FIQH MU'AMALAH

08.59



PENGERTIAN, PEMBAGIAN, RUANG LINGKUP, DAN PRINSIP-PRINSIP FIKIH MUAMALAH SERTA PRINSIP DASAR BERMUAMALAH












PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya. Salah satu bentuk ciri manusia yang membutuhkan manusia lain adalah adanya perkembangan perkonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, tingkah laku antar sesama manusia, moral dan lain sebagainya. Perkembangan ekonomi yang pesat menjadi bukti bahwa setiap manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan. Islam berusaha mengiringi nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah dan etika. Ini berarti kegiatan ekonomi tidak semata-mata berbasis materi saja, namun juga terdapat sandaran yang bersifat menonjolkan kerohanian sehingga bernilai ibadah.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Allah SWT mengatur hubungan lahir antara manusia dengan Allah SWT dalam rangka menegakkan hablum minallah dan hubungan antara sesama manusia dalam rangka menegakkan hablum minannas. Apabila kita cermati dengan sederhana, maka hubungan manusia dengan Allah dikaji dalam ilmu Fikih Ibadah. Sementara itu, hubungan antar sesama manusia dikaji dalam ilmu Fikih Muamalah.
Fikih muamalah dimaknai sebagai suatu pengetahuan tentang kegiatan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari berdasarkan syariat Islam. Pembahasan dalam fikih muamalah menjadi penyeimbang dalam pembahasan fikih ibadah. Jika fikih ibadah membahas tentang bagaimana hubungan manusia dengan Allah, maka fikih muamalah membahas bagaimana membangun hubungan antar sesama manusia (dalam arti luas). Karena di dalam Islam segala hal telah diatur sedemikian rupa, maka hubungan antar sesama manusia bisa bernilai ibadah apabila dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah.
Dikerenakan luasnya bahasan mengenai fikih muamalah ini, maka perlu kiranya kami membatasi masalah yang akan kami bahas. Adapun pembahasan dalam makalah ini secara garis besar mencakup defenisi, pembagian, ruang lingkup, dasar dan prinsip-prinsip fikih muamalah.
A.  Pengertian Fikih dan Fikih Muamalah
1.      Pengertian Fiqh
Fikih Muamalah terdiri dari dari dua kata, yaitu fikih dan muamalah. Untuk memahami definisi fikih muamalah, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian fikih. Menurut Abdul Wahab Khallaf sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich bahwa secara etimologis fikih berasal dari kata faqiha, yafqahu, fiqhan yang berarti mengerti atau memahami.[1] Kata fiqh –selanjutnya dalam bahasa Indonesia ditulis fikih- dan tafaqquh keduanya memiliki makna yang sama yaitu “pemahaman yang dalam”.[2] Lebih rinci lagi Abuddin Nata mengemukakan arti daripada kata faqiha, yafqahu, fiqhan yaitu to understand (memahami), comprehend (memahami, mengerti), to have knowledge (mendapatkan pengetahuan), have legal knowledge (mendapat pengetahuan tentang hukum), to teach (mengajar), instruct (mengajar), to study the fiqh (mempelajari fikih), to the acquisition of knowledge (menguasai pengetahuan), to gain information (mendapatkan berita), get a clear picture (mendapatkan gambaran-gambaran yang jelas), dan obtain a clear ideas (mendapatkan pemikiran yang jelas).[3] Apabila dijadikan kata kerja, maka fikih berarti memikirkan, mempelajari, dan memahami. Orang yang memahami syariat Islam disebut dengan faqih dan apabila banyak disebut fuqaha.
Rachmat Syafe’i menjelaskan bahwa fikih adalah paham (الفَهْمُ) seperti yang dijelaskan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori sebagai berikut.
مَنْ يُرِدِ اللّٰهَ بِهِ خَيْرًا يُفَقَهْهُ فِى الدِّيْنِ.
Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik di sisi-Nya, niscaya diberikan kepada-Nya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.[4]
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Tihami dan Sohari Sahrani dalam kajian ilmu fikih munakahat mengatakan bahwa secara etimologis kata fikih berakar pada kata atau huruf faqaha (فقه) yang menunjuk kepada “maksud tertentu” atau “ilmu pengetahuan”, dalam bahasa Arab dikatakan sebagai  العِلْمُ بِالشَئِ مَعَ الْفَهْمِ (mengetahui sesuatu dengan mengerti).[5] Dengan memahami sesuatu hal misalnya ilmu pengetahuan secara mendalam (benar-benar mengerti) maka akan mengantarkan seseorang pada suatu maksud tertentu yaitu sebuah kesimpulan yang menjadi esensi daripada pemahaman secara mendalam.
Kemudian, Rasyid Ridha sebagaimana dikutip H.A. Wahab Afif dalam Tihami dan Sohari Sahrani mengemukakan bahwa di dalam al-Qur’ân banyak disebutkan kata fiqh, yaitu “paham yang mendalam dan amat luas terhadap segala hakikat”, yang dengan fiqh itu seorang alim menjadi ahli hikmah (filosof) pengamal dan mempunyai sikap teguh.[6] Pengertian fikih tersebut dapat ditemukan dalam al-Qur’ân dan Hadis Nabi SAW beberapa di antaranya sebagai berikut.
قَالُواْ يَٰشُعَيۡبُ مَا نَفۡقَهُ كَثِيرٗا مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَىٰكَ فِينَا ضَعِيفٗاۖ وَلَوۡلَا رَهۡطُكَ لَرَجَمۡنَٰكَۖ وَمَآ أَنتَ عَلَيۡنَا بِعَزِيزٖ ٩١
Mereka berkata: "Hai Syu´aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami" . (Q.S. Hud [11]: 91)[7]
فَمَالِ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثٗا ٧٨
Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)? (Q.S. An-Nisa’ [4]: 78)[8]
ٱنظُرۡ كَيۡفَ نُصَرِّفُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَفۡقَهُونَ ٦٥
Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya). (Q.S. Al-An’am [6]: 65)[9]
قَدۡ فَصَّلۡنَا ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَفۡقَهُونَ ٩٨
“Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui”. (Q.S. Al-An’am [6]: 98)[10]
Dengan memahami beberapa ayat al-Qur’ân di atas, terlihat jelas bahwa fikih berkaitan dengan bidang pemikiran atau bidang kerja akal pikiran yang sifatnya mendalam dan comprehensive. Abuddin Nata menyebut seseorang faqih yang senantiasa berpikir mendalam disebut dengan istilah mujtahid.[11]
Beberapa ayat al-Qur’ân juga menjelaskan bahwa arti fikih secara leksikal adalah pemahaman. Sedangkan objek yang dipahami bersifat umum, bisa berupa kalimat yang digunakan dalam komunikasi, ciptaan Allah, tubuh manusia dan sebagainya. Semua diseru oleh Allah untuk dipahami oleh manusia. Sebagaimana Allah contohkan dalam ayat berikut ini.
وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَعِبٞ وَلَهۡوٞۖ وَلَلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٣٢
Artinya: Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S. Al An'am [6]: 32)[12]
Adapun pengertian fikih secara terminologis adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci.[13] Menurut Ibnu As-Subki sebagaimana dikutip Abd. Rahmad Dahlan, definisi fikih adalah sebagai berikut.
.العِلْمُ بِالقَوَاعِدِالَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى إِسْتِنْبَاطِ الأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَفْسِلِيَّةِ
Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara’ yang spesifik.[14]
Sedangkan definisi fikih menurut Ibnu Al-Hajib, sebagaimana dikutip Ibnu Qudamah dalam sumber yang sama adalah sebagai berikut.
.العِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ الفَرْعِيَّةِ عَنْ أَدِلَّتِهَا التَفْسِلِيَّةِ بِالإِسْتِدْلَالِ
Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat parsial, yang berasal dari dalil-dalil yang spesifik, melalui cara penelitian terhadap dalil.[15]
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Ahmad Hanafi sebagaimana dikutip Tihami dan Sohari Sahrani, mengemukakan bahwa fikih menurut istilah ialah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.[16]
Beberapa pengertian lain sebagaimana dikutip Abuddin Nata tentang fikih adalah sebagai berikut.
1.      Sobhi Mahmasanni, fikih berarti ilmu hukum atau syariat, dan orang yang ahli dalam ilmu ini disebut faqih. Selain itu, fikih juga berarti ilmu untuk mengetahui masalah-masalah hukum secara praktis. Selanjutnya fikih juga berarti ilmu untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukum far’i (cabang) dari syariat yang diperoleh dari dalil-dalil perincian syariat,
2.      Abu Ishaq, sebagaimana dikutip oleh Nasaruddin Razak, fikih adalah memahami apa yang tersirat. Kemudian definisi yang diperkembangkan dalam ilmu hukum Islam, fikih berarti ilmu tentang hukum Islam yang disimpulkan dengan jalan rasio berdasarkan alasan-alasan terperinci,
3.      Murthada Muthahhari, bahwa menurut terminologi al-Qur’ân dan as-Sunah, fikih ialah pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perintah-peritnah dan realitas Islam, dan tidak mempunyai relevansi khusus dengan definisi tertentu. Namun demikian, menurut termiolgi ulama, kata ini secara perlahan menjadi khusus diaplikasikan pada permasalahan mendalam tentang hukum-hukum Islam.[17]
Kemudian Syihab al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi juga mengemukakan pengertian fikih secara terminologis sebagaimana dikutip Firdaus yaitu sebagai berikut.
الفقه فى الإ صطلاح هوالعلم بالأحكام الشرعية العملية بااستدلال.
Mengetahui tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah berdasarkan dalil.[18]
Kalangan Syafi’iyyah mendefinisikan fikih sebagai berikut.
الفقه فى الإ صطلاح هوالعلم بالأحكام الشرعية العملية بااستدلال.
Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat amaliyah, diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci.[19]
Tak kalah tertinggal, kalangan Hanafiyyah juga mendefinisikan fikih yaitu sebagai berikut.
الفقه هومعرفة النفس مالهاوماعليها.
Fiqh adalah pengetahuan seseorang tentang apa yang menjadi hak dan kewajibannya.[20]
Kalangan Syafi’iyyah Muta’akhirin seperti imam al-Ghazali memberikan pengertian fikih sebagai berikut.
الفقه هوالاصل فيه العلم بأمورالأخره.
Fiqh adalah sumber bagi ilmu tentang akhirat.[21]
2.      Pengertian Mu’amalah
Dari segi etimologi kata muamalah berasal dari kata ‘amala, yu’amilu, mu’amalatan. Menurut Abdussattar Fathullah Sa’id sebagaimana dikutip Fathurrahman Jamil, secara bahasa Arab kata muamalah sama dan semakna dengan kata mufa’alah berasal dari kata fa’ala, yufa’ilu, mufa’alatan, yang artinya saling berbuat, saling bertindak, dan saling beramal (kegiatan atau pekerjaan).[22] Saling berbuat, bertindak, dan beramal erat kaitannya dengan aktivitas sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, misalnya jual beli. Aktifitas jual beli merupakan aktifitas rutin masyarakat karena di dalamnya ada beberapa kegiatan seperti adanya interaksi, adanya ketergantungan, dan adanya tindakan yang saling menguntungkan antara penjual dan pembeli. Maka dari itu, benarlah bahwa Ibrahim Unais dkk. sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich memberikan pengertian muamalah berasal dari kata ‘amala, yu’amilu, dan muamalatan yang memiliki arti “melakukan interaksi dengan orang lain dalam jual beli dan sebagainya”.[23]
Hal senada juga dikemukakan oleh Sulaiman Rasjid bahwa muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan, seperti jual beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.[24] Dalam pengertian yang lain, A. Marson Munawir sebagaimana dikutip Mardani mengemukakan bahwa muamalah secara etimologis yaitu perlakuan hubungan kepentingan seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya.[25]
Kemudian, secara terminologis Yafie mengungkapkan pengertian muamalah sebagaimana dikutip Rois Mahfud yaitu interaksi manusia dalam mewujudkan kepentingannya masing-masing dalam pergaulan hidupnya sehari-hari, seperti jual-beli, utang-piutang, gadai-menggadai, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, berdagang, berbagi hasil usaha, pengairan pertanian, dan lain sebagainya.[26] Ahli fiqh Mustofa Ahmad az-Zarqa sebagaimana dikutip Gufron dalam Abdulloh Arief Cholil mengemukakan pengertian muamalah secara lebih sempit yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan sesama manusia dalam urusan kebendaan, hak-hak kebendaan, serta penyelesaian perselisihan di antara mereka.[27]
Hendi Suhendi membagi pengertian muamalah secara terminologis menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti sempit dan pengertian muamalah dalam arti luas. Definisi muamalah dalam arti luas dapat dijelaskan oleh beberapa para ahli sebagai berikut.
1.      Al Dimyati
التَّحُصِيْلُ الدُّنْيَوِي لِيَكُوْنَ سَبَبًا لِلأَخِرِ
Muamalah adalah menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi.[28]
2.      Muhammad Yusuf Musa, berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.[29]
3.      Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.[30]
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Ahmad Wardi Muslich berpendapat bahwa dalam arti luas muamalah mencakup semua jenis hubungan antara manusia dengan manusia dalam segala bidang.[31]
Kemudian, pengertian muamalah dalam arti sempit dapat dijelaskan seperti di bawah ini oleh beberapa para ahli yaitu sebagai berikut.
1.      Hudlari Byk
المُـعَـامَـلَاتُ جَـمِيْـعُ الْـعُـقُـوْدِالَّـتِى بِـهَا يَـتَـبَـادَلُ مَـنَـا فِـعُـهُـمْ
Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya.[32]
2.      Idris Ahmad
Muamalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.[33]
3.      Rasyid Ridha
Muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.[34]
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil persamaan antara pengertian muamalah dalam arti sempit dengan pengertian muamalah dalam arti luas, yaitu sama-sama mengatur hubungan antar sesama manusia. Sedangkan perbedaan pengertian muamalah dalam arti sempit dengan pengertian muamalah dalam arti luas adalah dalam cakupannya.
Jika kata fikih dihubungkan dengan perkataan muamalah, maka menjadi fikih muamalah. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa fikih muamalah adalah aturan-aturan Allah yang bersifat praktis yang ditujukan kepada manusia untuk mengatur kehidupannya yang berkaitan dengan urusan duniawi dan interaksi sosial kemasyarakatan yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci. Fikih muamalah merupakan kumpulan hukum yang ditetapkan dengan tujuan untuk terciptanya rasa aman, tegaknya undang-undang dalam negara atau masyarakat Islam, terwujudnya keadilan dan persamaan antar individu, menjaga hak-hak manusia dan lain sebagainya.[35]

B.     Pembagian Fikih Muamalah
Menurut Ibn ’Abidin sebagaimana dikutip Hendi Suhendi, fikih mamalah terbagi menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut.
1.      Mu ‘awadlah Maliyah (Hukum Kebendaan),
2.      Munakahat (Hukum Perkawinan),
3.      Muhasanat (Hukum Acara),
4.      Amanat dan ‘Aryah (Pinjaman),
5.      Tirkah (Harta Peninggalan).[36]
Sedangkan al-Fikri dalam kitabnya, “Al-Muamalah al-Madiyah wa al-Adabiyah” sebagaimana dikutip Rachmat Syafe’i menyatakan bahwa muamalah dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut.
1.      Al-Muamalah al-madiyah adalah muamalah yang mengkaji objeknya sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah adalah bersifat kebendaan karena objek fikih muamalah adalah benda yang halal, haram dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang memadaratkan dan benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, serta segi-segi lainnya.
2.      Al-Mu’amalah al-abadiyah ialah muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indra manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban, misalnya, jujur, hasud, dengki, dendam.[37]
Muamalah madiyah yang dimaksud di atas ialah aturan-aturan yang ditinjau dari segi objeknya. Oleh karena itu, jual beli benda bagi Muslim bukan hanya sekedar memperoleh untung yang sebesar-besarnya, tetapi bertujuan untuk memperoleh ridha Allah. Sedangkan muamalah al-adabiyah ialah aturan-aturan Allah yang wajib diikuti dilihat dari segi subjeknya. Muamalah adabiyah ini mencakup keridaan kedua belah pihak, ijab kabul, dusta, menipu dan yang lainnya.
 
C.     Ruang Lingkup Fiqh Muamalah
Menurut Mukhtar Yahya sebagaimana dikutip Muhammad dalam Rois Mahfud mengemukakan bahwa ruang lingkup pembahasan fikih muamalah bersifat dinamis mengikuti perkembangan hukum positif, yaitu sebagai berikut.
1.      Hukum keluarga (akhwalus syakhsiyah), hukum yang berkaitan erat dengan kekeluargaan. Tujuan hukum ini untuk mengatur hubungan kehidupan suami istri, anak keturunan, dan kerabat satu dengan yang lain.
2.      Hukum privat (akhkamul al-madaniyah), hukum yang mengatur hak manusia satu sama lain dalam tukar-menukar kebendaan dan manfaat seperti dalam jual-beli, transaksi, sewa-menyewa, dan lain sebagainya. Hukum ini bertujuan untuk mengatur hak kebendaan setiap orang, memlihara, melindungi, dan memanfaatkannya.
3.      Hukum pidana (akhkamul jinaiyah), yaitu hukum yang berhubungan dengan tindak pidana dan sanksi-sanksinya. Tujuan hukum ini ialah untuk memelihara kehidupan manusia, harta benda, kehormatan, dan hak-hak mereka.
4.      Hukum perundang-undangan (akhkamul dauliyah), hukum yang membicarakan tentang asal dan tata cara pembuatan undang-undang dengan tujuan utama untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
5.      Hukum ekonomi dan keuangan (akhkamul iqtishadiyah-mâliyah), hukum yang mengatur tentang masalah-masalah ekonomi dan keuangan baik yang terkait dengan pemasukan maupun pengeluarannya, hak-hak fakir miskin terhadap harta kekayaan, dan lain sebagainya.
6.      Hukum internasional (akhkamul dauliyah), hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara Islam dengan negara-negara lain dalam hal perdamaian, keamanan, kerjasama ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya, serta mengatur muamalah antara warga negara Islam dan non-Islam yang berada dalam wilayah kekuasan Isalm.[38]
Berbeda dengan pendapat di atas, beberapa tokoh membagi ruang lingkup fikih muamalah menjadi dua, yaitu ruang lingkup fikih muamalah yang bersifat adabiyah dan ruang lingkup fikih muamalah yang bersifat madiyah.
1.      Ruang lingkup fikih muamalah yang bersifat adabiyah meliputi ijab dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaraan harta dalam hidup bermasyarakat.[39]
2.      Rang lingkup fikih muamalah yang bersifat madiyah meliputi segala aspek kegiatan ekonomi manusia sebagai berikut.
a)            Harta, hak milik, fungsi uang, dan ‘uqud (akad-akad),
b)            Buyu’ (tentang jual beli),
c)            Ar-Rahn (tentang pegadaian),
d)            Hiwalah (pengalihan utang),
e)            Ash-shulhu (perdamaian bisnis),
f)             Adh-dhaman (jaminan, asuransi),
g)            Syirkah (tentang perkongsian),
h)            Wakalah (tentang perwakilan),
i)              Wadi’ah (tentang penitipan),
j)              ‘ariyah (tetntang peminjama,n)
k)            Ghasab (rampasan harta orang lain dengan tidak sah),
l)              Syuf’ah (hak diutamakan dalam syirkah atau sepadan tanah),
m)          Mudharabah (syirkah modal dan tenaga),
n)            Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun),
o)            Muzara’ah (kerja sama pertanian),
p)            Kafalah (peminjaman [agunan utang]),
q)            Taflis (jatuh bangkrut),
r)             Al-hajru (batasan bertindak),
s)             Ji’alah (sayembara, pemberian),
t)             Qoradh (pinjaman),
u)             Ba’i murabahah,
v)             Ba’i salam,
w)          Bai’ istishna’,
x)            Ba’i muajjal dan ba’i taqsit,
y)            Ba’I sharf dan transaksi valas,
z)            ‘urbun (panjar/DP),
aa)         Ijarah (sewa-menyewa),
bb)        Riba, konsep uang, dan kebijakan moneter,
cc)         Shukuk (surat utang atau obligasi),
dd)        Faraidh (warisan),
ee)         Luqathah (barang tercecer/barang temuan),
ff)           Wakaf,
gg)         Hibah,
hh)        Wasiat,
ii)            Iqrar (pengakuan),
jj)            Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan ghanimah),
kk)        Qism  ash –shadaqat (tentang pembagian zakat),
ll)            Ibrak (pembebasan utang),
mm)    Muqasah (discount),
nn)        Kharaj, jizyah, Dharibah, Ushur (pajak),
oo)        Baitul mal dan jihbiz (perbankan),
pp)        Kebijakan fiskal Islam,
qq)        Prinsip dan perilaku konsumen,
rr)           Prinsip dan perilaku produsen,
ss)          Keadilan distribusi,
tt)           Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh),
uu)         Jual beli gharar, ba’i najasi, ba’i al-‘inah, ba’i wafa, mu’athah, fudhuli,
vv)        Ihtikar dan monopoli,
ww)     Pasarmodal Islam dan reksadana,
xx)         Asuransi Islam, bank Islam, pengadaian, MLM (Mukti Level Marketing),
yy)         Barang tambang (ma’din),
zz)         Ath’imah (makanan) yang halal dan haram,
aaa)     Ihyaul mawat (menghidupkan lahan mati),
bbb)    Sabq (perlombaan),
ccc)     dan ashullu (perdamaian sengketa bisnis dan arbittrase syariah).[40]
Tokoh lain, Abdulloh Arief Cholil dkk memiliki pandangan berbeda. Mereka membagi ruang lingkup muamalah menjadi dua bagian yaitu aspek privat dan aspek publik. Aspek privat meliputi mâliyah (harta benda) dan ahwal asy-syakhsiyah (masalah keluarga). Sementara aspek publik muamalah mencakup antara lain jinâyah (hukum pidana) dan ahkam as-sultâniyah (hukum tata negara).[41]
D.    Prinsip-Prinsip Fikih Muamalah dan Prinsip Dasar Bermuamalah
Ada beberapa prinsip dasar dalam muamalah yang menjadi acuan dan pedoman secara umum untuk kegiatan bermuamalah yaitu sebagai berikut.
1.      Muamalah adalah Urusan Duniawi
Muamalah berbeda dengan ibadah. Dalam ibadah, semua perbuatan dilarang kecuali yang diperintahkan. Oleh karena itu, semua perbuatan yang dikerjakan harus sesuai dengan tuntutan yang diajarkan oleh Rasullullah SAW dalam ibadah, kaidah yang berlaku adalah sebagai berikut.
اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَاداتِ التَّوقِيْفُ وَالْإتِّبَاعُ
Pada dasarnya dalam ibadah harus menunggu (perintah) dan mengikuti.[42]
            Kaidah ini sejalan dengan kaidah lain yaitu:
اَلْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْـبُـطْلَانُ حَـتَّـى يَـقُـومَ دَلِـيْـلٌ عَـلَى الْأمْـرِ
Pada dasarnya dalam ibadah, semuanya batal, sehingga ada dalil yang memerintahkannya.[43]
            Sebaliknya, dalam muamalah, semuanya boleh kecuali yang dilarang. Muamalah atau hubungan dan pergaulan antara sesama manusia di bidang harta benda merupakan urusan duniawi, dan pengaturannya diserahkan kepada manusia itu sendiri. Oleh karena itu, semua bentuk akad dan berbagai cara transaksi yang dibuat oleh manusia hukumnya sah dan dibolehkan, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara’. Hal tersebut sesuai dengan kaidah:
اَلْـمُـعَـامَـلَاتُ طَـلْقٌ حَـتَّـى يَـثْـبُـتَ الْـمَـنْـعُ
Muamalah itu bebas sehingga ada larangan.[44]
Kaidah-kaidah tersebut bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas dan ‘Aisyah RA bahwa Rasullullah SAW bersabda:
اَنْـتُـمْ أَعْـلَـمُ بِـأَمْـرِدُنْـيا كُم
Kamu sekalian lebih tahu tentang urusan duniamu.[45]
Dari hadis di atas dapat diketahui bahwa urusan dunia termasuk ke dalam muamalah. Islam memberi kebebasan untuk mengatur urusan dunia, dengan syarat tidak melanggar ketentuan syara’ yang telah ditentukan.
Menurut Jamal al-Din Athiyah prinsip di atas dapat dipahami seperti berikut ini.
a)      Untuk menetapkan kebolehan suatu bentuk muamalah tidak diperlukan mencari dasar hukum (al-Qur’ân dan Sunah) karena hukum asalnya adalah boleh (mubah), bukan haram.
b)      Keterangan tekstual (nash) dalam al-Qur’ân dan Sunah tentang muamalah tidak dimaksudkan sebagai pembatasan dalam menciptakan bentuk-bentuk muamalah baru yang tidak termuat di dalam al-Qur’ân dan Sunah.
c)      Dalam menciptakan bentuk-bentuk muamalah baru, untuk menentukan kebolehannya, tidak perlu dianalogkan dengan bentuk muamalah yang telah dijelaskan dalam nash.
d)      Di samping itu, untuk menentukan kebolehan juga tidak perlu dianalogkan (ilhaq) dengan suatu pendapat hukum Islam hasil ijtihad, atau dengan beberapa bentuk muamalah yang telah ada dalam literatur hukum Islam, termasuk tidak diperlukan penggabungan beberapa pendapat.
e)      Ketentuan satu-satunya yang harus diperhatikan dalam menentukan kebolehan muamalah baru adalah “tidak melanggar nash yang mengharamkan, baik nash al-Qur’ân maupun Sunah”.
f)       Oleh karena itu, hal yang harus dilakukan ketika membuat sebuah muamalah baru adalah meneliti dan mencari ­nash-nash yang mengharamkannya, bukan nash yang membolehkannya.[46]
2.      Muamalah Harus Didasarkan Kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua Belah Pihak
Persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi merupakan asas yang sangat penting untuk keabsahan setiap akad. Hal ini didasarkan firman Allah dalam Surah An-Nisa’ (4) ayat 29:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dari ayat ini dapat diambil suatu kesimpulan berupa suatu kaidah yang berlaku dalam bidang muamalah, yaitu kerelaan menjadi dasar hukum muamalah. Untuk menunjukkan adanya kerelaan dalam setiap akad atau transaksi dilakukan ijab dan qabul atau serah terima antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi.
3.      Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum
Dalam masalah muamalah, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum, dengan syarat adat tersebut diakui dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara’. Hal ini sesuai dengan kaidah:
اَلْـعَـادَةُ مُـحَـكَّـمَـةٌ
Adat kebiasaan digunakan sebagai dasar hukum.[47]
Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW yaitu:
مَارَأهُ الْـمُـسْـلِـمُوْنَ حَـسَـنًا فَـهُـوَ عِـنْدَاللهِ حَـسَـنٌ
Sesuatu yang oleh orang muslim dipandang baik, maka disisi Allah juga dianggap baik.[48]
4.      Tidak Boleh Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain.
Setiap transaksi dan hubungan perdata (muamalah) dalam Islam tidak boleh menimbulkan kerugian kepada diri sendiri dan orang lain. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, ad-Daruquthni, dan lain-lainnya dari Abi Sa’id al-Khudri RadiyaAllahhuanhu bahwa Rasullullah SAW bersabda:
لاَضَـرَوَلَاضِـرَارَ
Janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan orang lain.[49]
Dan hadist ini kemudian dibuatlah kaidah kulliyah yang berbunyi:
اَلـضَّـرَرُيُـزَالُ
Kemudharatan harus dihilangkan.[50]
5.      Muamalah Dilakukan Atas Dasar Kemaslahatan
Konsekuensi dari prinsip ini adalah segala bentuk muamalah yang dapat merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan. Misalnya judi, penjualan narkoba, prostitusi, dan sebagainya. Sesuatu dipandang Islam bermaslahat jika memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan bagi semua aspek kehidupan dan tidak menimbulkan mudharat atau kerugian.[51]
6.      Muamalah Dilakukan dengan Memelihara Nilai Keseimbangan dalam Pembangunan
Konsep keseimbangan dalam muamalah Islam meliputi berbagai aspek. Fathurrahman Djalil menyebutkan keseimbangan dalam pembangunan yang dimaksud adalah keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual; pengembangan sektor keuangan dan sektor riil; dan pemanfaatannya serta pelestarian sumber daya.[52]
7.      Muamalah Dilakukan dengan Memelihara Nilai Keadilan
Keadilan adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada pada yang berhak, serta memperlakukan sesuatu sesuai dengan posisinya. Fathurrahman Djalil mengungkapkan bahwa implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi adalah berupa prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba, dzalim, Maysir, Gharar, objek transaksi yang haram, dan lain sebagainya.[53]
Tokoh lain, seperti Mohammad Daud Ali sebagaimana dikutip Ahamd Wardi Muslich mengemukakan 18 prinsip yang menjadi asas-asas hukum Islam dibidang muamalah. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Asas kebolehan atau mubah,
b.      Asas kemaslahatan hidup,
c.       Asas kebebasan dan kesukarelaan,
d.      Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat,
e.       Asas kebijakan (kebaikan),
f.        Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat,
g.       Asas adil dan berimbang,
h.      Asas mendahulukan kewajiban dari hak,
i.        Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain,
j.        Asas kemampuan berbuat atau bertindak,
k.      Asas kebebasan berusaha,
l.        Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa,
m.    Asas perlindungan hak,
n.      Asas hak milik berfungsi sosial,
o.      Asas yang beritikad baik harus ada dilindungi,
p.      Asas risiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja,
q.      Asas mengatur dan memberi petunjuk,
r.        Asas tertulis dan diucapkan di depan saksi.[54]
Prinsip dalam muamalah adalah setiap muslim bebas melakukan apa saja yang dikehendaki sepanjang tidak dilarang oleh Allah berdasarkan al-Qur’ân dan Sunah.
Sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan ekonomi, perlu dikembangkan beberapa instrument ekonomi. Salah satu instrumen penting saat ini adalah lembaga keuangan syariah (Islamic finance instutions). Pengelolaan lembaga keuangan syariah yang sesuai dengan prinsip syariah bagi umat Islam merupakan bagian dari pengabdian (ibadah) dalam arti luas. Lembaga keuangan syariah yang dijalankan sesuai syariah, merupakan aplikasi dari cerminan keimanan dalam tatanan kehidupan manusia yang dipantulkan dari norma-norma dan ketentuan syariah.
Adapun prinsip-prinsip muamalah sebagaimana dikemukakan oleh Mardani adalah sebagai berikut.
1.      Prinsip Tauhid (Unity)
Prinsip tauhid (unity) adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariat Islam. Setiap bangunan dan aktivitas kehidupan manusia harus didasarkan pada nilai-nilai tauhidi. Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.
Dalam bermuamalah yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilaiilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap melakukan aktivitas bemuamalah ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada dalam bersama kita. Kal pemahaman semacam terbentuk dalam setiap pelaku muamalah (bisnis), maka akan terjadi muamalah yang jujur, amanah, dan sesuai tuntunan syiriah.
2.      Prinsip Halal
Dr. M. Nadratuzzaman Husen mengemukakan bahwa alasan mencari rezeki (berinvestasi) dengan cara halal yaitu:
a.       Karena Allah memerintahkan untuk mencari rezeki dengan jalan halal
b.      Pada harta halal mengandung keberkahan
c.       Pada harta halal mengandung manfaat dan mashlahah yang agung bagi manusia
d.      Pada harta halal akan membawa pengaruh positif bagi perilaku manusia.
e.       Pada harta halal melahirkan pribadi yang istiqomah, yakni yang selalu berada dalam kebaikan, kesalehan, ketakwaan, keikhlasan, dan keadilan
f.        Pada harta halal akan membentuk pribadi yang zahid, qana’ah, santun, dan suci dalam segala tindakan
g.       Pada hata halal akan melahirkan pribadi yang tasamuh, berani menegakkan keadilan dan membela yang benar.
3.      Prinsip Mashlahah
Mashlahah adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil hukum tertentu yang membenarkan atau membatalkannya atas segala tindakan manusia dalam rangka mencapai tujuan syara’, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta benda dan keturunan. Prinsp mashlahah merupaka hal yang paling esensial dalam bermuamalah. Oleh karena itu pastikan bahwa investasi yang dilakukan itu dapat memberikan dampak sosial dan lingkungan yang positif bagi kehidupan masyarakat, baik unuk generasi saat ini maupun yang akan datang.
4.      Prinsip Ibadah (boleh)
Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Namun demikian, kaidah-kaidah umum yang berkaitan dengan muamalah tersebut harus diperhatikan dan dilaksanakan. Kaida-kaidah umum yang ditetapkan syara’ dimaksud di antaranya:
a.       Muamalah yang dilakukan oleh seorang muslim harus dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT selalu mengontrol dan mengawasi tindakannya.
b.      Seluruh tindakan muamalah tidak lepas dari nilai-nilai kemanusiaan dan dilakukan dengan mengetengahkan akhlak terpuji, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di bumi.
c.       Melakukan petimbangan atas kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan masyarakat.
5.      Prinsip Kebebasan Bertransaksi
Prinsip muamalah selanjutnya yaitu prinsip kebebasan bertransaksi, namun harus disadari prinsip suka sama suka dan tidak ada pihak yang dizalimi dengan disadari oleh akad yang sah. Disamping itu, transaksi tidak boleh dilakukan pada produk-produk yang haram seperti daging babi, organ tubuh manusia, pornografi, dan lain sebagainya.
6.      Prinsip Kerja Sama (Cooporation)
Prinsip transaksi didasarkan pada kerja sama yang saling menguntungkan dan solidaritas (persaudaraan dan saling membantu).
7.      Prinsip Membayar Zakat
Mengimplementasiakan zakat merupakan kewajiban seorang muslim yang mampu secara ekonomi, sebagai wujud kepedulian sosial.
8.      Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan dalam bermuamalah adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara para pihak yang melakukan akad muamalah. Keadilan dalam hal ini dapat dipahami sebagai wujud upaya dalam menempatkan  hak dan kewajiban antara pihak yang melakukan muamalah, misalnya keadilan dalam pembagian bagi hasil (nisbah) antar pemilik modal dan pengelola modal.
9.      Pinsip Amanah
Prinsip amanah yaiu prinsip kepercayaan, kejujuran, tanggung jawab, misalnya dalam hal membuat laporan keuangan.
10.  Prinsip Komitmen Tehadap Akhlakul Karimah
Seorang pebisnis harus memiliki komitmen yang kuat untuk mengandalkan akhlak mulia, seperti tekun bekerja sambil menundukan diri (berzikir kepada Allah), jujur dan dapat dipercaya, cakap dan komunikatif.
11.  Prinsip Terhindar Dari Jual Beli dan Investasi yang Dilarang.
a)      Terhindar dari Ikhtikaar
Ikhtikaar adalah upaya dari seseorang untuk menimbun barang pada saat barang itu langka atau diperkirakan harga akan naik, seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari. Misalnya menimbun bahan bakar minyak.
b)      Terhindar dari Ikhtinaz
Ikhtinaz adalah penimbunan harta seperti uang, emas, perak dan lain sebagainya. Allah mengancam orang-orang yang menimbun harta dengan siksaan yang sangat pedih di akhirat kelak sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran Surah At-Taubah ayat 34-35.
c)      Terhindar dari Tas’ir
Tas’ir yaitu penetapan harga standar pasar yang ditetapkan oleh pemerintah atau yang berwenang untuk disosialisasikan secara paksa kepada masyarakat dalam jual beli. Tas’ir merupakan salah satu praktik yang dilarang dalam syariat Islam. Pemerintah atau yang memiliki otoritas ekonomi tidak memiliki hak dan wewenang untuk menentukan harga tetap sebuah komoditas, kecuali pemerintah telah menyediakan pada para pedagang jumlah yang cukup untuk dijual dengan menggunakan harga yang telah ditentukan, atau melihat dan mendapatkan kezaliman-kezaliman yang terjadi di pasar yang mengakibatkan rusaknya mekanisme pasar yang sehat. Rasulullah SAW Bersabda: “Fluktuasi harga itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya saya ingin berjumpa dengan-Nya, dan saya tidak akan melakukan kezaliman pada seseorang, karena ia akan menuntut saya (di akhirat)”. (H.R. Abu Daud).
d)      Terhindar dari Upaya Melambungkan Harga
e)      Dan lain sebagainya.[55]
Dalam hal ini Ahmad Azhar Basyir juga menjelaskan bahwa hukum Islam (fikih) mempunyai prinsip-prinsip sebagaimana dikutip Pujiono yaitu sebagai berikut.
1.      Semua bentuk muamalah adalah mubah (boleh), kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’ân dan Sunah Rasul SAW,
2.      Muamalah dilakukan atas dasar sukarela,
3.      Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat,
4.      Muamalah dilakukan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur penganiayaan.[56]


E.     KESIMPULAN
Fikih muamalah adalah ilmu yang membahas aturan-aturan (hukum) Allah SWT yang ditujukan kepada umat manusia untuk mengatur urusan duniawi termasuk di dalamnya masalah sosial kemasyarakatan. Pembagian fikih muamalah meliputi al-Muamalah al-Madiyah dan al-Mu’amalah al-adabiyah. Al-Muamalah al-Madiyah yaitu muamalah yang mengkaji objeknya dan bersifat kebendaan. Sementara itu, al-Mu’amalah al-Adabiyah adalah muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indera.
Ruang lingkup fikih muamalah mengikuti pembagian daripada fikih muamalah itu sendiri, yaitu ruang lingkup fikih muamalah yang bersifat adabiyah dan ruang lingkup fikih muamalah yang bersifat madiyah. Prinsip yang paling mendasar dan penting adalah bahwa hukum awal segala muamalah adalah mubah (boleh) selagi tidak ada dalil atau nash yang melarang suatu muamalah tersebut.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ali, Zainuddin. 2009. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Cholil, Abdulloh Arief dkk. 2015. Studi Islam II. Jakarta: Rajawali Pers.
Dahlan, And. Rahman. 2010. Ushul Fiwh. Jakarta: Amzah.
Djamil, Fathurrahman. 2013. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep. Jakarta: Sinar Grafika.
Ghazaly, Abdul Rahman., Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. 2015. Fiqh Muamalat. Jakrta: Prenadamedia Group.
Hamid, Abdul dan Ahmad Saebani. 2009. Fiqh Ibadah. Bandung: Pustaka Setia.
Mahfud, Rois. 2011. Al-Islam: Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz. 2010. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam. Jakarta: Amzah.
Muslich, Ahmad Wardi. 2013. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Pujiono. 2012. Hukum Islam dan Dinamika Perkembangan Masyarakat: Menguak Pergeseran Perilaku Kaum Santri. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Syafe'i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifudin, Amir. 2004. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam. Jakarta: Zikrul Hakim.
Tihami dan Sohari Sahrani. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers.



[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 1.
[2] Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 11.
[3] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 240.
[4] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 13.
[5] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.1.
[6] Ibid.
[7] Arif Fakhrudin dan Siti Irhamah, Alhidayah: Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Banten: Kalim, 2011), h. 233.
[8] Ibid., h. 91.
[9] Ibid., h. 136.
[10] Ibid., h. 141.
[11] Abuddin Nata, Op.Cit., h. 241.
[12] Ibid., h. 132.
[13] Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., h. 14.
[14] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 6.
[15] Ibid.
[16] Tihami dan Sohari Sahrani, Op.Cit., h. 3.
[17] Abuddin Nata, Op.Cit.
[18] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 4.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid., h. 5.
[22] Fathurrahman Djalil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 149.
[23] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., h. 2.
[24] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 278.
[25] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 2.
[26] Rois Mahfud, Al-Islam: Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 34.
[27] Abdulloh Arief Cholil dkk, Studi Islam II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 230.
[28] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 2.
[29] Lihat Rachmat Syafe’i, Op.Cit., h. 15.
[30] Hendi Suhendi, Op.Cit.
[31] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., h. 2.
[32] Hendi Suhendi, Op.Cit.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 6.
[36] Hendi Suhendi, Op.Cit., h. 3.
[37] Rachmat Syafe’i, Op.Cit., h. 17.
[38] Rois Mahfid, Op.Cit., h.35-36.
[39] Hendi Suhendi, Op.Cit., h. 5,
[40] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 3-5.
[41] Abudllah Aref Cholil, Op.Cit., h. 231.
[42] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., h. 4.
[43] Ibid.
[44] Ibid.
[45] Ibid.
[46] Fathurrahman Djamil, Op.Cit., h. 154-155.
[47] Ibid., h. 6.
[48] Ibid.
[49] Ibid., h. 7.
[50] Ibid.
[51] Fathurrahman Djalil, Op.Cit., h. 154.
[52] Ibid., h. 155.
[53] Ibid.
[54] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., h. 7-12.
[55] Mardani, Op.Cit. h. 7-12.
[56] Pujiono, Hukum Islam dan Dinamika Perkembangan Masyarakat: Menguak Pergeseran Perilaku Kaum Santri, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), h. 120-121.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook