasa tanggungjawab terhadap lingkungan.
[48] Siti Irene Astuti
Dwiningrum, Desentralisasi dan
Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), hlm. 123-124.
[49] Moh. Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan,
(Jokjakarta: Diva Press, 2009), hlm. 155-156.
[50] J.A.
Beane and C.F Toepler et al., Curriculum
Planing and Development, (Boston: Allyin and Bacon, 1986), hlm. 29-23.
[51]Suyanto dan Djihad
Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III,
(Yokyakarta: Adicita, 2000), hlm. 62.
[53] Ibid., hlm. 53.
[54] Indra Jati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas
Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm.
24-25.
[56] lihat dalam Toto
Raharjo et al., Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis, (Yokyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41.
[58] A. Chaidir Alwasilah, “Kurikulum Dasar
(Dorongan Agar Siswa Nalar)”, dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II, Kurikulum untuk Abad ke 21, (Jakarta:
Grasindo, 1994), hlm. 124.
[60] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik, (Yokyakarta: Gema Media, 2003), hlm. 203.
[62] Bobbi De Porter, Quantum Teaching: mempraktekkan Quantum Learning di Ruang Kelas,
(Bandung: keifa, 2002), hlm.115.
[66] lihat St. Kartono, Menebus Pendidikan yang Tergadai, (
Yokyakarta: Galang Press, 2002), hlm.158.



0 komentar