TEORI KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN

19.25




TEORI KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN
Oleh: Amrizal

Pendahuluan
Salah satu kegiatan manusia adalah belajar. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang ber­proses dan juga merupakan unsur yang paling funda­mental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan atau pem­be­la­jaran. Artinya, berhasil atau gagalnya pen­capaian tujuan pendidikan sangat ter­gantung pada proses belajar yang dialami oleh pembelajar, baik ketika ia berada dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan rumah atau keluarganya. [1]
Karena demikian pentingnya arti belajar, se­bagian besar riset dan eksperimen psikologi pendidikan diarahkan kepada tercapainya pe­mahaman yang lebih luas dan mendalam me­ngenai proses perubahan manusia. Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan berubahlah, manu­sia secara bebas dapat mengeksplorasi, me­milih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Edward Thorn­dike, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Helmy , memprediksikan, “jika ke­mampuan bela­jar umat manusia dikurangi setengahnya saja maka peradaban yang ada sekarang tak akan ada gunanya bagi generasi mendatang, bahkan mungkin peradaban itu sendiri akan lenyap di­telan zaman”. [2] 
Teori belajar memiliki banyak warisan yang kaya dan beragam, sehingga memiliki banyak paradigma atau sudut pandang tentang proses belajar. Hergenhahn dan Olson menyebutkan lima paradigma teori belajar, yaitu: fungsionalistik, asosiasionistik, kognitif, neorofisiologis, dan evolusioner.[3] Dalam konteks itu, Ratna sebagaimana dikutip oleh Helmy membagi dua tahapan perkembangan teori belajar dan pembelajaran; pertama, dimulai sebelum abad   20 seperti teori disiplin mental (mental dis­ci­pline), teori pengembangan alami (natural un­foldment) atau teori aktualisasi diri (self actuali­zation), dan teori appersepsi (uppersep­tion). Hingga saat ini teori-teori tersebut masih di­rasakan  pengaruhnya di sekolah-sekolah. Kedua, teori belajar yang di­kembangkan selama abad 20 yang dapat di­klasi­fi­kasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu teori belajar behavio­ristik, teori belajar kognitif, teori belajar huma­nistik.[4]
Makalah ini akan membahas salah satu teori belajar di atas, yaitu teori belajar kognitif. Pembahasannya focus pada  teori-teori kognitif dominan, sebagaimana dikemukakan oleh Hargenhahn & Olson, meliputi teori Gestalt, Jean Peaget, Edward Chase Tolman, dan Albert Bandura.

A. Pengertian Teori Kognitif

Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep tersebut yang membantu seseorang memahami sebuah fenomena. Sehingga bisa dikatakan bahwa suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan beberapa tindakan selanjutnya.[5]
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Dalam pengertian yang lebih luas, cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan selanjutnya,  istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia, yaitu satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. [6]
Dalam kaitannya dengan pembelajaran, kognitif menjadi salah satu cabang dari teori belajar yang pernah ada hingga saat ini. Teori belajar kognitivisme, begitulah nama teori ini dikenalkan. Sebagaimana namanya,teori belajar kognitivisme lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses atau upaya untuk mengoptimalkan pada aspek  rasional yang dimiliki orang lain.
Teori-teori kognitif pada awalanya muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap teori S-R, stimulus-respon. [7] Bagi teori ini bahwa yang dipandang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui (knowing) dan bukan respons. Intinya, teori kognitif adalah teori yang mengkaji bagaimana suatu persepsi bisa mempengaruhi perilaku dan bagaimana pengalaman bisa mempengaruhi persepsi. Jadi hubungannya adalah pengalaman – persepsi –perilaku. Dimana teori ini mengkaji proses akal dan mental pada waktu proses.
A. Teori-Teori Kognitif Dominan
1.   Teori Koginitif Gestalt. [8]
Psikologi gestalt merupakan bagian dari aliran kognitivisme. Ia hadir sebagai kritik terhadap aliran-aliran sebelumnya, yaitu voluntarisme, strukturalisme, dan behaviorisme.[9] Max Wertheimer (1880-1943), Wolfgang Kohler (1887-1967), dan Kurt Koffka (1886-1941) dianggap sebagai pendiri dan bapak-bapak  gestalt. Gestaltis berpandangan bahwa keseluruhan itu berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya  atau membagi-bagi berarti mendistorsi. Maka,  psikologi gestalt juga disebut phenomenology (fenomenologi), karena seorang fenomenologis mempelajari kejadian mental yang utuh dan bermakna tanpa membagi-baginya menjadi unsur-unsur untuk dianalisis lebih lanjut. [10]
Dalam mengaplikasikan konsep struktur dan keseluruhan ke dalam analisis belajar, Wertheimer membedakan antara metode belajar “tanpa makna” dan belajar « bermakna « . Struktur bermakna tidak dipelajari dengan cara tidak bermakna atau secara hafalan . Contoh dari struktur bermakna adalah (a + b), yang berarti a2 + b2.[11]
Teori Gestalt lainnya adalah mengidentifikasi factor-faktor yang mempengaruhi masalah. Dalam konteks ini, Wertheirmer melihat bahwa setelah anak mempelajari pendekatan pemecahan masalah tertentu, mereka sering kali tidak mampu melihat pendekatan lain untuk tugas serupa. Menurut gestaltis, konsep yang relevan untuk hal tersebut adalah latihan mentransfer, pendekatan masalah dan kekakuan fungsional, dan belenggu masalah; pertama, Latihan mentransfer merupakan latihan yang memungkinkan cara-cara berbeda dalam pemecahan masalah. Kedua dan ketiga, Pemecahan masalah yang sukses mengindikasikan tiga langkah umum: (a) memahami konflik atau masalah, (b) mengembangkan identifikasi secara jelas atas kesulitan dasar, dan (c) mengembangkan solusi masalah untuk mengatasi kesulitan dasar. Menurut Karl Duncker, solusi tersebut merupakan contoh dari pemikiran produktif dan disebut sebagai solusi dengan nilai fungsional. Adapun siswa yang tidak mampu memahami elemen-elemen situasi dengan cara baru disebut sebagai mengidap kekakuan fungsional.[12]
Keempat, kekakuan fungsional adalah kesulitan perseptual dalam pemecahan masalah. Konsep yang terkait adalah belenggu masalah atau Einstellung. Konsep ini diartikan sebagai kekakuan dalam pemecahan masalah karena individu menganggap serangkaian masalah mesti dipecahkan dengan cara yang sama. [13]

a.   Teori Medan dari Kurt Lewin (1890-1947)
Kurt Lewin adalah tokoh psikologi gestalt yang mengembangkan teori motivasi berdasarkan teori medan atau biasa disebut cognitive field theory. Medan diartikan sebagai sistem yang saling terkait secara dinamis, bagian yang satu saling mempengaruhi bagian yang lain.[14] Maka, pada awalnya teori medan berkembang tidak sebagai teori belajar, tetapi lebih banyak sebagai teori motivasi dan persepsi. Namun demikian mereka menerapkan teorinya kepada situasi belajar.  
Konsep utama teori ini adalah apa yang disebut sebagai life space  (ruang kehidupan) sebagai modal dasar untuk belajar.[15] Life space adalah jumlah total dari semua fakta psikologis seseorang. Fakta psikologis adalah segala sesuatu yang disadari manusia, seperti rasa lapar, ingatan masa lalu, memiliki sejumlah uang, dan lain sebagainya. Menurut Lewin, hanya hal-hal yang dialami secara sadar itulah yang akan mempengaruhi perilaku,[16] dan ia merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan, baik dari dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan; maupun dari luar individu seperti tantangan dan permasalahan. [17]
Dengan demikian, belajar medan kognitif ini memusatkan perhatiannya pada faktor psikologis pribadi yang sedang belajar. Faktor psikologis dari pribadi ini digambarkan atau dinyatakan dalam bentuk konsep yang disebut life space. Konsep  life space  ini berisikan antara lain: kebutuhan, tujuan, vector, barrier, lingkungan psikologis dan pribadi dan individu yang bersangkutan. Jika pendidik memahami konsep life space  maka ia akan memperoleh tambahan pengetahuan yang berharga guna dapat memahami tingkah laku peserta didik. Karena dengannya, ia akan mampu meramalkan, mengarahkan tingkah laku peserta didik menurut kehendak peserta didik sesuai dengan tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian proses belajar dapat berlangsung secara efektif. Lebih daripada itu, dengan memahami konsep life space maka pengajar atau dosen dapat pula belajar mengenal dan memahami diri mereka sendiri untuk selanjutnya dapat mengembangkan pribadinya sendiri.

Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan ini dapat terjadi karena ulangan; situasi mungkin perlu diulang-ulang sebelum strukturnya berubah. Akan tetapi yang penting bukanlah bahwa ulangan itu terjadi, melainkan ialah bahwa struktur kognitif itu berubah. Dengan pengaturan masalah (problem) yang lebih baik struktur itu mungkin dapat berubah dengan  ulangan yang lebih sedikit. Terlalu banyak ulangan tidak menambah belajar, sebaliknya ulangan itu mungkin menyebabkan kejenuhan psikologis (psychological satiation) yang dapat membawa disorganisasi (kekacauan) dan dedifrensiasi (kekaburan) dalam struktur kognitif.    [18]

b.      Teori Insight dari Wolfgang Koehler

Istilah insight  digunakan untuk menggambarkan pengalaman yang berhubungan dengan keadaan pemahaman yang, tampaknya muncul dalam kesadaran seseorang dengan tiba-tiba . Dengan kata lain, pencerahan tersebut biasanya tak terduga dan disertai   dengan rasa terkejut . Sebuah rasa kepuasan juga dialami, sebagai bagian yang hilang dari teka-teki atau teka-teki itu sendiri yang dirasakan dengan cara di mana semua bagiannya tiba-tiba terbentuk sempurna pada tempatnya, menghasilkan keutuhan yang komprehensif.[19]
Dalam konteks tersebut, maka insightful learning (belajar berwawasan) biasanya memiliki empat karakteristik: (1) transisi dari prasolusi ke solusi terjadi secara mendadak dan komplit ; (2) kinerja berdasarkan solusi diperoleh dengan pengertian mendalam yang biasanya bebas dari kekeliruan ; (3) solusi untuk suatu problem yang diperoleh melalui wawasan yang mendalam ini akan diingat dalam waktu yang cukup lama ; (4) prinsip yang diperoleh melalui wawasan mendalam ini mudah diaplikasikan ke problem lainnya.
Psikolog Gestalt  memperkenalkan konsep "insight" ke dalam studi pemecahan masalah pada awal abad kedua puluh,  sebagai respon terhadap teori asosiasionisme. Asosiasionisme memandang  insight  tidak lebih dari sebuah latihan dalam mengikuti urutan asosiasi yang ditetapkan sebelumnya atau  hanya menyatakan, asosiasi stimulus-respon. Psikolog Gestalt  berpendapat lain  bahwa "insight adalah sebuah proses dalam bentuk yang berbeda  dari jenis proses informasi  biasa. Mereka juga mengusulkan bahwa, "dalam keadaan tertentu, organisme dapat mencapai wawasan ini, melalui analisis masalah, pemikir bisa mencapai solusi, meskipun belum ada pengalaman yang luas dalam situasi masalah.[20]
Berdasarkan hal di atas, maka aliran gestalt memandang bahwa belajar adalah proses yang harus didasarkan pada pemahaman (insight). Menurut teori gestalt, yang paling penting dalam proses belajar adalah individu mengerti (insight) apa yang dipelajarinya. Insight diperoleh jika seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsure dalam kondisi tertentu. Dengan adanya insight, maka seseorang mengerti problem dan persoalan serta mampu mengatasinya. Inilah inti belajar. Jadi, yang penting bukanlah mengulang-ulang hal yang harus dipelajari, melainkan memahaminya dan mendapatkan insight. [21]
Munculnya insight tergantung pada beberapa hal sebagai berikut:
·     Kesanggupan; yaitu kesanggupan atau kemampuan intelegensi individu.
·     Pengalaman; belajar berarti mendapatkan pengalaman, dan pengalaman mempermudah munculnya insight.
·     Taraf kompleksitas dari suatu situasi ; di mana semakin kompleks situasinya semakin sulit masalah yang dihadapinya.
·     Latihan ; banyaknya latihan bisa mempertinggi kesanggupan memperoleh insight.
·     Trial and error, kadang seseorang tidak mampu memecahkan masalah. Baru setelah mengadakan percobaan, dia lantas menemukan berbagai unsur dalam problem itu, sehingga akhirnya menemukan insight.
Setelah adanya pengalaman insight, individu mampu menerapkannya pada problem jenis tanpa perlu melalui proses trial and error lagi.

2.   Teori  Perkembangan Kognitif  Jean Piaget (1896-1980)

Teori perkembangan kognitif yang sistematis pertama  diusulkan oleh Jean Piaget . Teorinya fokus pada organisasi intelijensi dan bagaimana  hal itu berubah sebagai anak-anak tumbuh. Dia merencanakan suatu kerangka kerja yang tepat untuk memahami struktur, fungsi dan pengembangan jaringan kognitif dari pikiran manusia. Dia mengasumsikan bahwa ada dua aspek dari pikiran manusia: satu disebut sebagai Struktur Kognitif dan lainnya sebagai Fungsi Kognitif.[22]
Pertama, Struktur  kognitif. Jean Peaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai schemata (schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengingat, memahami, dan member respons terhadap stimulus disebabkan  karena bekerjanya schemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Diperolehnya suatu struktur atau schemata berarti telah terjadi suatu perubahan dalam perkembangan intelektual anak.
Kedua, fungsi kognitif. Yaitu cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual. Menurut Piaget, perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi.
a.    Organisasi
Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses fisik atau psikologis menjadi system yang teratur dan berhubungan atau tertruktur.
b.   Adaptasi (penyesuaian diri)
Semua organism lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Cara adaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan organisme yang lain. Adaptasi dengan lingkungan dilakukan melalui dua proses ; asimilasi dan akomodasi. Asilmilasi mengacu pada penyesuaian realita eksternal dengan struktur kognitif yang telah ada. Ketika  kita berinterpretasi, menganalisis, dan merumuskan, kita mengubah sifat realita untuk membuatnya sesuai dengan struktur koginitif kita. Adapun akomodasi adalah mengubah struktur-struktur internal untuk memberikan konsistensi dengan realitas eksternal. Kita berakomodasi ketika kita menyesuaikan ide-ide kita untuk memahami realita.[23]
Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menghadapi masalah yang ada di lingkungannya. Dalam proses akomodasi, seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungannya. Santrock, dalam bukunya mengemukakan contoh sebagai berikut:[24]
Setiap pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan akomodasi. Kejadian-kejadian yang berkorespondensi dengan skemata organisme membutuhkan akomodasi. Jadi, semua  pengalaman melibatkan dua proses yang sama-sama penting : pengenalan atau mengetahui , yang berhubungan proses asimilasi , dan akomodasi, yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif. Modifikasi ini dapat disamakan dengan proses belajar. Dengan kata lain, kita merespons dunia berdasarkan pengalaman kita sebelumnya (asimilasi), tetapi setiap pengalaman memuat aspek-aspek yang berbeda dengan pengalaman yang kita alami sebelumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan perubahan dalam struktur kognitif kita (akomodasi). Akomodasi karenanya menyediakan sarana utama bagi perkembangan intelektual.
Asimilasi dan akomodasi disebut sebagai functional invariants (invariant fungsional) karena keduanya dapat terjadi di semua level perkembangan intelektual. Tetapi jelas, bahwa pengalaman sebelumnya cenderung melibatkan lebih banyak akomodasi ketimbang pengalaman yang kemudian, karena semakin banyak hal-hal yang dialami akan berhubungan dengan struktur kognitif yang ada, dan membuat akomodasi substansial makin tak diperlukan saat individu bertambah dewasa.[25]
Piaget berasumsi bahwa semua organisme punya tedensi bawaan untuk menciptakan hubungan harmonis antara dirinya dengan lingkungannya. Dengan kata lain, semua aspek dari organisme diarahkan menuju adaptasi yang optimal. Tedensi bawaan untuk mengorganisasikan pengalaman agar mendapatkan adaptasi maksimal itulah yang disebut sebagai ekuilibrasi. Secara sederhana, ekuilibrasi dapat didefenisikan sebagai dorongan terus-menerus ke  arah keseimbangan atau ekuilibrium.
Ekuilibrasi mengacu  pada dorongan biologis untuk menciptakan sebuah kondisi keseimbangan atau ekuilibrium (atau adaptasi) yang optimal antara struktur-struktur kognitif dan lingkungan. Ekuilibrasi merupakan factor utama dan dorongan motivasi di belakang perkembangan kognitif. Ekuilibrasi mengoordinasikan tindakan-tindakan dari tiga factor lainnya dan membuat struktur-struktur mental dan realitas lingkungan eksternal konsisten terhadap satu sama lain.[26]
Hal senada dikemukan oleh  Santrock bahwa  ekuilibrasi adalah suatu mekanisme untuk menjelaskan bagaimana anak bergerak dari satu tahap pemikiran ke tahap pemikiran selanjutnya. Pergeseran ini terjadi saat anak mengalami konflik kognitif atau disekuilibrium dalam usahanya memahami dunia. Pada akhirnya, anak memecahkan konflik ini dan mendapatkan keseimbangan atau ekuilibrium pemikiran. Piaget percaya bahwa ada gerakan kuat antara keadaan ekuilibrium dan disekuilibrium saat asimilasi dan akomodasib bekerjasama dalam menghasilkan perubahan kognitif.[27]
Faktor-faktor yang menunjang pekembangan intelektual
Gredler telah merangkum empat factor yang diperlukan untuk transformasi perkembangan kognitif, yaitu: lingkngan fisik, kematangan, pengaruh social, dan penyeimbang (ekuilibrasi).[28] Pertama, lingkungan fisik. Ia merupakan hal penting karena interaksi  antara individu  dan dunia adalah sumber ilmu pengetahuan. Namun, kontak itu tidak cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali individu dapat menggunakan pengalamannya.
Kedua, kematangan. Dalam konteks ini adalah kematangan system syaraf. Ia menjadi penting karena memungkinkan anak merealisasikan manfaat maksimum dari pengalaman fisik. Dengan kata lain, kematangan membuka kemungkinan untuk perkembangan . Kemunculan koordinasi mata-tangan pada bayi, misalnya, merupakan hal penting untuk mengkontruksi  skema tindakan bayi, seperti menjangkau-memegang-menarik.
Ketiga, lingkungan social. Seperti halnya pengalaman fisik, pengalaman social  dapat mempercepat atau memperlambat perkembangan struktur kognitif. Piaget menyatakan bahwa tanpa kontak yang mengejutkan dengan pikiran orang lain dan upaya perenungan yang disebabkan oleh kejutan ini tidak akan ada pemikiran yang muncul dalam kesadaran.
Keempat, penyeimbangan. Faktor ini terdiri dari seperangkat proses yang menjaga keadaan yang tetap di dalam fungsi intelektual di tengah-tengah transformasi dan perubahan. Penyeimbangan mengatur interaksi individu dengan lingkungan dan memungkinkan perkembangan kognitif untuk maju secara koheren dan tertata.
Di samping itu, hal senada dan sedikit berbeda dikemukakan oleh Ratna Wilis Dahar bahwa menurut Piaget  ada lima faktor yang mempengaruhi transisi atau perpindahan dari tingkat yang satu ke tingkat yang lain, yaitu; kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), pengalaman logika-matematis ( logical-mathematical experience), transmisi social (social transmission), dan prose keseimbangan (equilibration) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation).[29]
(1)    Kedewasaan
Walaupun kedewasaan atau maturasi merupakan factor penting dalam perkembangan inteltual, namun maturasi tidak cukup meneragkan perkembangan inteletual ini.
(2)    Pengalaman Fisik
Pengalaman fisik dapat meningkatkan kecepatan perkembangan anak sebab pbservasi benda-benda serta sifat-sifat benda-benda itu menolong timbulnya pikiran yang lebih kompleks.
(3)    Pengalaman logika-matematik
Ketika seorang anak mengamati benda-benda, selain pengalaman fisik ada pula pengalaman lain yang diperoleh anak itu, yaitu waktu ia membangun atau mengkonstruk hubungan-hubungan antara objek-objek. Misalnya, anak yang sedang menghitung beberapa kelereng yang dimilkinya dan ia menemukan “sepuluh kelereng”. Konsep “ sepuluh” bukannya sifat kelereng-kelereng itu, melainkan suatu konstruksi lain yang serupa, yang disebut dengan pengalaman logika-matematika.
(4)     Transmisi Sosial
Pengetahuan yang diperoleh anak dari pengalaman fisik diabstraksi dari benda-benda fisik. Dalam hal pengelaman logika-matematika, pengetahuan dikonstruksi dari tindakan-tindakan anak-anak terhadap-terhadap benda-benda itu. Dalam transmisi sosial, pengetahuan datang dari orang lain. Pengaruh bahasa, instruksi formal, dan membaca, begitu pula interaksi dengan teman-teman dan orang-orang dewasa termasuk faktor transmisi sosial dan memegang peranan dalam perkembangan intelektual anak.
(5)     Pengaturan sendiri
Pengaturan sendiri atau ekuilibrasi adalah kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan (equilibrium) selama periode ketidakseimbangan (disequilibrium). Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat-tingkat berfungsi kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi, tingkat demi tingkat.

Tahap-tahap Perkembangan Kognitif
Ada empat tahapan berbeda dalam perkembangan kognitif yang masing-masing dengan pola pikirannya yang unik. Oleh karena itu, setiap tahap bertumpu pada pencapaian –pencapaian yang telah diraih dalam tahap-tahap sebelumnya, anak-anak menjalani tahap-tahap tersebut dalam urutan yang sama tanpa kecuali. Keempat tahap tersebut yaitu:[30]
(1)    Tahap Sensorimotor (kelahiran hingga usia sekitar dua tahun).

Pada tahap ini, aktivitas kognitif berpusat pada aspek alat indra (sensori) dan gerak (motor). Artinya, dalam peringkat ini anak hanya mampu melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui alat indranya dan pergerakannya. Keadaan ini merupakan dasar bagi perkembangan kognitif selanjutnya. Aktivitas sensor-motor terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.
Piaget percaya bahwa pencapaian kognitif penting pada usia bayi adalah objek permanence.Ini berarti pemahaman bahwa objek dan kejadianterus eksis bahkan ketika objek dan kejadian itu tidak dapat dilihat, didengar, atau disentuh. Pencapaian kedua adalah realisasi bertahap bahwa ada perbedaan atau batas antara diri dan lingkungan sekitar. Jabang bayi tidak dapat membedakan antara dirinya dan dunianya, dan tidak punya pemahaman kepermanenan objek. Menjelang akhir periode sensori motor, anak bisa membedakan antara dirinya dan dunia sekitarnya dan menyadari bahwa objek tetap ada dari waktu ke waktu.[31]
(2)    Tahap Praoperasional (usia 2 hingga 6 atau 7 tahun).
Pada tahap ini anak telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi  berbagai hal diluar dirinya. Aktivitas berpikirnya belum mempunyai system yang terorganisasi. Anak sudah dapat memahami realistas di lingkungannya dengan menggunakan tanda-tanda dan symbol. Cara berpikir anak pada fase ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis. Cara berpikir anak pada fase ini ditandai dengan ciri-ciri:
a.      Transductive reasoning, yaitu cara berpikir yang bukan induktif dan deduktif, dan tidak logis.
b.     Ketidakjelasan hubungan sebab akibat, yaitu anak mengenal hubungan sebab akibat secara tidak logis.
c.      Animism, yaitu menganggap semua benda hidup itu seperti dirinya.
d.     Artificialism, kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan itu mempunyai jiwa seperti manusia.
e.      Perceptually bound, yaitu anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang ia lihat dan dengar.
f.       Mental experiment, yaitu anak melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya.
g.      Centration, yaitu anak memusatkan perhatiannya pada sesuatu ciri yang paling menarik dan mengabaikan ciri yang lainnya.
h.     Egocentris, artinya anak melihat dunia lingkungannya menurut kehendak dirinya sendiri.
i.        Intuitif, artinya anak tahu sesuatu tetapi mereka mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional.
Ada dua hal yang bisa menjelaskan apakah anak masih berada pada tahap praoperasi atau sudah masuk pada tahap berikutnya, yaitu tahap operasional konkrit; konservasi dan operasi. Konservasi yang dimaksud adalah ide bahwa beberapa karakteristik dari objek itu tetap sama meski objek itu berubah penampilannya. Adapun operasi adalah representasi mental yang dapat di balik (reversible).[32]
Karakteristik lain dari anak pra-operasional adalah mereka suka mengajukan banyak pertanyaan. Pada umur tiga tahun anak mulai mengajukan pertanyaan, dan menjelang usia lima tahun anak-anak akan membuat anaknya kesal karena mereka sering mengajukan “mengapa”. Pertanyaan “mengapa” ini menunjukkan kemunculan minat anak mencari tahu mengapa sesuatu itu terjadi.[33]

(3)    Tahap Operasional Konkret (usia 6 atau 7 tahun hingga 11 atau 12 tahun)
Pada tahap ini anak telah dapat membuat pemikiran tentang situasi atau hal konkrit  secara logis. Perkembangan kognitif pada peringkat operasi-konkrit memberikan kecakapan anak berkenan dengan konsep-konsep klasifikasi, hubungan, dan kuatitas. Konsep klasifikasi adalah kecakapan anak untuk melihat secara logis persamaan-persamaan suatu kelompok objek dan memilihnya berdasarkan ciri-ciri yang sama. Konsep hubungan adalah kematangan anak memahami hubungan antara suatu perkara dengan perkara yang lainnya. Konsep kuatitas yaitu kesadaran anak bahwa suatu kuantitas akan tetap sama meskipun bentuk fisiknya berubah, asalkan tidak ditambah atau dikurangi.[34]
(4)    Tahap Operasional Formal (usia 11 atau 12 tahun hingga dewasa)
Tahap ini perkembangan kognitif ditandai dengan kemampuan individu untuk berpikir secara hipotesis dan berbeda dengan fakta, memahami konsep abstrak, dan mempertimbangkan kemungkinan cakupan yang luas dari perkara yang sempit. Perkembangan kognitif pada periode ini merupakan ciri perkembangan remaja dan dewasa menuju kea rah proses berpikir dalam peringkat yang lebih tinggi. Periode ini sangat diperlukan dalam pemecahan masalah.

Bandura menentang teori tahapan Peaget. Alasannya adalah teori tersebut memprediksi perilaku  manusia yang menurutnya tidak mungkin terjadi. Bandura berpendapat bahwa perilaku manusia tidak seluruhnya konsisten. Manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Dengan kata lain, Bandura percaya bahwa perilaku manusia ditentukan oleh situasi dan interpretasinya atas situasi itu, bukan oleh tahapan perkembangannya. [35]
Hal senada dikemukan oleh Muijs dan Reynolds, mereka menilai walaupun teori Piaget berpengaruh, tetapi ditenggarai memiliki kekurangan di sejumlah bidang. Tahap-tahap belajarnya terlalu kaku. Sejumlah studi menemukan bahwa anak-anak yang masih kecil dapat mencapai kemampuan berpikir operasional konkret pada usia lebih awal disbanding pendapat Piaget, dan mereka mampu berpikir dengan tingkat lebih tinggi dibandingkan yang dipikirkan oleh Piaget. Piaget juga selalu memandang rendah perbedaan individual di antara anak-anak dalam hal bagaimana mereka berkembang, dan fakta bahwa beberapa perbedaan itu disebabkan oleh latarbelakang cultural dan social anak. Piaget juga tidak terlalu memberikan perhatian pada cara anak belajar dari orang lain dan melihat bahwa belajar sangat bergantung pada tahap perkembangannya.[36]

3.   Teori  Purposive Behaviorism Tolman  (1886-1959)

Tolman terkenal dengan teori yang disebut Tolman’s Purposive Behaviorism. Teori ini merupakan suatu perlakuan sistematis dari data psikologi, dilihat dari segi penglihatan behaviorisme massa. Kerangka sistematisnya merupakan satu paduan yang hati-hati dan teliti dari segi pandangan Gestalt dengan metodologi ilmiah kaum behaviorisme. [37]
Purposive Behaviorism (behaviorisme bertujuan) menekankan masalah belajar. Menurut  Tolman, seorang individu akan belajar melalui tanda/stimulus untuk suatu tujuan. Seorang individu akan mengikuti tanda-tanda yang ada untuk mencapai tujuan. Tolman menekankan pada hubungan antar stimulus dari pada stimulus S-R, intinya adalah (a) sebuah pembelajaran selalu mempunyai sebuah tujuan khusus, digerakkan oleh kemauan mencapai tujuan tersebut,  (b) sebuah pembelajaran sering dilibatkan faktor lingkungan untuk mencapai sebuah tujuan, dan  (c) individu memilih cara/jalan terpendek untuk mencapai tujuan.[38]
Menurut Tolman Belajar adalah proses yang sedang dan terus berlangsung dalam menemukan what leads to what dalam lingkungan. Ada empat mekanisme belajar; (a) Confirmation.Harapan individu yang belum pasti merupakan hipotesis. Seseorang akan mengonfirmasi atau tidak berdasarkan pengalaman. Hipotesis yang dikonfirmasi membentuk cognitive mapping. (b) Vicarious trial and error. Sebelum melakukan suatu perilaku, seseorang menggunakan pendekatan kognitif. (c) Latent learning.Perpindahan belajar kedalam perilaku tampak disebut performansi.Muncul saat individu membutuhkan. Proses belajar yang tidak langsung diwujudkan dalam perilaku akan tersimpan sampai butuh diwujudkan, ini disebut latent learning. (d)  Place learning and response learning. Melalui percobaan dengan tikus, Tolman membuktikan bahwa organisme yang belajar melalui tempat (place learning) cara belajarnya lebih efektif dibanding menggunakan pengonfirmasian (response learning).

4.   Teori Kognif Social Bandura

Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Penamaan baru dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok dari pemikiran Bandura juga merupakan pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar meniru (imitative learning). Pada beberapa publikasinya, Bandura telah mengelaborasi proses belajar sosial dengan faktor-faktor kognitif dan behavioral yang mempengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial. [39]
Konsep utama dari teori kognitif sosial adalah pengertian tentang observational learning . Ia merupakan  jenis pembelajaran yang terjadi sebagai fungsi dari mengamati, mempertahankan dan mereplikasi perilaku baru yang dieksekusi oleh orang lain.[40] Ia juga dikenal sebagai   modeling. Roeckelein menjelaskan bahwa modeling adalah  prosedur di mana seorang individu mengamati  individu  lain melakukan beberapa perilaku, mencatat konsekuensi dari perilaku itu dan  berupaya untuk meniru perilaku tersebut.[41] Di samping itu observational learning dikenal juga dengan istilah vicarious learning atau imitative learning. [42]
Menurut Bandura, modeling memberikan beberapa efek bagi pengamat. Respons baru mungkin muncul setelah menyaksikan seorang model diperkuat setelah melakukan tindakan tertentu. Jadi, acquisition (akuisisi) perilaku berasal dari penguatan tak langsung. Sebuah respons mungkin tak muncul ketika melihat seorang model dihukum karena memberikan respons tersebut. Dengan demikian, hasil yang terhalang tersebut merupakan akibat daripada hukuman . Melihat seorang model melakukan aktivitas berbahaya tetapi tidak mengalami cedera akan bisa mereduksi rasa takut si pengamat untuk melakukan aktivitas itu. Reduksi rasa takut itu dinamakan disinhibition (disinhibisi). Seorang model juga bisa memicu respons  pengamat yang sudah belajar dan tak mengalami hambatan dalam memberi respons itu. Dalam kasus ini, model meningkatkan kemungkinan pengamat akan melakukan respons yang sama. Ini dinamakan facilitation (fasilitasi). Model juga dapat menstimulasi creativity (kreativitas) dengan cara menunjukkan kepada pengamat beberapa model yang menyebabkan pengamat mengadopsi kombinasi berbagai karakteristik atau gaya.[43]
Proses penguatan juga merupakan konsep sentral dari proses belajar sosial. Baranowski, Perry, dan Parcel  menyatakan bahwa "reinforcement is the primary construct in the operant form of learning" [44] -- proses penguatan merupakan bentuk utama dari cara belajar seseorang. Di dalam teori kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses efek menghalangi (inhibitory effects) dan efek membiarkan (disinhibitory effects). Inhibitory Effects terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi hukuman karena perilaku tertentu, misalnya penangkapan dan vonis hukuman terhadap seorang artis penyanyi terkenal karena terlibat dalam pembuatan video porno. Dengan mengamati apa yang dialami model tadi, akan mengurangi kemungkinan orang tersebut mengikuti apa yang dilakukan sang artis penyanyi terkenal itu. Sebaliknya, Disinhibitory effects terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi penghargaan atau imbalan untuk suatu perilaku tertentu. [45]
Menurut Bandura, ada empat faktor yang mempengaruhi belajar observasional:[46]
a.    Proses atensional
Bandura menganggap belajar adalah proses yang terus berlangsung, tetapi ia menunjukkan bahwa hanya yang diamati sajalah yang dapat dipelajari.
b.   Proses retensional
Agar informasi yang sudah diperoleh dari observasi bisa berguna, infomasi itu harus diingat atau disimpan. Bandura berpendapat bahwa ada retensional proses di mana setelah informasi disimpan secara kognitif, ia dapat diambil kembali, diulangi, dan diperkuat beberapa waktu sesudah belajar observasional terjadi. Simbol-simbol yang disimpan ini memungkinkan terjadinya delayed modeling (modeling yang ditunda), yakni kemampuan untuk menggunakan informasi lama setelah informasi itu diamati.
c.    Proses pembentukan prilaku
Retensi simbolis atas pengalaman modeling akan menciptakan lingkaran umpan balik yang dapat dipakai secara gradual untuk menyamakan perilaku seseorang dengan perilaku modeling, dengan menggunakan observasi diri dan koreksi diri.
d.   Proses motivasional
Dalam teori Bandura, penguatan memiliki dua fungsi utama. Pertama, ia  menciptakan ekpektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak seperti model yang dilihatnya diperkuat untuk aktivitas tertentu, maka mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai insentif untuk menerjemahkan belajar ke kinerja. Kedua fungsi penguatan itu adalah fungsi informasional. Satu fungsi menimbulkan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, mereka mungkin akan diperkuat. Fungsi lainnya adalah motivational processes (proses motivasional) menyediakan motif untuk menggunakan apa yang telah dipelajari.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bandura , Albert (ed.). (2009) Psychological Modeling : conflicting Theories, America: The State Univercity.

Baranowsky, T, C.L. Perry & G.S. Parecel. (1997). How Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer. (1997). Health Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. San Francisco: Jossey-Bass.

Schunk,Dale H. (2012) Learning Theories An Educational Perspektive (terj.), Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

Dalyono (2009) Psikologi Pendidikan, Jakarta,  Rineka Cipta.
Helmy, Abdullah.  Teori Belajar Kognitif dan Aplikasinya dalam Peembelajaran. http://jlt- polinema.org/?p=150) diakses pada 07 Mei 2014.

Hergenhahn . B.R. dan Olson, Matthew H.  (2008) Theory of Learning (Teori Belajar), edisi ketujuh Jakarta,  Kencana.

Santrock,John W. (2007). Educational Psychology (terj.), Jakarta: Kencana, 2007.
Kandula,Srinivas R. (2005). Humar Resource Management in Practice: with 300 Models, Techniques and Tool, New Delhi: Prentice-Hall.

Lewin, Kurt.  Field Theory, If you want to truly understand something, try to change it, http://wil derdom.com/theory/FieldTheory.html, 07 Mei  2014.

Gredler,Margaret E.  (2011) Learning and Instruction: Theory into Practice (terj.), Jakarta: kencana.

Muijs, Daniel. & Reynolds,David. (2008). Effective Teaching Teori dan Aplikasi, Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

Naisaban,Ladislaus. (t.th).  Para Psikolog Terkemuka Dunia : Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya, Jakarta, Grasindo.

Rahyubi, Heri.  (2012) Teori-teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik: Deskripsi dan Tinjauan Kritis, Bandung, Nusa Media.

Dahar,Ratna Wilis. (2011).  Teori-Teori Belajar & Pembelajaran, Jakarta : Erlangga.

Reisman, John M. & Ribordy, Sheila. (1993).  Principles of  Psychotherapy with Children, (New York: Lexington Books.

Rianto,  Yatim . (2009) Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta,  Kencana.
Roeckelein, Jon E. (1998). Dictionary of Theories, Law, and Concepts in Psichology,  America: Greenwood Press.

Sagala , Syaiful. (2001)  Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung, Alfabeta.
Suryabrata, Sumadi . (2012) Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
Syah, Muhibbin.  (1996).  Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru ,Bandung,  Remaja Rosdakarya, 1996.

Widyastuti Akhmadan, Universitas Sriwijaya, Teori Pembelajaran Menurut Aliran Psikologi Gestalt diakses dari http://blog.unsri. ac.id/widyastuti/pendidikan/teori-pembelajaranmenurut-aliranpsikologi-gestalt/pdf/14372/, 07 Mei 2014.

http:// id.wikipedia.org/wiki/Teori_ perkem bangan_kognitif, 07 Mei 2014

http://carapedia.com/pengertian_definisi_teori_menurut_para_ahli_info502.html








[1] Muhibbin Syah, 1996.  Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), h.
[2] Abdullah Helmy, Teori Belajar Kognitif dan Aplikasinya dalam Peembelajaran. http://jlt-polinema.org/?p=150) diakses pada 07 Mei 2014.
[3] Pertama, Paradigma fungsionalistik. Paradigma ini mencerminkan pengaruh dari Darwanisme karena ia menekankan pada hubungan antara belajar dengan penyesuaian diri dengan lingkungan. Kedua, paradigm assosianistik, ia mempelajari proses belajar dalam term hukum asosiasi. Paradigma ini berasal dari Aristoteles dan dipertahankan serta dielaborasi oleh Locke, Berkeley, dan Hume. Ketiga, Paradigma kognitif , disebut demikian karena ia menekankan sifat kognitif dari belajar . Paradigma ini berasal dari Plato dan sampai kepada kita melalui Descartes, Kaant dan para psikolog. Keempat, neorofisiologis karena ia berusaha mengisolasi korelasi neorofisiologis dari hal-hal seperti belajar, persepsi, pemikiran, dan kecerdasan. Paradigma ini merepresentasikan manifestasi rangkaian penelitian yang diawali  dengan pemisahan tubuh dan pikiran oleh Descartes. Tetapi tujuan neofisiologis saat ini adalah menyatukan kembali proses fisiologis dan mental. Kelima, evolusioner, sebab ia menekankan pada sejarah evolusi proses belajar organism. Paradigma ini focus pada cara di mana proses evolusi mempersiapkan organisme untuk beberapa jenis belajar tetapi membuat jenis belajar lain menjadi sulit dan mustahil. Lihat : B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson,  Theory of Learning (Teori Belajar), edisi ketujuh (Jakarta: Kencana, 2008), h. 51.
[4] Abdullah Helmy, lot. cit.
[5] http://carapedia.com/pengertian_definisi_teori_menurut_para_ahli_info502.html
[7] Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung, Alfabeta, 2001), h. 45.
[8] Istilah Gestalt sebenarnya berasal dari bahasa Jerman yang - menurut Heri Rahyubi – terjemahannya sukar dicari dalam bahasa lain. Kalaupun dicari gestalt punya arti yang banyak, antara lain: “form” dan “shape” (dalam bahasa Inggris) yang berarti bentuk, hal, peristiwa, hakikat, esensi, pola konfigurasi, dan totalitas. Terjemahannya dalam bahasa inggris juga bermacam-macam, di antaranya: “shape psychology”, “configurationism”, whole psychology”, dan sebagainya. Karena adanya kesimpangsiuran dalam penerjemahannya, akhirnya para sarjana seluruh dunia sepakat untuk menggunakan istilah gestalt tanpa menerjemahkan ke dalam bahasa lain. Lihat: Heri Rahyubi, Teori-teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik: Deskripsi dan Tinjauan Kritis, (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 78-79.
[9] Psikologi gestalt berpendapat bahwa bahwa voluntaris, struktualis, dan behavioris semuanya telah melakukan kesalahan dengan menggunakan pendekataan elementistik dalam rangka mendapatkan pemahaman; voluntaris dan struktualis berusaha mencari ide-ide elemental yang berkombinasi untuk membentuk pemikiran yang kompleks, dan behavioris berusaha memahami prilaku yang kompleks dari segi kebiasaan, respons yang dikondisikan atau kombinasi-kombinasi stimulus-respons. Lihat: B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson,  op.cit., h. 282-283.
[10] Ibid., h. 281-283.
[11] Margaret E. Gredler, Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 67.
[12] Lihat: Ibid., h. 68-70.
[13] Ibid., h. 70.
[14] Heri Rahyubi, op. cit., h. 83.
[16] B.R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson,  op.cit., h. 284.
[17] Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 37.
[18] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2012), h. 282-283.
[19] Diane Marie Steele, The Influence of Cognitive Style on Insight Problem Solving, (Buffalo State College State University of New York Department for Creative Studies, 2003), h. 1-2.
[20] Ibid., h.4.
[21] Heri Rahyubi, op. cit., h. 82.
[22] Hiremath Sunita G., A Comparative Study Of Piaget’s And Vygotsky’s Cognitive Development Theory, Lokavishkar International E-Journal, ISSN 2277-727X, Vol-I, Issue-II, Apr-May-June2012. Diakses 2 Juni 2014. Lihat juga : Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar & Pembelajaran, (Jakarta : Erlangga, 2011), h. 134-136
[23] Dale H. Schunk, Learning Theories An Educational Perspektive (terj.), (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 331.
[24] John W. Santrock, lot. cit.
[25] B.R. Hergenhahn & Mattew H. Olson, op. cit., h. 315.
[26] Dale H. Schunk, lot. cit.
[27] John W. Santrock, op. cit., h. 47.
[28] Margaret E. Gredler, Learning and Instruction: Theory into Practice (terj.), ( Jakarta: kencana, 2011), h. 327-328.
[29] Ratna Wilis Dahar, op. cit., h. 141-142.
[30] Lihat Mohamad Surya, Psikologi Guru: Konsep dan Aplikasi, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 145-146.
[31] John W. Santrock, op. cit., h. 48. Tahapan ini memeiliki enam sub-tahapan, yaitu (1) skema refl eks, (0-6 minggu) berhubungan terutama dengan refl ex, (2) reaksi sirkular primer (6 minggu – 4 bulan) berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan, (3) reaksi sirkular sekunder (4-9 bulan) berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan, (4) koordinasi reaksi sirkular sekunder (9-12 bulan), saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek), (5) reaksi sirkular tersier, (12-18 bulan) berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan dan (6) awal representasi simbolik, berhubungan
terutama dengan tahapan awal kreativitas. http:// id.wikipedia.org/wiki/Teori_ perkem bangan_kognitif, 07 Mei 2014
[32] Ibid., h, 51-52.
[33] Ibid.
[34] Sub tahapan pada tahapan ini adalah; (1) Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, dll, (2) Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifi kasi serangkaian benda  menurut tampilannya, ukurannya, gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. tidak berpandangan animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan), (3) Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi. (4) Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya (5) Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain dan (6) Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang. Lihat:  http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangankognitif, 07 Mei 2014.
[35] Hergenhahn & Olson, op. cit., h. 373.
[36] Daniel Muijs & David Reynolds, Effective Teaching Teori dan Aplikasi, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 25-26.
[37] Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia : Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya, (Jakarta: Grasindo, t.th), h. 386.
[38] Lihat: Srinivas R. Kandula, Humar Resource Management in Practice: with 300 Models, Techniques and Tool, (New Delhi: Prentice-Hall, 2005), h. 97.
[39] http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Kognitif_Sosial
[41] Jon E. Roeckelein, Dictionary of Theories, Law, and Concepts in Psichology, ( America: Greenwood Press, 1998), h. 66.
[42] Lihat: John M. Reisman & Sheila Ribordy, Principles of  Psychotherapy with Children, (New York: Lexington Books, 1993), 91.
[43] Hergenhahn & Olson, op. cit., h. 367.
[44] Baranowsky, T, C.L. Perry & G.S. Parecel. 1997. How Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK RimerHealth Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. San Francisco: Jossey-Bass, 1997), h. 161
[45] Lihat: Albert Bandura (ed.), Psychological Modeling : conflicting Theories,(America: The State Univercity,  2009), h. 6.
[46] Hergenhahn & Olson, op. cit., 363-366.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook