TANGGUNGJAWAB ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK
18.30
TANGGUNGJAWAB
ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ANAK
(Telaah
terhadap Hadis Nabi saw tentang
menyuruh anak shalat dan memisahkan mereka di tempat tidur)
A. PENDAHULUAN
Keluarga adalah
salah satu tri pusat pendidikan selain lingkungan masyarakat dan sekolah. Ia
merupakan lingkungan pertama dan utama yang memegang tanggungjawab dalam
pendidikan anak. Dalam Islam, pendidikan tersebut harus telah dimulai sejak
anak masih kecil, bahkan sejak mereka berada dalam kandungan ibunya.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Syaikh Yusuf Muhammad Hasan dalam bukunya menjelaskan
bahwa, paling tidak, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang ibu
ketika ia mengandung; [1]Pertama,
Islam mensyariatkan
kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya.
Sabda Rasulullah : "Sesungguhnya Allah membebaskan separuh shalat bagi orang
yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita
menyusui dan wanita hamil" (Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan
An Nasa'i. Kata Al
Albani dalam Takhrij al Misykat: "Isnad hadits ini jayyid' ).
Kedua, sang ibu hendaklah berdo'a untuk bayinya
dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang
shaleh dan baik, bermanfaat
bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin.
Karena termasuk do'a yang dikabulkan adalah do'a
orangtua untuk anaknya.
Dalam keluarga, orang tua (ibu dan
bapak) merupakan orang yang paling bertannggungjawab dalam pendidikan
anak-anaknya. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang
peran kedua orang tua dalam pendidikan mengatakan:
"Ketahuilah,
bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang
masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia
siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan
kepadanya Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan
dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dari akherat, juga setiap
pendidik dan gurunya. Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagai mana
binatang temak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung
oleh guru dan walinya. Maka hendaklah ia memelihara, mendidik, dan membina
serta mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak
membiasakannya bersenang-senang dan tidak pula menjadikannya suka kemewahan,
sehingga akan menghabiskan umurnya untuk mencari hal tersebut bila
dewasa."[2]
Dalam QS. Al-Tahrim Allah SWT. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu, dijaga oleh malaikat yang bengis lagi kejam, mereka
tidak durhaka kepada Allah tentang apa yang telah diperintahkan kepada mereka,
dan mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. Al-Tahrim: ).
Al-Thabari, ketika manafsirkan “قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارً “ , ia memaknainya dengan “ وعلموا أهليكم من
العمل بطاعة الله ما يقون به. أنفسهم من النار “ (ajarilah keluargamu dengan amal (yang
membawanya) taat kepada Allah yang akan menjauhkannya dari (azab) api neraka)..
[3]
Dengan demikian, mengajarkan ibadah kepada anak merupakan salah satu rangkaian
pendidikan yang sangat penting yang harus dilakukan oleh orang tua. Rukun Islam
dan seluruh aspeknya (sesudah mengucapkan dua kalimat sahadat ada shalat,
puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji ke baitullah) merupakan
bentuk-bentuk ibadah yang harus diajarkan, dipelajari, dan diamalkan setiap
hamba sebagai bentuk pengabdianya kepada-Nya.
Shalat
merupakan ibadah yang paling utama dalam rangkain ibadah seorang hamba terhadap
Khaliqnya. Rasul menyebutnya sebagai tiang Agama (Islam) dan merupakan ibadah pertama kali yang akan dihisap pada yaum
al-akhir .Maka tidak heran, jika di dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat
yang memerintahkan umat Muslim untuk mendirikan sholat dan mengajarkannya
kepada keluarga dan orang lain. Seperti dalam QS. Thaha Allah berfirma:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Artinya: Sesungguhnya Aku adalah
Allah, tiada Tuhan selain Aku maka beribadahlah kepada Ku, dan dirikanlah
shalat untuk mengingatku.(QS. Thoha : 14)
Dalam ayat lain
dalam QS. Thaha juga Allah berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ
وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ
لِلتَّقْوَى
Artinya: Suruhlah keluargamu
untuk (mendirikan) shalat dan bersabat terhadapnya, Kami tidak meminta rizki
kepadamu tetapi Kamilah yang member rizki kepadamu, dan sebaik baik akibat
adalah bagi (orang) yang bertaqwa. (Thoha : 132)
Dalam QS.
Lukman Allah Swt. juga berfirman:
يَا بُنَيَّ
أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ
عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Artinya: Hai anakku dirikanlah
shalat (laksanakan) amar ma’ruf nahi munkar, bersabarlah terhadap apa yang
menimpamu, sesuangguhnya hal tersebut adalah hal yang penting (QS.
Lukman:17).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, diketahui bahwa orang
tua memiliki tanggungjawab yang besar dalam mengajar dan mendidik anaknya untuk
mampu mendirikan shalat secara sadar dan bertanggungjawab.
Di samping
ayat-ayat Al-Quran, terdapat juga hadis-hadis Nabi saw. yang berbicara tentang
kewajiban orang tua untuk mengajarkan anaknya shalat. Pada kesempatan ini
penulis akan mengemukan berbagai informasi tentang keberadaan hadis-hadis
tersebut dari kitab-kitab hadis al-mu’tabar (kutub al-tis’ah), kemudian
salah satu hadis tersebut akan ditakhrij untuk mengetahui statusnya, dan
terakhir akan dijelaskan syarahnya (fiqh al-hadis) dengan mengemukan
berbagai pendapat para ulama dan tinjauan para ahli.
B. Riwayat-Riwayat
Hadis Terkait
Dalam rangka
melacak hadis tentang menyuruh anak shalat dan memisahkan mereka di tempat
tidur, maka penulis memulainya dengan terjemahan kata “anak” dalam kamus
Indonesia-Arab. Berdasarkan kamus Munawwir Indonesia-Arab maka ditemukan
terjemahan kata “anak”, yaitu dengan istilah; طفل , ابن ، ولد ،
صبي ، غلام . Melalui kata-kata tersebut dan dengan menggunakan kitab Mu’jam al-Mufakhrasy li al-Alfazh
al-Hadits al-Nabawiy dan Maktabah Syamilah
al-Kubro, maka hadis nabi tentang perintah shalat terhadap anak berumur tujuh
tahun dan memisahkan mereka di tempat tidur, diperoleh informasi sebagai
berikut:
1.
Dengan
menggunakan kata “ابن “ dengan
bentuk jamaknya “أَبْنَاءَ “ diperoleh
informasi bahwa hadis tersebut berada pada Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, hadis
no. 6756. [4]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ الطُّفَاوِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ السَّهْمِيُّ الْمَعْنَى
وَاحِدٌ قَالَا حَدَّثَنَا سَوَّارٌ أَبُو حَمْزَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ
بِالصَّلَاةِ
لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَوْ أَجِيرَهُ
فَلَا يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَوْرَتِهِ فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ
سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ .[5]
2.
Dari kata “ولد “diperoleh informasi bahwa hadis tersebut terdapat pada Sunan
Abu Dawud , hadis no.495, dengan menggunakan bentuk jamaknya “اولاد “.[6]
Hadis tersebut adalah:
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ
هِشَامٍ - يَعْنِى الْيَشْكُرِىَّ - حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِى
حَمْزَةَ - قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ
الْمُزَنِىُّ الصَّيْرَفِىُّ - عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ
سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ».[7]
3.
Dari kata “صبي “ dengan bentuk jamaknya “صبيان “diperoleh informasi bahwa hadis tersebut terdapat pada:
حدثنا
علي بن حجر أخبرنا حرملة بن عبد العزيز بن الربيع بن سبرة الجهني عن عمه عبد الملك
بن الربيع بن سبرة عن أبيه عن جده قال : قال رسول الله صلى الله عليه سولم علموا الصبي الصلاة ابن سبع سنين واضربوه
عليها ابن عشر[9]
b.
Sunan
Ad-Darimi, bab shalat, hadis no. 5541. [10]Hadis
tersebut yaitu:
أخبرنا عبد الله بن الزبير الحميدي
ثنا حرملة بن عبد العزيز بن الربيع بن سبرة بن معبد الجهني حدثني عمي عبد الملك بن
الربيع بن سبرة عن أبيه عن جده قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : علموا الصبي الصلاة بن
سبع سنين واضربوه عليها بن عشر [11]
c.
Sunan Kubra
Al-Baihaqi, bab ma ‘ala al-aba’ wa al-ummahat, hadis no. 5294.[12]
Hadis tersebut:
أَخْبَرَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ وَأَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ وَأَبُو زَكَرِيَّا
بْنُ أَبِى إِسْحَاَقَ الْمُزَكِّى وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِى عَمْرٍو قَالُوا
حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ الْمِصْرِىُّ حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ
بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ عَمِّهِ عَبْدِ
الْمَلِكِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« عَلِّمُوا الصَّبِىَّ الصَّلاَةَ ابْنَ
سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا ابْنَ عَشْرٍ ».[13]
d.
Sunan
Kubra al-Baihaqi, bab ‘Aurah al-Rajul, hadis no. 3359. Hadis tersebut
adalah :
أَخْبَرَنَا
أَبُو بَكْرٍ : أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَارِثِ الْفَقِيهُ أَخْبَرَنَا
عَلِىُّ بْنُ عُمَرَ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ بْنِ إِسْحَاقَ
بْنِ بُهْلُولَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنِ حَبِيبٍ الشَّيْلَمَانِىُّ حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا سَوَّارٌ أَبُو حَمْزَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ
شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- :« مُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلاَةِ فِى سَبْعِ سِنِينَ ،
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا فِى عَشَرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ،
وَإِذَا زَوَّجَ الرَّجُلُ مِنْكُمْ عَبْدَهُ أَوْ أَجِيرَهُ فَلاَ يَرَيَنَّ مَا
بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ ، فَإِنَّ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ مِنْ
عَوْرَتِهِ[14]
e.
Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal,
hadis no. 6689.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا
سَوَّارُ بْنُ دَاوُدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلَاةِ إِذَا
بَلَغُوا سَبْعًا وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا إِذَا بَلَغُوا عَشْرًا وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ[15]
f.
Sunan
al-Dar al-Quthni, bab al-amr bi ta’lim al-shalawat wa al-dharb, hadis
no. 2. Hadis tersebut adalah:
حدثنا محمد بن مخلد نا أحمد بن منصور
زاج نا النضر بن شميل انا أبو حمزة الصيرفي وهو سوار بن داود نا عمرو بن شعيب عن
أبيه عن جده قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مرو صبيانكم بالصلاة
لسبع واضربوهم عليها لعشر وفرقوا بينهم في المضاجع وإذا زوج أحدكم عبده أمته أو
أجيره فلا ينظر إلى ما دون السرة وفوق الركبة فإن ما تحت السرة إلى الركبة من
العورة[16]
4. Dari
kata “الْغُلَامُ
“ diperoleh informasi bahwa hadis tersebut terdapat pada:
a.
Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal,
hadis no. 15339.[17]
Hadis tersebut adalah:
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا بَلَغَ الْغُلَامُ سَبْعَ سِنِينَ أُمِرَ بِالصَّلَاةِ فَإِذَا
بَلَغَ عَشْرًا ضُرِبَ عَلَيْهَا
[18]
حَدَّثَنَا
زَيْدُ بْنُ الْحُبَاب قَالَ : حدَّثَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ
سَبْرَةَ بْنِ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيُّ ، قَالَ : حَدَّثَنِي أَبِي ، عَنْ جَدِّي ،
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إذَا بَلَغَ الْغُلاَمُ سَبْعَ
سِنِينَ فَأمُرُوهُ بِالصَّلاَةِ ، فَإِذَا بَلَغَ عَشْرًا فَاضْرِبُوهُ
عَلَيْهَا.[20]
5.
Adapun
dari “طفل
“ dengan jamaknya “اطفال “ tidak ditemukan hadis terkait.
Dari
riwayat-riwayat hadis di atas, tergambar bahwa hadis tentang “ menyuruh anak
shalat dan memisahkan mereka di tempat tidur” memilki dua jalur periwayatan,
yaitu jalur Amru ibn Syu’aib dan jalur Harmalah ibn Abd al-‘Aziz ibn al-Rabi’
ibn Sabrah al-Jahni. Untuk lebih
jelasnya, sanad hadis-hadis tersebut bisa dilihat pada tabel berikut:
|
No
|
Matan Hadis
|
Sanad Hadis
|
Perawi
|
|
1
|
مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلَاةِ
لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَوْ
أَجِيرَهُ فَلَا يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَوْرَتِهِ فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ
مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ
|
Muhammad
ibn Abdurrahman al-Thafawi, Abdullah ibn Bakr al-Sahmi, sawwar Abu Hamzah, Amru
ibn Syu’aib, Bapaknya, kakeknya,
|
Ahmad ibn
Hanbal
|
|
2
|
« مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ
سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
|
Muammal
ibn Hisyam, Isma’il , Sawwar ibn Dawud Abu Hamzah , Amru ibn Syu’aib,
Bapaknya, Kakeknya.
|
Abu Dawud
|
|
3
|
مُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلاَةِ
فِى سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا فِى عَشَرٍ ، وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ، وَإِذَا زَوَّجَ الرَّجُلُ مِنْكُمْ عَبْدَهُ
أَوْ أَجِيرَهُ فَلاَ يَرَيَنَّ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ ، فَإِنَّ
مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ مِنْ عَوْرَتِهِ
|
Abu
Bakr (Anmad ibn Muhammad ibn al-Haris al-Faqih, Ali ibn Umar al-Hafiz, Yusuf
ibn Ya’qub ibn ishaq ibn Buhlul, Muhammad ibn Habib al-Syailamani, Abdullah
ibn Bakr, Sawwar Abu Hamzah, Amru ibn Syu’aib, Bapaknya, Kakeknya.
|
Al-baihaqi
|
|
|
مُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلاَةِ
فِى سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا فِى عَشَرٍ ، وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ، وَإِذَا زَوَّجَ الرَّجُلُ مِنْكُمْ عَبْدَهُ
أَوْ أَجِيرَهُ فَلاَ يَرَيَنَّ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ ، فَإِنَّ
مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ مِنْ عَوْرَتِهِ
|
Muhammad
ibn Mukhlad, Ahmad ibn Manshur Zaj, al-Nadhar Syamil, Abu Hamzah al-Shairafi,
Amru ibn Syu’aib, Bapaknya, Kakeknya.
|
Al-Dar
al-Quthni
|
|
4
|
علموا الصبي الصلاة ابن سبع سنين
واضربوه عليها ابن عشر
|
Ali
ibn Hajr, Harmalah ibn Abd al-‘Aziz
ibn al-Rabi’ ibn Sabrah al-Jahni, Abd. Al-Malik ibn al-Rabi’ ibn Sabrah, Bapaknya, Kakeknya.
|
Al-Turmuzi
|
|
5
|
علموا الصبي الصلاة بن سبع سنين
واضربوه عليها بن عشر
|
Abdullah
ibn al-Zubair al-Humaidi, Harmalah
ibn Abd al-Aziz ibn Rabi’ ibn Sabrah ibn Ma’bad al-Jahni, Abd al-Malik ibn Al-Rabi’ ibn Sabrah,
Bapaknya, Kakeknya.
|
Al-Darimi
|
|
6
|
عَلِّمُوا الصَّبِىَّ
الصَّلاَةَ ابْنَ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا ابْنَ عَشْرٍ
|
Abu
Abdullah al-Hafiz dan Abu Thahir al-Faqih dan Abu Zakaria ibn Abi Ishaq
al-Muzakki dan Abu Sa’id ibn Abi Amru, Abu al-Abbas (Muhammad ibn Ya’qub),
Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakm al-Mishri, Harmalah ibn Abd al-Aziz ibn al-Rabi’ ibn Sabrah, Abd al-Malik ibn al-Rabi’ ibn Sabrah,
Bapaknya, Kakeknya.
|
Al-Baihaqi
|
|
7
|
إذَا بَلَغَ الْغُلاَمُ سَبْعَ
سِنِينَ فَأمُرُوهُ بِالصَّلاَةِ ، فَإِذَا بَلَغَ عَشْرًا فَاضْرِبُوهُ
عَلَيْهَا
|
Zaid
ibn al-Hubab, Abd al-Malik ibn al-Rabi’ ibn Sabrah ibn Ma’bad al-Juhani,
Ayahku, Kakekku.
|
Ahmad Ibn
Hanbal, Al-Baihaqi
|
Dari
riwayat hadis-hadis yang ditampilkan, maka penulis mengambil satu hadis dari
turuq Abu Dawud yang akan ditakhrij sehingga akan diketahui status hadisnya,
kemudian akan dijelaskan syarahnya.
C. Matan Hadis dan Terjemahan
Adapun
hadis tentang menyuruh anak shalat dan memisahkan mereka di tempat tidur dari
thuruq Abu Dawud selengkapnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ -
يَعْنِى الْيَشْكُرِىَّ - حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِى حَمْزَةَ -
قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ الْمُزَنِىُّ
الصَّيْرَفِىُّ - عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ
سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
Artinya:
“Diriwayatkan oleh Muammal ibn Hisyam yaitu al-Yaskuri, diriwayatkan oleh
Isma’il dari Sawwar Abi Hamzah, bahwa Abu Dawud yaitu Sawwar ibn Dawud Abu
Hamzah al-Muzanni al-Shairafi, dari Amru ibn Syu’aib, dari bapaknya, dari
kakeknya telah berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda: “Suruhlah anak-anakmu
(mendirikan) shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka
(jika tidak shalat) ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah di antara
mereka di tempat tidur.”
D. Analisa Hadis
1.
Biografi Sanad
Untuk lebih jelasnya, sanad hadis ini
dapat dilihat pada skema berikut:
![]() |
![]() |
a. Muhammad Ibn Abdullah
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Abdullah ibn Amru
ibn al-‘Ash al-Qurasyi al-Sahmi. Ia adalah kakek Amru ibn Syu’aib ibn Muhammad
ibn Abdullah ibn Amru ibn al’Ash. Ibunya bernama Binti Mahmaah ibn Jaz’
al-Zubaidi.[21]
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, ia hanya meriwayatkan
hadis dari bapaknya. Adapun yang pernah meriwayatkan hadis darinya seperti yang
dikemukan oleh Abu Sa’id ibn Yunus yaitu Hakim ibn al-Haris al-Fahmi dan
anaknya Syu’aib ibn Muhammad.[22]
Di samping itu, Abu Dawud, dan
Al-Turmuzi, Al-Nasa’I pernah mengambil hadis dari jalur ini.[23]
Beberapa orang ulama memberikan komentar tentang
Muhammad ibn Abdullah ini; Ibn Hibban memasukkannya ke dalam “tsiqat”, [24] namun
Al-Zahabi bahwa ia ghair ma’ruf hal,
tidak tsiqah tidak pula lain.[25]
b. Syu’aib Ibn Muhammad
Nama lengkapnya adalah Syu’aib Ibn Muhammad Ibn
Abdullah Ibn Amru Ibn al-‘Ash al-Qurasyi al-Sahmi al-Hijazi. Menurut Khalifah
Ibn Khiyath dalam thabaqatnya, ia berasal dari Thaib, namun menurut Muhammad
Ibn Sa’ad dalam thabaqatnya, ia berasal dari Madinah. Menurut al-Zubair Ibn
Bakkar, Ibunya bernama Ummu Walad.[26]
Ia meriwayatkan hadis dari Ubadah Ibn al-Shamat,
Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Umar Ibn al-Khattab, Kakeknya Abdullah Ibn
Amru Ibn al-‘Ash, Ayahnya Muhammad Ibn Abdullah Ibn al-‘Ash, dan
Mu’awiyah Ibn Abi Supyan. Adapun yang pernah meriwayatkan hadis dari Syu’aib
Ibn Abdullah adalah: Tsabit al-Bunani yang dinasabkan kepada kakeknya, Abu
Sahabah Ziyat ibn Umar disebut juga Ibn Umar, Salamah Ibn Abi al-Husamah ayah
dari Sa’id Ibn Salamah Ibn Abi al-Husam, Usman Ibn Hakim al-Anshari, Atha’
al-Kharrasani, dan anaknya Umar Ibn Syu’aib
dan Amru Ibn Syu’aib.[27]
Al-Darawardi
dari Ubaidillah ibn Umar dengan isnad yang shahih dan jelas bahwa Syu’aib
mendengar hadis dari kakeknya Abdullah ibn Amru,Ibn Abbas, dan Ibn Umar.
Menurut al-Mazzi, riwayat seperti ini banyak sekali, dan tidak ada yang
mengatakan bahwa Syu’aib meriwayatkan hadis dari Ayahnya Muhammad. Hal ini
menunjukkan bahwa hadis Amru ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya adalah
shahih muttasil, jika isnadnya shahih.[28]
Bukhari dan Abu Dawud juga berpendapat yang sama. Namun, Ibn Hibban dan Ibn
Hajar mengatakan: “tidak benar bahwa Syu’aib mendengar hadis dari Abdullah ibn
Amru ibn al-Ash.[29]
Adapun komentar ulama tentang Syu’aib ibn Muhammad,
yaitu; Ibn Hibban menilainya tsiqah.[30]
Ibn Hajar menilainya Shuduq tsabat.[31]
c.
Amru Ibn
Syu’aib
Nama lengkapnya adalah Amru Ibn Syu’aib Ibn Muhammad
Ibn Abdullah Ibn Amru Ibn al-‘Ash al-Qurasyi al-Sahmi. Ia biasa dipanggil Abu
Ibrahim dan dikenal juga dengan panggilan Abu Abdullah al-Madani. Ia merupakan
penduduk Thaib, namun menurut Abu Hatim, awalnya ia tinggal di Mekah kemudian
pindah ke Thaib. Ibunya bernama Habibih binti Murrah Ibn Amru Ibn Abdullah Ibn
‘Amir al-Jumahi. Ia meninggal tahun 118 H.[32]
Ia meriwayatkan hadis dari Salim Maula kakeknya
Abdullah ibn Amru, Sa’id ibn Abi Sa’id al-Maqburi, sa’id ibn al-Musayyab,
Sulaiman ibn Yassar, dan 18 orang lainnya termasuk ayahnya Syu’aib ibn
Muhammad. Adapun yang meriwayatkan hadis darinya adalah: Ibrahim ibn
Maisarah al-Thaifi, Ibrahim ibn Yazid al-Khuzi, Usamah ibn Zaid al-Laitsi, Ishaq
ibn Abdullah ibn Abi Farwah, Bukairah
ibn Abdullah ibn al-Asyaj, Sawwar Abu Hamzah, dan 73 orang lainnya. Para
rawi hadis seperti Bukhari dan lainnya, selain muslim telah meriwayatkan hadis
dari jalur ini.[33]
Berbagai komentar diberikan para ulama terhadap Amru
ibn Syu’aib ini, di antaranya:[34]
1)
Ali, dari
Sufyan ibn “Uyainah berkata bahwa hadis Amru ibn Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya menurut banyak orang adalah ada sesuatu (tidak baik).
2)
Abu al-Hasan
al-Maimuni berkata bahwa ia pernah mendengar bahwa Ahmad ibn Hanbal berkata
bahwa Amru ibn Syu’aib memiliki banyak hal yang munkar. Menurutnya, boleh
menuliskan hadis darinya, tapi tidak untuk berhujjah. Hal senada juga dikatakan
oleh Abu Dawud, Abu Bakar al-Atsram. Bahkan ketika Abu “Ubaid bertanya kepada
Abu Dawud “apakah ia berhujjah dengan hadis Amru ibn Syu’aib, dari bapaknya,
dari kakeknya”, maka Abu Dawud menjawab “ tidak, bahkan tidak setengahnya. Di
samping itu, Ibn ‘Adi mengatakan bahwa banyak orang yang menjauhi Amru ibn
Syu’aib disebabkan hadisnya, dari bapaknya, dari kakeknya.[35]
3)
Abbas al-Duri
dari Yahya ibn Ma’in berkata bahwa hadis dari Amru ibn Syu’aib, dari ayahnya,
dari kakeknya adalah dha’if, karena ia dinilai mursal.[36]
Tapi, hadisnya dari Sa’id ibn al-Musayyab, atau dari Sulaiman ibn Yasar, atau
dari ‘Urwah adalah tsiqah.
4)
Menurut Abu
Hatim dari Yahya ibn Ma’in bahwa banyak ulama yang meriwayatkan hadis dari Amru
ibn Syu’aib. Kemudian Abu Zur’ah menegaskan bahwa banyak ulama yang tsiqah yang
meriwayatkan hadis darinya, walaupun banyak di antara mereka yang mengingkari
riwayatnya, dari bapaknya, dari kakeknya.
5)
Menurut Ahmad
ibn Abdullah al-‘Ijli dan an-Nasa’I bahwa Amru ibn Syu’aib adalah tsiqah, namun
al-Nasa’I pada kesempatan lain ia menilai la ba’sa bih. Abu Ja’far Ahmad ibn
Sa’id al-Darimi juga menilainya dengan tsiqah.
6)
Ibn Hajar
menyimpulkan bahwa Amru ibn Syu’aib banyak orang yang mendhaifkannya, namun
banyak juga jumhur yang menilainya tsiqah. Penilaian dha’if hanya terjadi pada
hadisnya, dari bapaknya, dari kakeknya. Riwayat hadisnya menggunakan ‘an
sehingga hadis adalah mudallas. Kalau seandainya, riwayat tersebut menggunakan
“haddasani abi” maka hadis tersebut tidak akan diragukan.[37]
d.
Sawwar Ibn
Dawud
Nama lengkapnya adalah Sawaar ibn Dawud al-Muzni Abu
Hamzah al-Shairafi al-Bisri Shahib al-Huli. Terkadang namanya dibalik menjadi
Dawud ibn Sawwar. Ia dikenal dengan panggilan Abu Hamzah.
Ia meriwayatkan hadis dari beberapa orang, seperti:
Tsabit al-Bunani, Harb ibn Qathan ibn Qabishah ibn al-mukhariq al-Hilali,
Thawus ibn Kaisan, Abdul ‘Aziz ibn Abi Bakrah, ‘Atha’ ibn Abi Rabah, dan Amru
ibn Syu’aib. Adapun yang pernah meriwayatkan hadis darinya adalah Isma’il
ibn ‘Ulaiyah, Sulaiman ibn Sulaiman al-Ghazal, Sahal ibn Aslam al-Adawi,
dan 11 orang lainnya.[38]
Abu Dawud dan Ibn Majah memiliki hadis yang diriwayatkan melalui jalur ini.[39]
Al-Zahabi dalam kitabnya mengemukakan
komentar-komentar para ulama tentang Sawwar; Ibn Ma’in menilainya tsiqah.
Adapun Ahmad ibn Hanbal menilai laba’sa bih. Di samping, Darul Quthni
mengatakan bahwa hadis-hadis dari sawwar tidak diikuti. Khusus untuk hadis
murru auladakum …, al-Zahabi menilai dhaif.[40]
Menurut Ibn Hibban, bahwa Sawwar hanya meriwayatkan
sedikit hadis, sehingga karena sedikitnya dikatakan tidak menyerupai hadis. Namun,
ia memasukkannya ke tsiqat.[41]
Berbeda dengan ini, Al-Bazzar mengatakan bahwa Sawwar bukanlah Qawwi. Menurutnya, para ulama banyak
membicarakan hal tersebut.[42]
e.
Isma’il Ibn “Ulaiyah
Nama lengkapnya adalah Isma’il ibn Ibrahim ibn Muqsim.
Ia dikenal dengan panggilan ibn ‘Ulaiyah. Namun, menurut Abu Dawud, ia tidak
suka dengan panggilan tersebut. Ia berasal dari Basrah.
Ia meriwayatkan hadis dari Abdul Aziz ibn Shuhaib,
Sulaiman al-Taimi, Humaid al-Thawil, ‘Ashim al-Ahwal, Ayub, Ibn ‘Aun, Abi
Raihanah, Al-Jurairi
Menurut Ibn Khalfun ia adalah seorang imam dalam
hadis, ia adalah seorang tsiqah. Olehnya, ia dibandingkan dengan Abdul Wahab
al-Tsaqafi. Menurutnya, keduanya sama-sama tsiqah, namun Ibn Ulaiyah lebih kuat
hafalannya. Ibn Hibban juga memasukkannya ke tsiqqat, begitu juga Ibn Syahin
dalam Tsiqatnya. Ibn Qathan mengatakan bahwa ia adalah imam yang tsiqah dalam
fiqh dan hadis.[43]
f.
Mu’ammal Ibn
Hisyam.
Nama lengkapnya adalah Muammal ibn Hisyam al-Yasykuri,
dikenal juga dengan Abu Hisyam al-Basyri. Menurut Abu al-Qasim, ia meninggal
pada bulan rabi’ al-Awal 253 H.
Ia meriwayatkan hadis dari Isma’il ibn ‘Ulaiyah,
Abi Mu’awiyah Muhammad ibn Khazim al-Dharir, dan ‘Abbad Yahya ibn ‘Abbad al-Dhuba’i. Adapun yang
meriwayatkan hadis darinya adalah; al-Bukhari, Abu dawud, An-Nasa’i, Ibrahim
ibn Muhammad ibn Ibrahim al-kindi al-Shairafi, saudaranya Abu Bakar Ahmad ibn
Muhammad ibn Ibrahim al-kindi, dan 14 orang lain.[44]
Abu Hatim mengatakan bahwa ia adalah shuduq. Abu Dawud
dan an-Nasa’I menilai tsiqah. Begitu juga Ibn Hibban, ia memasukkannya ke
golongan tsiqat.[45]
2.
Status Hadis
Berdasarkan biografi sanad dan
komentar-komentar yang dberikan oleh para ulama terhadap mereka maka dapat
disimpulkan bahwa status hadis tentang “menyuruh anak shalat pada umur tujuh
tahun…” dari thuruq Abu Dawud adalah dha’if.
Hal ini disebabkan oleh:
a)
Hadis ini
adalah hadis maqthu’ (istilah lain : munqathi’), yaitu hadis yang terputus
sanadnya sampai kepada Rasulullah saw., atau hadis yang sanadnya hanya sampai
pada tingkatan tabi’in saja, dan hadis munqathi’ ditinjau dari persambungan
sanad termasuk kepada kelompok hadis dhaif. [46]Dalam
hal ini, Muhammad ibn Abdullah (kakeknya Amru ibn Syu’aib) adalah seorang
tabi’in, dan tentu saja ia tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw.
b)
Dari rangkaian
sanad yang ada maka Amru ibn Syu’aib (nama yang ada pada semua thuruq yang ada;
Ahmad ibn hanbal, Abu Dawud, Al-Dar al-Quthni) adalah sanad yang banyak di-jarh
oleh para ulama, sehingga Al-Zahabi mendha’ifkannya. Walaupun ada hadis-hadis
dari jalur Amru ibn Syu’aib yang dianggap shahih, namun khusus hadis tentang
menyuruh anak shalat pada umur tujuh tahun dari jalur Amru ibn Syu’aib, dari
bapaknya, dari kakeknya banyak yang mendhaifkan.
Namun, hal yang berbeda dikemukan
oleh al-Banni, ia menyimpulkan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
tersebut statusnya adalah hasan shahih. Hal ini berarti bahwa ada hadis dari
jalur lain yang menjadi tawabi’ bagi hadis ini yang statusnya shahih.
E. SYARAH HADIS
Masa
kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan dan pembelajaran yang pesat. Masa ini dimulai dari selesainya masa menyusui
hingga anak berumur enam atau tujuh tahun. Pengalaman yang diperoleh seorang anak
pada masa ini memiliki dampak
yang besar terhadap perkembangannya di masa depan. Masa ini termasuk
masa yang sangat sensitif bagi perkembangan kemampuan berbahasa, cara berpikir,
dan sosialisasi anak. Di dalamnya terjadilah proses pembentukan jiwa anak yang
menjadi dasar keselamatan mental dan moralnya. Pada saat ini, orang tua harus memberikan
perhatian ekstra terhadap masalah pendidikan anak dan mempersiapkannya untuk
menjadi insan yang handal dan aktif di masyarakatnya kelak.
Pendidikan
pada masa ini sebaiknya dijalankan secara bertahap sesuai dengan usia, kemampuan
berpikir anak, dan kematangan bahasa dan nalarnya. Imam Muhammad Baqir
a.s. dalam hal pendidikan bertahap ini mengatakan:[47]
Artinya:
Jika anak telah berumur tiga tahun, ajarilah ia kalimat “ Laa ilaaha
illallah” (tiada
Tuhan selain
Allah) sebanyak tujuh kali lalu tinggalkan ia. Saat ia berusia tigatahun tujuh
bulan dua puluh hari, katakan kepadanya “Muhammad Rasulullah” (Muhammad adalah
utusan Allah) sebanyak tujuh kali, lalu tinggalkan sampai ia berumur empat
tahun. Kemudian, ajarilah ia untuk mengucapkan “ Shallallaah ‘alaa Muhammad wa
aalihi” (Salam sejahtera atas Muhammad dan keluarganya) sebanyak tujuh kali dan
tinggalkan. Setelah ia genap berusia lima tahun, tanyakanlah kepadanya mana
kanan dan mana kiri?
Jika ia mengetahui arah kanan dan kiri palingkan wajahnya untuk menghadap kiblat
dan perintahkanlah ia untuk bersujud lalu tinggalkan. Setelah ia berumur tujuh
tahun suruhlah ia untuk mencuci wajah dan kedua tangannya dan perintahkanlah ia
untuk shalat lalu tinggalkan. Saat ia berusia genap sembilan tahun ajarilah
wudhu dan shalat yang sebenarnya dan pukullah ia bila meninggalkan kewajibannya
ini. Jika anak telah mempelajari wudhu dan shalat dengan benar, maka Allah akan
mengampuninya dan mengampuni kedua orang tuanya, Insya Allah.
Salah satu tahapan pendidikan dalam
perspektif hadis Nabi saw. adalah hadis Nabi saw. tentang menyuruh anak shalat
di kala mereka telah berumur tujuh dan memukul mereka (jika mereka
meninggalnya) ketika mereka berumur sepuluh tahun. Umur tujuh tahun sebagai dimulainya pendidikan
shalat bagi anak dinilai sangat tepat, karena di usia ini anak sudah memasuki
usia tamyiz (pra pubertas) di mana seorang anak sudah mulai bisa mengenal atau
membedakan antara baik dan buruk, dan atau perintah dan larangan.[48] Adapun perintah memukul (kalau anak
meninggalkan shalat) ketika mereka berumur sepuluh tahun, karena umur tersebut
sudah mendekati baligh (umur baligh seorang anak minimal adalah umur 12 tahun).
Tentang maksud
hadis, telah dicoba dijelaskan oleh para ulama dengan pendapat mereka yang
beragam. Di antaranya Al-Jauhari, seperti terdapat dalam kitab “syarh
riyadus sholihin “, menurutnya bahwa
kata “murru” dalam hadis tersebut merupakan fi’il amar (kata
perintah). Namun perintah dalam konteks hadis tersebut tidak bermakna kewajiban
tetapi bermakna “ta’dib” (pendidikan). Karena, seorang anak kecil belum
dibebankan kepada mereka perintah dan larangan. Adapun umur tujuh tahun sebagai
awal dimulainya pendidikan sholat dikatakan sebagai umur “tamyiz”. [49]
Dengan demikian, kata perintah dalam hadis tersebut mengandung makna
pendidikan agar anak memiliki akhlak Muslim dan terbiasa melakukan berbagai
ibadah. [50]
Masih dalam memahami hadis di atas, al-Khithabi menjelaskan
bahwa perintah memukul mengandung makna kerasnya hukuman bagi anak yang sengaja
meninggalkan shalat. Namun, sebagian syafi’yah menjadikan hal tersebut sebagai
hujjah wajib “ al-qatl “ (dibunuh) . Argumentasi mereka adalah jika seseorang
berhak mendapatkan pukulan ketika meninggalkan shalat dengan sengaja padahal
mereka belum baligh, maka suatu hal yang logis kalau mereka mendapatkan hukuman
yang lebih berat dari sekedar pukulan ketika mereka sudah mencapai aqil baligh,
dan yang lebih berat dari pukulan tersebut, menurut mereka, adalah “al-qatl”.[51]
Pendapat yang berbeda dikemukan oleh Ibn Musa Badruddin al-‘Aini.
Argumentasi di atas, menurutnya, adalah lemah. Ia menegaskan bahwa pukulan
sebelum baligh bukan sesuatu yang wajib sehingga ia harus menerima sesuatu yang
lebih berat dari pukulan setelah baligh. Pukulan itu sendiri tujuannya
berbeda-beda; pukulan sebagai pendidikan dan pendidikan sebagai hukuman.
Sementara itu,
Al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah , ia mengatakan:[52]
“Para orang tua harus membiasakan
anak-anaknya untuk mengerjakan shalat serta mengajarkan hukuk-hukum dan
etiknya. Para orang tua, baik bapak maupun ibu, harus mendidik mereka serta
mengajarkan thaharah dan shalat kepada anak-anak mereka, dan memukul mereka
karena tidak melakukan hal itu jika mereka sudah dewasa. Anak laki-laki yang
sudah bermimpi basah atau anak perempuan yang haid atau genap berusia lima
belas tahun, maka mereka ini sudah harus mengerjakan shalat”.
Kemudian ia
melanjutkan:
“Pukulan merupakan salah satu cara
mendidik, khususnya jika pukulan itu mendatangkan manfaat atau mencegah yang
tidak baik, yang dilakukan setelah diberi nasehat dan bimbingan. Tetapi pukulan
itu harus mendidik dan tidak boleh melukai, dan hendaknya dihindari pukulan
pada wajah”
Sementara
al-Minawi berkata:[53]
“Perintahkanlah, dan ini wajib,
anak-anak kalian—dalam riwayat lain putra putri kalian—agar menunaikan shalat saat mereka berusia tujuh
tahun, yakni setelah mereka sempurna mencapai usia tersebut dan mumayyiz.
Jika belum mumayyiz, maka tunggulah hingga mumayyiz. Dan pukullah meraka—dan
ini wajib, dengan pukulan yang tidak kuat apabila mereka meninggalkan shalat
saat mereka berusia sepuluh tahun, yakni setelah sempurna usia tersebut. Ini
adalah untuk melatih dan membiasakan mereka dengan shalat saat mereka sudah baligh nanti. Diakhirkannya tindakan “pukulan” adalah
karena ia merupakan sanksi/hukuman”.
Tentang hukuman bagi
mereka yang meninggalkan shalat dengan sengaja, para ulama berbeda pendapat,
sebagaimana yang dirangkum oleh Syekh Abadi; Menurut Imam Malik dan Syafi’I
mereka harus dibunuh. Makhul berkata: “diharapkan mereka bertobat, jika tidak
mau maka hukumnya dibunuh. Sependapat dengannya yaitu Himad ibn Yazid dan Waki’
ibn al-Jarah. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Abu Hanifah, bahwa orang
yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya tidak dibunuh, tetapi dipukul
dan dikurung. Menurut al-Zuhri, ia adalah orang fasik, dan hukumnya dipukul
dengan pukulan yang melukai dan dipenjarakan. Sebagian ulama lain, seperti
Ibrahim al-Nakhmi, Ayub al- Sakhtayani, Abdullah ibn al-Mubarak, Ahmad ibn
Hanbal, Ishaq ibn Rahawiyah, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat
tanpa uzur adalah kafir. Ahmad berkata:
“ Seseorang tidaklah kafir karena suatu dosa kecuali (dosa) orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja. Mereka berhujjah, bahwa shalat tidak sama
dengan ibadah-ibadah lainnya, dan tidak bisa dianalogikan, karena ia merupakan
kunci syari’at agama ini. Tidak ada agama tanpa shalat. [54]
Hukuman (pukulan) sebagai
Metode Pendidikan Islam
Dalam istilah psikologi, hukuman merupakan
cara yang digunakan pada waktu keadaan yang merugikan atau pengalaman yang
tidak menyenangkan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja menjatuhkan
orang lain. Secara umum disepakati bahwa hukuman merupakan ketidaknyamanan
(suasana tidak menyenangkan) dan perlakuan yang buruk atau jelek.[55]
Menurut Al-Ghazali, hukuman ialah suatu perbuatan di mana
seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan
untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan
rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran. Ia merupakan jalan
akhir apabila teguran, peringatan, dan nasehat-nasehat belum bisa mencegah anak
melakukan pelanggaran.[56]
Dalam pendidikan Islam, pemberiaan hukuman adalah dalam
rangka memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan atas dasar pembalasan atau
kepuasan hati. Oleh karena itu, hal yang harus diperhatikan ketika pemberian
hukuman adalah watak dan kondisi anak sebelum hukuman dijatuhkan, memberikan
penjelasan kepadanya tentang kekeliruan yang dilakukannya, memberinya semangat
untuk memperbaiki dirinya, dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan kealfaannya
ketika anak telah memperbaikinya.
Di samping itu, Hasan Fahmi, menjelaskan bahwa hukuman
mengandung tujuan positif, karena ia ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan
pengarahan, bukan atas dasar balas dendam. Oleh karena itu, pendidik harus
mengetahui tabi’at dan perangai anak sebelum mereka dihukum, sebagaimana juga
mereka memotivasi anak untuk aktif dalam memperbaiki kesalahan mereka sendiri,
serta melupakan kesalahan-kesalahan mereka dan tidak membeberkan rahasia
mereka.[57]
Dalam Islam, hukuman adalah sesuatu yang disyariatkan. dan
termasuk salah satu sarana pendidikan yang berhasil yang sesekali mungkin diperlukan
pendidik. Namun ada yang sangat berlebihan dalam menggunakan sarana ini,
sehingga membuat sarana itu berbahaya dan berakibat yang sebaliknya. Seperti
kita mendengar ada orangtua yang menahan anaknya beberapa jam dikamar yang
gelap jika melakukan kesalahan; ada juga yang mengikat anaknya jika berbuat
sesuatu hal yang mengganggunya. Hukuman bertingkat-tingkat, mulai dari pandangan
yang mempunyai arti hingga hukuman berupa pukulan. Pendidik mungkin perlu
menggunakan hukuman yang lebih dari pada sekedar pandangan yang memojokkan atau
kata-kata celaan bahkan mungkin terpaksa menggunakan hukuman berupa pukulan;
namun ini merupakan penyelesaian akhir, tidak diperlukan kecuali jika tidak ada
cara lain.
Menurut syeikh Yusuf Muhammad Hasan, ada beberapa kaidah
dalam penggunaan hukuman berupa pukulan antara lain; pertama, Tidak dipergunakan hukuman ini kecuali jika tidak
ada cara lain lagi. Kedua, pendidik
tidak baleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali, karena dikhawatirkan
akan membahayakan anak. Ketiga, tidak memukul pada bagian-bagian yang menyakitkan, seperti: wajah, kepala dan dada. Keempat, pukulan
pada tahap-tahap pertama hukuman
tidak keras dan tidak menyakitkan
serta tidak boleh lebih dari tiga
kali pukulan, kecuali bila terpaksa dan
tidak melebihi sepuluh kali pukulan. Kelima, tidak boleh dipukul anak yang berumur di bawah sepuluh tahun, dan Keenam, jika kesalahan anak baru pertama kali ia diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya. Juga dibuat
supaya ada penengah yang kelihatannya mengusahakan pemaafan baginya setelah
berjanji tidak mengulangi. Ketujuh,
hendaklah pendidik sendiri yang memukul anak, tidak menyerahkannya kepada salah
satu saudara atau temannya karena ini dapat menimbulkan kebencian dan
kedengkiannya terhadap anak lain yang ikut menghukumnya. Kedelapan, jika
anak menginjak usia dewasa dan pendidik berpendapat bahwa sepuluh kali pukulan
tidak cukup membuat jera anak, maka pendidik boleh menambahnya.
Disamping itu, Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, mengemukakan tiga hal
yang harus diperhatikan dalam memberikan hukuman fisik (jasmaniah) terhadap
anak, yaitu : [58] Pertama, sebelum
berumur 10 tahun, anak-anak tidak boleh dipukul. Kedua, pukulan tidak lebih dari 3 kali. Yang dimaksud dengan
pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan dengan
tongkat besar. Ketiga,
diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia
lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau
merusak nama baiknya (menjadikan ia malu).
F.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Hadis tentang
menyuruh anak shalat ketika berumur tujuh tahun …dari thuruq Abu Dawud
berstatus dha’if lizatih dan hasan lighairih. Status dha’ifnya
disebabkan oleh sanad hadisnya yang munqathi’,
karena sanad terakhir, yaitu kakek Amru ibn Syu’aib (Muhammad ibn Abdullah) tidak
liqa’ dengan Rasulullah saw, karena
ia adalah seorang tabi’in. Di samping itu, salah satu sanadnya yang bernama
Amru ibn Syu’aib banyak di jarh oleh
para ulama.
Kemudian statusnya sebagai hasan
lighairihi disebabkan oleh adanya jalur lain yang status hadisnya shahih.
2.
Hadis ini
adalah salah satu hadis yang bertemakan pendidikan. Ia menjelaskan kapan
seharusnya orang tua mulai mendidik dan mengajari anaknya shalat. Umur tujuh
tahun yang ditetapkan oleh Rasulullah sebagai awal dimulainya hal itu
disebabkan masa itu adalah masa tamyiz; masa di mana seorang anak mulai bisa
membedakan yang baik dan buruk, perintah dan larangan. Adapun umur sepuluh
tahun merupakan batas waktu dimana seorang anak tidak lagi boleh meninggalkan
shalat. Ia merupakan waktu di mana anak mulai mendekati masa
baligh.
3.
Pukulan salah
satu bentuk metode/cara mendidik anak. Ia merupakan hukuman bagi anak yang
dengan sengaja meninggalkan shalat. Namun, hal tersebut oleh para ulama
dianggap sebagai langkah terakhir yang harus ditempuh oleh seorang pendidik,
dan karenanya, para ulama memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika
menggunakan metode tersebut.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abadi, Abi al-Thayib Muhammad Syams
al-Haq al-‘Azhim. t.th.‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Madinah.
Abdullah al-Hamrani, al-Dur al-Mantsur, Juz 3.
Abu al-Fadhl , Muhammad al-Alusi. t.th. Ruh
al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-‘Azhim wa al-Sab’I al-Matsani,Juz VI, Beirut, Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi.
AJ. Wensinck. 1939. Mu’jam al-Mufakhrasy li Alfazh
al-Hadits al-Nabawiy, Jilid 7, Ed.
Mohd. Fu’ad Abd. al-Baqi’, EJ. Brill, Leiden.
Al-Baghawi, Al-Husain ibn Mas’ud. 1983. Syarh
al-Sunnah li Imam al-Baghawi, Juz II, Beirut, Al-Maktab al-Islami.
Al-Baihaqi, Abu
Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali.t,th. Al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz
3, Haidar Abadf, Majlis Dairah al-Ma’arif.
Al-Dar
al-Quthni al-Baghdadi, Ali ibn Umar Abu al-Hasan. 1966. Sunan al-Dar al-Quthni,
Juz 1, Beirut, Dar al-Ma’rifah.
Al-Darimi,
Abdullah ibn Abdurrahman Abu Muhammad. t.th. Sunan al-Darimi, Beirut:
Dar al-Kitab al-Arabi.
Al-Hasan,
Syaikh Yusuf Muhammad. t.th. Pendidikan Anak dalam Islam (terj.), t.tp., Maktabah Abu Salmah al-Atsari.
Al-Khatabi
al-Busti, Abi Sulaiman Hamd ibn Muhammad. 1932.
Ma’alim al-Sunan Syarh Sunan al-Imam Abi Dawud, Halb. t.p.
Al-Mazzi. 1992. Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal,
Jilid 22 , Beirut, Muassasah al-Risalah.
Al-Mazzi. 1992.
Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Jilid 12, Beirut,
Muassasah al-Risalah.
Al-Mazzi. 1992.
Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Jilid 29, Beirut, Muassasah al-Risalah.
Al-Mazzi. 1992.
Tahzib al-Kamal fi Asma’ Rijal, Jilid 12, Beirut, Muassasah al-Risalah.
Al-Minawi, Zainuddin Abdurra’uf. 1988. al-Taisir bi Jam’i Jami’ al-Shaghir, jld. 1, Riyad, Maktabah Imam Syafi’i.
Al-Sajastani. Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats. t.th., Sunan
Abi Dawud, Beirut, Dar al-Kitab.
Al-Thabari.
2000. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil
al-Quran, Juz 23, Beirut, Muassasah
Al-Risalah.
Al-Turmuzi,
Muhammad Isa Abu Isa. t.th. Sunan al-Turmuzi, (Beirut: Dar Ihya’
al-Turas al-Arabi.
Al-Zahabi, Abi
Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman. t.th. Mizan al-I’tidal fi naqd
al-Rijal, Jilid 2, Beirut, Dar al-Ma’rifah.
Fahmi, Asma
Hasan. 1979. Sejarah Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta,
Bulan Bintang.
Ibn ‘Ied,
Syaikh Salim. 2005. Syarah Riadhush
Shalihin, Jakarta, Pustaka Imam
Asy-Syafi’i.
Ibn Hajar. t.th. Taahzib
al-Tahzib, Juz 3, Beirut: Muassasah al-Risalah.
Ibn Hanbal,
Ahmad. t.th. Musnad al-Imam Ahmad ibn
Hanbal, Juz 11, Beirut, Muassasah
al-Risalah.
Ibn Hanbal,
Ahmad. t.th. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Beirut, Muassasah
al-Risalah.
Ibn Thala’at ,
Muhammad. 2004. Al-Tazyil ‘la Tahzib
al-Tahzib, Riyad, Maktabah Aswa’ al-Salaf.
Ibn Hajar
al-‘Asqalani. t.th. Tahzib al-Tahzib, Juz 2, Beirut, Muassasah al-Risalah.
Ibn Hajar al-‘Asqalani. t.th. Taqrib
al-Tahzib, t.t., Dar al-Ashimah.
Mas’ud,
Abdurrahman. 1999. Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam,
Jurnal Media, Edisi 28.
Mughlathai,
‘Ala’ al-Din. 2000. Ikmal Tahzib
al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Jilid 2, Kairo, Al-Faruq al-Hadis.
Mughlathai,
‘Ala’ al-Din. 2000. Ikmal Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Jilid 10
, t.tp, Al-Faruq al-Hadis.
Mughlathai.
t.th.Ikmal Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, jilid 6, t.t: al-Faruq
al-Haditsah.
Zainuddin, dkk. 1991. Seluk Beluk
Pendidikan Al-Ghazali, Jakarta, Bumi
Aksara.
[1]
Syaikh Yusuf Muhammad al-Hasan, Pendidikan
Anak dalam Islam (terj.), (t.tp.: Maktabah Abu Salmah al-Atsari, t.th.),
hal. 11
[3] Al-Thabari, Jami’
al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, Juz 23, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2000),
hal 491.
[6]
AJ. Wensinck, Mu’jam al-Mufakhrasy li Alfazh al-Hadits al-Nabawiy, Jilid
7, Ed. Mohd. Fu’ad
Abd. al-Baqi’, EJ. Brill, Leiden, 1936, hlm. 316.
[7]
Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Dawud,
(Beirut: Dar al-Kitab, t.th.), hal. 186.
[8]
AJ. Wensinck, Mu’jam al-Mufakhrasy li Alfazh al-Hadits al-Nabawiy, Jilid
3, Ed. Mohd. Fu’ad
Abd. al-Baqi’, EJ. Brill, Leiden, 1936, hlm. 346.
[9] Muhammad Isa Abu Isa al-Turmuzi, Sunan
al-Turmuzi, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-Arabi, t.th.), hal. 259.
[10]
AJ. Wensinck, op. cit.
[11]
Abdullah ibn Abdurrahman Abu Muhammad al-Darimi, Sunan al-Darimi, juz
1 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi), hal. 393.
[12]
Maktabah al-Syamilah
[13]
Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra li
al-Baihaqi, juz 3, (Haidar Abadf: Majlis Dairah al-Ma’arif, t.th.), hal.
83.
[15]
Ahmad
ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz 11, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, t.th.), hal. 284.
[16]
Ali ibn Umar Abu al-Hasan al-Dar al-Quthni al-Baghdadi, Sunan al-Dar
al-Quthni, Juz 1, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966), hal. 230.
[21] Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi (selanjut
disebut al-Mazzi), Tahzib al-kamal fi
Asma’ al-Rijal, Jilid 25, ( Beirut: Muassasah al-risalah, 1992), hal. 514.
[22] Abi al-Fadhl Ahmad ibn Ali ibn Hajr Syihabuddin
al-Asqalani al-Syafi’I (selanjut disebut Ibn Hajar al-Asqalani), Tahzib al-Tahzib, Juz 3 (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1992), hal. 611.
[25] Abi Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi
(selanjutnya disebut al-Zahabi), Mizan
al-I’tidal fi naqd al-Rijal, Jilid 3, (Beirut : Dar al-ma’rifah, t.th.),
hal. 594.
[26] Al-Mazzi, Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Jilid
12 (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1992), hal. 534-535.
[29] Mughlathai, Ikmal Tahzib al-Kamal fi Asma’
al-Rijal, jilid 6, (t.t: al-Faruq al-Haditsah, t.th.), hal.281. Lihat juga:
Ibn Hajar, Tahzib al-Tahzib, Juz 2, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
t.th), hal. 185,
[32] Al-Mazzi, Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Jilid
22 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), hal. 64-65, dan 74.
[36]
Lihat: ‘Ala’ al-Din Mughlathai,
Ikmal Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Jilid 10 ( t.tp: Al-Faruq
al-Hadis, 2000), hal. 189.
[38] Al-Mazzi, Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Jilid
12, ( Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), hal. 236.
[40] Al-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi naqd al-Rijal,
Jilid 2, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t,th.), hal. 245.
[41] Al-Mazzi, Tahzib al-Kamal fi Asma’ Rijal, Jilid 12,
( Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), hal.237.
[42] Lihat: Muhammad ibn Thala’at, Al-Tazyil ‘la Tahzib
al-Tahzib, (Riyad: Maktabah Aswa’ al-Salaf, 2004), hal. 164.
[43]
Mughlathai, Ikmal Tahzib al-Kamal
fi Asma’ al-Rijal, Jilid 2, (Kairo: Al-Faruq al-Hadis, 2000), hal. 145-147.
[44]
Lihat: Al-Mazzi, Tahzib al-Kamal
fi Asma’ al-Rijal, Jilid 29, ( Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992),
hal.186-187.
[48] Dalam
konteks ini ada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Harts ibn Abi Usamah dan
al-Thabrani dari Anas, bahwa Rasulullah bersabda:”Apabila anak telah mengetahui
(membedakan) kanan dan kiri maka suruhlah mereka shalat. Lihat: Abdullah
al-Hamrani, al-Dur al-Mantsur, Juz 3, hal. 69.
[49] Syaikh Salim ibn ‘Ied, Syarah Riadhush Shalihin,
(Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2005), hal. 675.
[50] Lihat: (Muhammad al-Alusi
Abu al-Fadhl, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-‘Azhim wa al-Sab’I
al-Matsani,Juz VI, (Beirut: Dar
Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, t.th.), hal. 284
[51] Abi Sulaiman Hamd ibn Muhammad al-Khatabi al-Busti, Ma’alim
al-Sunan Syarh Sunan al-Imam Abi Dawud, (Halb: t.p., 1932), hal.149-150.
[52] Al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah li Imam al-Baghawi,
Juz II, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1983), hal. 407.
[53] Zainuddin Abdurra’uf al-Minawi, al-Taisir bi Jam’i Jami’
al-Shaghir, jld. 1 (Riyad: Maktabah Imam Syafi’I, 1988),
hlm. 726)
[54] Lihat : Abi al-Thayib Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim
Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, (Madinah: t.p, t.th.), hal.
163
[55] Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment
dalam Pendidikan Islam, Jurnal Media, Edisi 28, November, 1999, hal. 23.





0 komentar