FIQH MU'AMALAH
08.59
PENGERTIAN, PEMBAGIAN,
RUANG LINGKUP, DAN PRINSIP-PRINSIP FIKIH MUAMALAH SERTA
PRINSIP DASAR BERMUAMALAH
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk
sosial, manusia selalu membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya.
Salah satu bentuk ciri manusia yang membutuhkan manusia lain adalah adanya
perkembangan perkonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, tingkah
laku antar sesama manusia, moral dan lain sebagainya. Perkembangan ekonomi yang
pesat menjadi bukti bahwa setiap manusia adalah makhluk yang saling
membutuhkan. Islam berusaha mengiringi nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah
dan etika. Ini berarti kegiatan ekonomi tidak semata-mata berbasis materi saja,
namun juga terdapat sandaran yang bersifat menonjolkan kerohanian sehingga
bernilai ibadah.
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa Allah SWT mengatur hubungan lahir antara manusia
dengan Allah SWT dalam rangka menegakkan hablum minallah dan hubungan
antara sesama manusia dalam rangka menegakkan hablum minannas. Apabila kita
cermati dengan sederhana, maka hubungan manusia dengan Allah dikaji dalam ilmu Fikih
Ibadah. Sementara itu, hubungan antar sesama manusia dikaji dalam ilmu Fikih
Muamalah.
Fikih muamalah
dimaknai sebagai suatu pengetahuan tentang kegiatan dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari berdasarkan syariat Islam. Pembahasan dalam fikih muamalah menjadi penyeimbang
dalam pembahasan fikih ibadah. Jika fikih ibadah membahas tentang bagaimana
hubungan manusia dengan Allah, maka fikih muamalah membahas bagaimana membangun
hubungan antar sesama manusia (dalam arti luas). Karena di dalam Islam segala
hal telah diatur sedemikian rupa, maka hubungan antar sesama manusia bisa
bernilai ibadah apabila dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah.
Dikerenakan
luasnya bahasan mengenai fikih muamalah ini, maka perlu kiranya kami membatasi
masalah yang akan kami bahas. Adapun pembahasan dalam makalah ini secara garis
besar mencakup defenisi, pembagian, ruang lingkup, dasar dan prinsip-prinsip fikih muamalah.
A. Pengertian Fikih dan Fikih Muamalah
1.
Pengertian Fiqh
Fikih Muamalah terdiri dari dari dua kata,
yaitu fikih dan
muamalah. Untuk memahami definisi fikih
muamalah, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian fikih. Menurut Abdul Wahab Khallaf sebagaimana
dikutip Ahmad Wardi Muslich bahwa secara etimologis fikih berasal dari kata faqiha,
yafqahu, fiqhan yang berarti mengerti atau memahami.[1]
Kata fiqh –selanjutnya dalam bahasa Indonesia ditulis fikih- dan tafaqquh
keduanya memiliki makna yang sama yaitu “pemahaman yang dalam”.[2]
Lebih rinci lagi
Abuddin Nata mengemukakan arti daripada kata faqiha, yafqahu, fiqhan yaitu
to understand (memahami), comprehend (memahami, mengerti), to
have knowledge (mendapatkan pengetahuan), have legal knowledge (mendapat
pengetahuan tentang hukum), to teach (mengajar), instruct (mengajar),
to study the fiqh (mempelajari fikih), to the acquisition of
knowledge (menguasai
pengetahuan), to gain information (mendapatkan berita), get a clear
picture (mendapatkan gambaran-gambaran yang jelas), dan obtain a clear
ideas (mendapatkan pemikiran yang jelas).[3]
Apabila dijadikan kata kerja, maka fikih berarti memikirkan, mempelajari, dan
memahami. Orang yang memahami syariat Islam disebut dengan faqih dan
apabila banyak disebut fuqaha.
Rachmat Syafe’i menjelaskan bahwa fikih
adalah paham (الفَهْمُ)
seperti yang dijelaskan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori sebagai berikut.
مَنْ يُرِدِ اللّٰهَ بِهِ خَيْرًا
يُفَقَهْهُ فِى الدِّيْنِ.
Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik di
sisi-Nya, niscaya diberikan kepada-Nya pemahaman (yang mendalam) dalam
pengetahuan agama.[4]
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di
atas, Tihami dan Sohari Sahrani dalam kajian ilmu fikih munakahat mengatakan
bahwa secara etimologis kata fikih berakar pada kata atau huruf faqaha (فقه) yang menunjuk kepada “maksud
tertentu” atau “ilmu pengetahuan”, dalam bahasa Arab dikatakan sebagai العِلْمُ
بِالشَئِ مَعَ الْفَهْمِ (mengetahui sesuatu dengan mengerti).[5]
Dengan memahami sesuatu hal —misalnya
ilmu pengetahuan— secara mendalam (benar-benar mengerti)
maka akan mengantarkan seseorang pada suatu maksud tertentu yaitu sebuah
kesimpulan yang menjadi esensi daripada pemahaman secara mendalam.
Kemudian, Rasyid Ridha sebagaimana dikutip
H.A. Wahab Afif dalam Tihami dan Sohari Sahrani mengemukakan bahwa di dalam al-Qur’ân
banyak disebutkan kata fiqh, yaitu “paham yang mendalam dan amat luas
terhadap segala hakikat”, yang dengan fiqh itu seorang alim menjadi ahli
hikmah (filosof) pengamal dan mempunyai sikap teguh.[6]
Pengertian fikih
tersebut dapat ditemukan dalam al-Qur’ân dan Hadis Nabi SAW beberapa di antaranya sebagai berikut.
قَالُواْ
يَٰشُعَيۡبُ مَا نَفۡقَهُ كَثِيرٗا مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَىٰكَ فِينَا
ضَعِيفٗاۖ وَلَوۡلَا رَهۡطُكَ لَرَجَمۡنَٰكَۖ وَمَآ أَنتَ عَلَيۡنَا بِعَزِيزٖ ٩١
Mereka berkata: "Hai Syu´aib, kami tidak banyak
mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar
melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena
keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang
yang berwibawa di sisi kami" . (Q.S. Hud [11]: 91)[7]
فَمَالِ
هَٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثٗا ٧٨
Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir
tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)? (Q.S. An-Nisa’ [4]: 78)[8]
ٱنظُرۡ
كَيۡفَ نُصَرِّفُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَفۡقَهُونَ ٦٥
Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda
kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya). (Q.S.
Al-An’am [6]: 65)[9]
قَدۡ
فَصَّلۡنَا ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَفۡقَهُونَ ٩٨
“Sesungguhnya telah Kami jelaskan
tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui”. (Q.S.
Al-An’am [6]: 98)[10]
Dengan memahami beberapa ayat al-Qur’ân
di atas, terlihat jelas bahwa fikih berkaitan dengan bidang pemikiran
atau bidang kerja akal pikiran yang sifatnya mendalam dan comprehensive. Abuddin
Nata menyebut seseorang faqih yang senantiasa berpikir mendalam disebut dengan
istilah mujtahid.[11]
Beberapa ayat al-Qur’ân juga
menjelaskan bahwa arti fikih secara leksikal adalah pemahaman. Sedangkan objek
yang dipahami bersifat umum, bisa berupa kalimat yang digunakan dalam
komunikasi, ciptaan Allah, tubuh manusia dan sebagainya. Semua diseru oleh
Allah untuk dipahami oleh manusia. Sebagaimana Allah contohkan dalam ayat
berikut ini.
وَمَا
ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَعِبٞ وَلَهۡوٞۖ وَلَلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ
لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٣٢
Artinya: Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari
main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S. Al
An'am [6]: 32)[12]
Adapun pengertian fikih secara terminologis
adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari
dalil-dalil terperinci.[13]
Menurut Ibnu As-Subki
sebagaimana
dikutip Abd. Rahmad Dahlan, definisi fikih adalah sebagai berikut.
.العِلْمُ
بِالقَوَاعِدِالَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى إِسْتِنْبَاطِ الأحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَفْسِلِيَّةِ
Pengetahuan
tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
diusahakan dari dalil-dalil syara’ yang spesifik.[14]
Sedangkan
definisi fikih
menurut Ibnu Al-Hajib,
sebagaimana dikutip Ibnu
Qudamah dalam sumber yang sama adalah sebagai berikut.
.العِلْمُ
بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ الفَرْعِيَّةِ عَنْ أَدِلَّتِهَا
التَفْسِلِيَّةِ بِالإِسْتِدْلَالِ
Pengetahuan
tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
bersifat parsial, yang berasal dari dalil-dalil yang spesifik, melalui cara
penelitian terhadap dalil.[15]
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di
atas, Ahmad Hanafi sebagaimana dikutip Tihami dan Sohari Sahrani, mengemukakan
bahwa fikih menurut istilah ialah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.[16]
Beberapa pengertian lain sebagaimana dikutip Abuddin Nata tentang fikih adalah sebagai berikut.
1.
Sobhi Mahmasanni, fikih berarti ilmu hukum atau syariat, dan
orang yang ahli dalam ilmu ini disebut faqih. Selain itu, fikih juga berarti ilmu untuk mengetahui
masalah-masalah hukum secara praktis. Selanjutnya fikih juga berarti ilmu untuk mengetahui
ketentuan-ketentuan hukum far’i (cabang) dari syariat yang diperoleh dari
dalil-dalil perincian syariat,
2.
Abu Ishaq, sebagaimana
dikutip oleh Nasaruddin Razak, fikih
adalah memahami apa yang tersirat. Kemudian definisi yang diperkembangkan dalam
ilmu hukum Islam, fikih
berarti ilmu tentang hukum Islam yang disimpulkan dengan jalan rasio berdasarkan
alasan-alasan terperinci,
3.
Murthada Muthahhari,
bahwa menurut terminologi al-Qur’ân dan as-Sunah, fikih ialah pengetahuan yang luas dan mendalam
tentang perintah-peritnah dan realitas Islam, dan tidak mempunyai relevansi
khusus dengan definisi tertentu. Namun demikian, menurut termiolgi ulama, kata
ini secara perlahan menjadi khusus diaplikasikan pada permasalahan mendalam
tentang hukum-hukum Islam.[17]
Kemudian
Syihab
al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi juga mengemukakan pengertian fikih
secara terminologis sebagaimana dikutip Firdaus yaitu sebagai berikut.
الفقه فى الإ
صطلاح هوالعلم بالأحكام الشرعية العملية بااستدلال.
Mengetahui
tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah berdasarkan dalil.[18]
Kalangan
Syafi’iyyah mendefinisikan fikih sebagai berikut.
الفقه فى الإ
صطلاح هوالعلم بالأحكام الشرعية العملية بااستدلال.
Fiqh adalah ilmu
tentang hukum syara’ yang bersifat amaliyah, diperoleh melalui dalil-dalil yang
terperinci.[19]
Tak kalah tertinggal, kalangan Hanafiyyah juga mendefinisikan fikih yaitu sebagai berikut.
الفقه هومعرفة
النفس مالهاوماعليها.
Fiqh adalah
pengetahuan seseorang tentang apa yang menjadi hak dan kewajibannya.[20]
Kalangan
Syafi’iyyah Muta’akhirin seperti imam al-Ghazali memberikan pengertian fikih
sebagai berikut.
الفقه هوالاصل
فيه العلم بأمورالأخره.
Fiqh adalah
sumber bagi ilmu tentang akhirat.[21]
2.
Pengertian Mu’amalah
Dari segi etimologi kata muamalah berasal
dari kata ‘amala, yu’amilu, mu’amalatan. Menurut Abdussattar Fathullah
Sa’id sebagaimana dikutip Fathurrahman Jamil, secara bahasa Arab kata muamalah
sama dan semakna dengan kata mufa’alah berasal dari kata fa’ala,
yufa’ilu, mufa’alatan, yang artinya saling berbuat, saling bertindak, dan
saling beramal (kegiatan atau pekerjaan).[22]
Saling berbuat, bertindak, dan beramal erat kaitannya dengan aktivitas
sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, misalnya jual beli.
Aktifitas jual beli merupakan aktifitas rutin masyarakat karena di dalamnya ada
beberapa kegiatan seperti adanya interaksi, adanya ketergantungan, dan adanya
tindakan yang saling menguntungkan antara penjual dan pembeli. Maka dari itu,
benarlah bahwa Ibrahim Unais dkk. sebagaimana dikutip Ahmad Wardi Muslich memberikan
pengertian muamalah berasal dari kata ‘amala, yu’amilu, dan muamalatan
yang memiliki arti “melakukan interaksi dengan orang lain dalam jual
beli dan sebagainya”.[23]
Hal senada juga dikemukakan oleh Sulaiman
Rasjid bahwa muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi
manfaat dengan cara yang ditentukan, seperti jual beli, sewa-menyewa,
upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha
lainnya.[24] Dalam
pengertian yang lain, A. Marson Munawir sebagaimana dikutip Mardani mengemukakan bahwa muamalah secara etimologis
yaitu perlakuan hubungan kepentingan seperti jual beli, sewa menyewa dan
sebagainya.[25]
Kemudian, secara terminologis Yafie
mengungkapkan pengertian muamalah sebagaimana dikutip Rois Mahfud yaitu
interaksi manusia dalam mewujudkan kepentingannya masing-masing dalam pergaulan
hidupnya sehari-hari, seperti jual-beli, utang-piutang, gadai-menggadai,
pinjam-meminjam, sewa-menyewa, berdagang, berbagi hasil usaha, pengairan
pertanian, dan lain sebagainya.[26]
Ahli fiqh Mustofa Ahmad az-Zarqa sebagaimana dikutip Gufron dalam Abdulloh
Arief Cholil mengemukakan pengertian muamalah secara lebih sempit yaitu
hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan sesama manusia
dalam urusan kebendaan, hak-hak kebendaan, serta penyelesaian perselisihan di
antara mereka.[27]
Hendi Suhendi membagi pengertian muamalah
secara terminologis menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti
sempit dan pengertian muamalah dalam arti luas. Definisi muamalah dalam arti
luas dapat dijelaskan oleh beberapa para ahli sebagai berikut.
1.
Al Dimyati
التَّحُصِيْلُ
الدُّنْيَوِي لِيَكُوْنَ سَبَبًا لِلأَخِرِ
Muamalah
adalah menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi.[28]
2.
Muhammad Yusuf Musa,
berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti
dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.[29]
3.
Muamalah adalah segala
peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia
dalam hidup dan kehidupan.[30]
Tidak
jauh berbeda dengan pendapat di
atas,
Ahmad Wardi Muslich berpendapat bahwa dalam arti luas muamalah mencakup semua
jenis hubungan antara manusia dengan manusia dalam segala bidang.[31]
Kemudian,
pengertian muamalah dalam arti sempit dapat dijelaskan seperti di bawah ini oleh beberapa
para ahli yaitu sebagai berikut.
1.
Hudlari Byk
المُـعَـامَـلَاتُ
جَـمِيْـعُ الْـعُـقُـوْدِالَّـتِى بِـهَا يَـتَـبَـادَلُ مَـنَـا فِـعُـهُـمْ
Muamalah
adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya.[32]
2.
Idris Ahmad
Muamalah
adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang
paling baik.[33]
3.
Rasyid Ridha
Muamalah
adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang
telah ditentukan.[34]
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat diambil persamaan antara pengertian muamalah
dalam arti sempit dengan pengertian muamalah dalam arti luas, yaitu sama-sama
mengatur hubungan antar sesama manusia. Sedangkan perbedaan pengertian muamalah
dalam arti sempit dengan pengertian muamalah dalam arti luas adalah dalam
cakupannya.
Jika kata fikih dihubungkan dengan
perkataan muamalah, maka menjadi fikih muamalah. Dengan demikian, dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa fikih muamalah adalah aturan-aturan Allah yang bersifat
praktis yang ditujukan kepada manusia untuk mengatur kehidupannya yang
berkaitan dengan urusan duniawi dan interaksi sosial kemasyarakatan yang
diperoleh dari dalil-dalil terperinci. Fikih muamalah merupakan kumpulan hukum yang
ditetapkan dengan tujuan untuk terciptanya rasa aman, tegaknya undang-undang
dalam negara atau masyarakat Islam, terwujudnya keadilan dan persamaan antar
individu, menjaga hak-hak manusia dan lain sebagainya.[35]
B.
Pembagian
Fikih
Muamalah
Menurut Ibn ’Abidin sebagaimana dikutip
Hendi Suhendi, fikih mamalah terbagi menjadi lima bagian, yaitu sebagai
berikut.
1.
Mu ‘awadlah Maliyah (Hukum Kebendaan),
2.
Munakahat (Hukum Perkawinan),
3.
Muhasanat
(Hukum Acara),
4.
Amanat dan ‘Aryah (Pinjaman),
Sedangkan
al-Fikri dalam kitabnya, “Al-Muamalah
al-Madiyah wa al-Adabiyah” sebagaimana
dikutip Rachmat Syafe’i menyatakan
bahwa muamalah dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut.
1.
Al-Muamalah al-madiyah adalah muamalah yang mengkaji objeknya
sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah adalah bersifat kebendaan karena objek fikih muamalah
adalah benda yang halal, haram dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda
yang memadaratkan dan benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, serta
segi-segi lainnya.
2.
Al-Mu’amalah al-abadiyah ialah muamalah yang ditinjau dari segi
cara tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indra manusia, yang unsur
penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban, misalnya, jujur, hasud, dengki,
dendam.[37]
Muamalah
madiyah yang dimaksud di atas ialah
aturan-aturan yang ditinjau dari segi objeknya. Oleh karena itu, jual beli
benda bagi Muslim bukan hanya sekedar memperoleh untung yang sebesar-besarnya,
tetapi bertujuan untuk memperoleh ridha Allah. Sedangkan muamalah al-adabiyah ialah aturan-aturan Allah
yang wajib diikuti dilihat dari segi subjeknya. Muamalah adabiyah ini mencakup keridaan kedua belah pihak, ijab kabul,
dusta, menipu dan yang lainnya.
C.
Ruang
Lingkup Fiqh Muamalah
Menurut Mukhtar Yahya sebagaimana dikutip
Muhammad dalam Rois Mahfud mengemukakan bahwa ruang lingkup pembahasan fikih
muamalah bersifat dinamis mengikuti perkembangan hukum positif, yaitu sebagai
berikut.
1.
Hukum keluarga (akhwalus
syakhsiyah), hukum yang berkaitan erat dengan kekeluargaan. Tujuan hukum
ini untuk mengatur hubungan kehidupan suami istri, anak keturunan, dan kerabat
satu dengan yang lain.
2.
Hukum privat (akhkamul
al-madaniyah), hukum yang mengatur hak manusia satu sama lain dalam
tukar-menukar kebendaan dan manfaat seperti dalam jual-beli, transaksi,
sewa-menyewa, dan lain sebagainya. Hukum ini bertujuan untuk mengatur hak
kebendaan setiap orang, memlihara, melindungi, dan memanfaatkannya.
3.
Hukum pidana (akhkamul
jinaiyah), yaitu hukum yang berhubungan dengan tindak pidana dan
sanksi-sanksinya. Tujuan hukum ini ialah untuk memelihara kehidupan manusia,
harta benda, kehormatan, dan hak-hak mereka.
4.
Hukum perundang-undangan
(akhkamul dauliyah), hukum yang membicarakan tentang asal dan tata cara
pembuatan undang-undang dengan tujuan utama untuk mewujudkan keadilan dalam
masyarakat.
5.
Hukum ekonomi dan
keuangan (akhkamul iqtishadiyah-mâliyah), hukum yang mengatur tentang
masalah-masalah ekonomi dan keuangan baik yang terkait dengan pemasukan maupun
pengeluarannya, hak-hak fakir miskin terhadap harta kekayaan, dan lain
sebagainya.
6.
Hukum internasional (akhkamul
dauliyah), hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara Islam dengan
negara-negara lain dalam hal perdamaian, keamanan, kerjasama ekonomi, sosial,
politik, dan sebagainya, serta mengatur muamalah antara warga negara Islam dan
non-Islam yang berada dalam wilayah kekuasan Isalm.[38]
Berbeda dengan pendapat di atas, beberapa
tokoh membagi ruang lingkup fikih muamalah menjadi dua, yaitu ruang lingkup fikih
muamalah yang bersifat adabiyah dan ruang lingkup fikih muamalah yang
bersifat madiyah.
1.
Ruang lingkup fikih muamalah yang bersifat adabiyah
meliputi ijab dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah
salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan,
penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya
dengan peredaraan harta dalam hidup bermasyarakat.[39]
2.
Rang lingkup fikih muamalah yang
bersifat madiyah meliputi segala aspek kegiatan ekonomi manusia sebagai
berikut.
a)
Harta, hak milik, fungsi uang, dan ‘uqud (akad-akad),
b)
Buyu’
(tentang jual beli),
c)
Ar-Rahn (tentang
pegadaian),
d)
Hiwalah
(pengalihan utang),
e)
Ash-shulhu (perdamaian
bisnis),
f)
Adh-dhaman (jaminan,
asuransi),
g)
Syirkah
(tentang perkongsian),
h)
Wakalah
(tentang perwakilan),
i)
Wadi’ah
(tentang penitipan),
j)
‘ariyah (tetntang
peminjama,n)
k)
Ghasab
(rampasan harta orang lain dengan tidak sah),
l)
Syuf’ah
(hak diutamakan dalam syirkah atau sepadan tanah),
m)
Mudharabah
(syirkah modal dan tenaga),
n)
Musaqat
(syirkah dalam pengairan kebun),
o)
Muzara’ah
(kerja sama pertanian),
p)
Kafalah
(peminjaman [agunan utang]),
q)
Taflis
(jatuh bangkrut),
r)
Al-hajru (batasan
bertindak),
s)
Ji’alah
(sayembara, pemberian),
t)
Qoradh
(pinjaman),
u)
Ba’i murabahah,
v)
Ba’i salam,
w)
Bai’ istishna’,
x)
Ba’i muajjal dan
ba’i taqsit,
y)
Ba’I sharf
dan transaksi valas,
z)
‘urbun
(panjar/DP),
aa)
Ijarah
(sewa-menyewa),
bb)
Riba,
konsep uang, dan kebijakan moneter,
cc)
Shukuk
(surat utang atau obligasi),
dd)
Faraidh
(warisan),
ee)
Luqathah
(barang tercecer/barang temuan),
ff)
Wakaf,
gg)
Hibah,
hh)
Wasiat,
ii)
Iqrar
(pengakuan),
jj)
Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan ghanimah),
kk)
Qism ash –shadaqat (tentang pembagian zakat),
ll)
Ibrak
(pembebasan utang),
mm)
Muqasah
(discount),
nn)
Kharaj, jizyah, Dharibah, Ushur (pajak),
oo)
Baitul mal dan
jihbiz (perbankan),
pp)
Kebijakan fiskal Islam,
qq)
Prinsip dan perilaku konsumen,
rr)
Prinsip dan perilaku produsen,
ss)
Keadilan distribusi,
tt)
Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh),
uu)
Jual beli gharar, ba’i najasi, ba’i al-‘inah, ba’i wafa,
mu’athah, fudhuli,
vv)
Ihtikar dan monopoli,
ww)
Pasarmodal Islam dan reksadana,
xx)
Asuransi Islam, bank Islam, pengadaian, MLM (Mukti Level
Marketing),
yy)
Barang tambang (ma’din),
zz)
Ath’imah
(makanan) yang halal dan haram,
aaa)
Ihyaul mawat (menghidupkan
lahan mati),
bbb)
Sabq
(perlombaan),
ccc)
dan ashullu (perdamaian sengketa bisnis dan
arbittrase syariah).[40]
Tokoh lain, Abdulloh Arief Cholil dkk memiliki
pandangan berbeda. Mereka membagi ruang lingkup muamalah menjadi dua bagian
yaitu aspek privat dan aspek publik. Aspek privat meliputi mâliyah (harta
benda) dan ahwal asy-syakhsiyah (masalah keluarga). Sementara aspek
publik muamalah mencakup antara lain jinâyah (hukum pidana) dan ahkam
as-sultâniyah (hukum tata negara).[41]
D.
Prinsip-Prinsip
Fikih
Muamalah dan Prinsip Dasar Bermuamalah
Ada
beberapa prinsip dasar dalam muamalah yang menjadi acuan dan pedoman secara
umum untuk kegiatan bermuamalah yaitu sebagai berikut.
1.
Muamalah adalah Urusan Duniawi
Muamalah berbeda dengan ibadah. Dalam
ibadah, semua perbuatan dilarang kecuali yang diperintahkan. Oleh karena itu,
semua perbuatan yang dikerjakan harus sesuai dengan tuntutan yang diajarkan
oleh Rasullullah SAW dalam ibadah, kaidah yang berlaku adalah sebagai berikut.
اَلْأَصْلُ
فِي الْعِبَاداتِ التَّوقِيْفُ وَالْإتِّبَاعُ
Pada dasarnya dalam ibadah harus
menunggu (perintah) dan mengikuti.[42]
Kaidah ini sejalan dengan kaidah
lain yaitu:
اَلْأَصْلُ
فِي الْعِبَادَاتِ الْـبُـطْلَانُ حَـتَّـى يَـقُـومَ دَلِـيْـلٌ عَـلَى الْأمْـرِ
Pada dasarnya dalam ibadah, semuanya
batal, sehingga ada dalil yang memerintahkannya.[43]
Sebaliknya, dalam muamalah, semuanya
boleh kecuali yang dilarang. Muamalah atau hubungan dan pergaulan antara sesama
manusia di bidang harta benda merupakan urusan duniawi, dan pengaturannya
diserahkan kepada manusia itu sendiri. Oleh karena itu, semua bentuk akad dan
berbagai cara transaksi yang dibuat oleh manusia hukumnya sah dan dibolehkan,
asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara’.
Hal tersebut sesuai dengan kaidah:
اَلْـمُـعَـامَـلَاتُ
طَـلْقٌ حَـتَّـى يَـثْـبُـتَ الْـمَـنْـعُ
Muamalah itu bebas sehingga ada
larangan.[44]
Kaidah-kaidah tersebut bersumber dari
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas dan ‘Aisyah RA bahwa
Rasullullah SAW bersabda:
اَنْـتُـمْ
أَعْـلَـمُ بِـأَمْـرِدُنْـيا كُم
Kamu sekalian lebih tahu tentang urusan
duniamu.[45]
Dari hadis di atas dapat diketahui
bahwa urusan dunia termasuk ke dalam muamalah. Islam memberi kebebasan untuk
mengatur urusan dunia, dengan syarat tidak melanggar ketentuan syara’ yang
telah ditentukan.
Menurut Jamal al-Din Athiyah prinsip di
atas dapat dipahami seperti berikut ini.
a)
Untuk menetapkan kebolehan suatu bentuk muamalah tidak diperlukan
mencari dasar hukum (al-Qur’ân dan Sunah) karena hukum asalnya adalah
boleh (mubah), bukan haram.
b)
Keterangan tekstual (nash) dalam al-Qur’ân dan
Sunah tentang muamalah tidak dimaksudkan sebagai pembatasan dalam menciptakan
bentuk-bentuk muamalah baru yang tidak termuat di dalam al-Qur’ân dan Sunah.
c)
Dalam menciptakan bentuk-bentuk muamalah baru, untuk
menentukan kebolehannya, tidak perlu dianalogkan dengan bentuk muamalah yang
telah dijelaskan dalam nash.
d)
Di samping itu, untuk menentukan kebolehan juga tidak perlu
dianalogkan (ilhaq) dengan suatu pendapat hukum Islam hasil ijtihad,
atau dengan beberapa bentuk muamalah yang telah ada dalam literatur hukum
Islam, termasuk tidak diperlukan penggabungan beberapa pendapat.
e)
Ketentuan satu-satunya yang harus diperhatikan dalam
menentukan kebolehan muamalah baru adalah “tidak melanggar nash yang
mengharamkan, baik nash al-Qur’ân maupun Sunah”.
f)
Oleh karena itu, hal yang harus dilakukan ketika membuat
sebuah muamalah baru adalah meneliti dan mencari nash-nash yang
mengharamkannya, bukan nash yang membolehkannya.[46]
2.
Muamalah Harus Didasarkan Kepada Persetujuan dan Kerelaan
Kedua Belah Pihak
Persetujuan dan kerelaan kedua belah
pihak yang melakukan transaksi merupakan asas yang sangat penting untuk
keabsahan setiap akad. Hal ini didasarkan firman Allah dalam Surah An-Nisa’ (4)
ayat 29:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dari ayat ini dapat diambil suatu
kesimpulan berupa suatu kaidah yang berlaku dalam bidang muamalah, yaitu
kerelaan menjadi dasar hukum muamalah. Untuk menunjukkan adanya kerelaan dalam
setiap akad atau transaksi dilakukan ijab
dan qabul atau serah terima antara
kedua belah pihak yang melakukan transaksi.
3.
Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum
Dalam masalah muamalah, adat kebiasaan
bisa dijadikan dasar hukum, dengan syarat adat tersebut diakui dan tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara’. Hal ini
sesuai dengan kaidah:
اَلْـعَـادَةُ
مُـحَـكَّـمَـةٌ
Adat kebiasaan digunakan sebagai dasar
hukum.[47]
Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi
SAW yaitu:
مَارَأهُ الْـمُـسْـلِـمُوْنَ حَـسَـنًا فَـهُـوَ
عِـنْدَاللهِ حَـسَـنٌ
Sesuatu yang oleh orang muslim
dipandang baik, maka disisi Allah juga dianggap baik.[48]
4.
Tidak Boleh Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain.
Setiap transaksi dan hubungan perdata
(muamalah) dalam Islam tidak boleh menimbulkan kerugian kepada diri sendiri dan
orang lain. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah, ad-Daruquthni, dan lain-lainnya dari Abi Sa’id al-Khudri RadiyaAllahhuanhu
bahwa Rasullullah SAW bersabda:
لاَضَـرَوَلَاضِـرَارَ
Janganlah merugikan diri sendiri dan
janganlah merugikan orang lain.[49]
Dan hadist ini kemudian dibuatlah
kaidah kulliyah yang berbunyi:
اَلـضَّـرَرُيُـزَالُ
Kemudharatan harus dihilangkan.[50]
5.
Muamalah Dilakukan Atas Dasar
Kemaslahatan
Konsekuensi
dari prinsip ini adalah segala bentuk muamalah yang dapat merusak atau
mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan. Misalnya judi, penjualan
narkoba, prostitusi, dan sebagainya. Sesuatu dipandang Islam bermaslahat jika
memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat serta membawa
kebaikan bagi semua aspek kehidupan dan tidak menimbulkan mudharat
atau
kerugian.[51]
6.
Muamalah Dilakukan dengan
Memelihara Nilai Keseimbangan dalam Pembangunan
Konsep
keseimbangan dalam muamalah Islam meliputi berbagai aspek. Fathurrahman Djalil
menyebutkan keseimbangan dalam pembangunan yang dimaksud adalah keseimbangan
antara pembangunan material dan spiritual; pengembangan sektor keuangan dan
sektor riil; dan pemanfaatannya serta pelestarian sumber daya.[52]
7.
Muamalah Dilakukan dengan
Memelihara Nilai Keadilan
Keadilan
adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya
pada pada yang berhak, serta memperlakukan sesuatu sesuai dengan posisinya.
Fathurrahman Djalil mengungkapkan bahwa implementasi keadilan dalam aktivitas
ekonomi adalah berupa prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba,
dzalim, Maysir, Gharar, objek transaksi yang haram, dan lain sebagainya.[53]
Tokoh lain, seperti Mohammad Daud Ali sebagaimana dikutip Ahamd Wardi Muslich mengemukakan
18 prinsip yang menjadi asas-asas hukum Islam dibidang muamalah. Asas-asas tersebut
adalah sebagai berikut.
a.
Asas kebolehan atau mubah,
b.
Asas kemaslahatan hidup,
c.
Asas kebebasan dan kesukarelaan,
d.
Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat,
e.
Asas kebijakan (kebaikan),
f.
Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat,
g.
Asas adil dan berimbang,
h.
Asas mendahulukan kewajiban dari hak,
i.
Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain,
j.
Asas kemampuan berbuat atau bertindak,
k.
Asas kebebasan berusaha,
l.
Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa,
m.
Asas perlindungan hak,
n.
Asas hak milik berfungsi sosial,
o.
Asas yang beritikad baik harus ada dilindungi,
p.
Asas risiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja,
q.
Asas mengatur dan memberi petunjuk,
r.
Asas tertulis dan diucapkan di depan saksi.[54]
Prinsip
dalam muamalah adalah setiap muslim bebas melakukan apa saja yang dikehendaki
sepanjang tidak dilarang oleh Allah berdasarkan al-Qur’ân dan Sunah.
Sebagai
upaya mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan ekonomi, perlu dikembangkan
beberapa instrument ekonomi. Salah satu instrumen penting saat ini adalah
lembaga keuangan syariah (Islamic finance instutions). Pengelolaan
lembaga keuangan syariah yang sesuai dengan prinsip syariah bagi umat Islam
merupakan bagian dari pengabdian (ibadah) dalam arti luas. Lembaga keuangan syariah
yang dijalankan sesuai syariah, merupakan aplikasi dari cerminan keimanan dalam
tatanan kehidupan manusia yang dipantulkan dari norma-norma dan ketentuan
syariah.
Adapun
prinsip-prinsip muamalah sebagaimana dikemukakan oleh Mardani adalah sebagai
berikut.
1.
Prinsip Tauhid (Unity)
Prinsip tauhid (unity) adalah dasar
utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariat Islam. Setiap bangunan
dan aktivitas kehidupan manusia harus didasarkan pada nilai-nilai tauhidi.
Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus
mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.
Dalam bermuamalah yang harus
diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi
bermuamalah yang tertuntun oleh nilaiilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap
melakukan aktivitas bemuamalah ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Allah SWT
selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada dalam bersama
kita. Kal pemahaman semacam terbentuk dalam setiap pelaku muamalah (bisnis),
maka akan terjadi muamalah yang jujur, amanah, dan sesuai tuntunan syiriah.
2.
Prinsip Halal
Dr. M. Nadratuzzaman Husen mengemukakan
bahwa alasan mencari rezeki (berinvestasi) dengan cara halal yaitu:
a.
Karena Allah memerintahkan untuk mencari rezeki dengan jalan
halal
b.
Pada harta halal mengandung keberkahan
c.
Pada harta halal mengandung manfaat dan mashlahah yang agung
bagi manusia
d.
Pada harta halal akan membawa pengaruh positif bagi perilaku
manusia.
e.
Pada harta halal melahirkan pribadi yang istiqomah, yakni
yang selalu berada dalam kebaikan, kesalehan, ketakwaan, keikhlasan, dan
keadilan
f.
Pada harta halal akan membentuk pribadi yang zahid, qana’ah,
santun, dan suci dalam segala tindakan
g.
Pada hata halal akan melahirkan pribadi yang tasamuh, berani
menegakkan keadilan dan membela yang benar.
3.
Prinsip Mashlahah
Mashlahah adalah sesuatu yang
ditunjukkan oleh dalil hukum tertentu yang membenarkan atau membatalkannya atas
segala tindakan manusia dalam rangka mencapai tujuan syara’, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, harta benda dan keturunan. Prinsp mashlahah merupaka hal
yang paling esensial dalam bermuamalah. Oleh karena itu pastikan bahwa
investasi yang dilakukan itu dapat memberikan dampak sosial dan lingkungan yang
positif bagi kehidupan masyarakat, baik unuk generasi saat ini maupun yang akan
datang.
4.
Prinsip Ibadah (boleh)
Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum
dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Namun demikian,
kaidah-kaidah umum yang berkaitan dengan muamalah tersebut harus diperhatikan
dan dilaksanakan. Kaida-kaidah umum yang ditetapkan syara’ dimaksud di
antaranya:
a.
Muamalah yang dilakukan oleh seorang muslim harus dalam rangka
mengabdi kepada Allah SWT selalu mengontrol dan mengawasi tindakannya.
b.
Seluruh tindakan muamalah tidak lepas dari nilai-nilai
kemanusiaan dan dilakukan dengan mengetengahkan akhlak terpuji, sesuai dengan
kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di bumi.
c.
Melakukan petimbangan atas kemaslahatan pribadi dan
kemaslahatan masyarakat.
5.
Prinsip Kebebasan Bertransaksi
Prinsip muamalah selanjutnya yaitu
prinsip kebebasan bertransaksi, namun harus disadari prinsip suka sama suka dan
tidak ada pihak yang dizalimi dengan disadari oleh akad yang sah. Disamping
itu, transaksi tidak boleh dilakukan pada produk-produk yang haram seperti daging babi, organ tubuh manusia, pornografi, dan lain
sebagainya.
6.
Prinsip Kerja Sama (Cooporation)
Prinsip transaksi didasarkan pada kerja
sama yang saling menguntungkan dan solidaritas (persaudaraan dan saling
membantu).
7.
Prinsip Membayar Zakat
Mengimplementasiakan zakat merupakan
kewajiban seorang muslim yang mampu secara ekonomi, sebagai wujud kepedulian
sosial.
8.
Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan dalam bermuamalah
adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara para pihak yang melakukan akad
muamalah. Keadilan dalam hal ini dapat dipahami sebagai wujud upaya dalam
menempatkan hak dan kewajiban antara pihak
yang melakukan muamalah, misalnya keadilan dalam pembagian bagi hasil (nisbah)
antar pemilik modal dan pengelola modal.
9.
Pinsip Amanah
Prinsip amanah yaiu prinsip
kepercayaan, kejujuran, tanggung jawab, misalnya dalam hal membuat laporan
keuangan.
10. Prinsip Komitmen Tehadap Akhlakul
Karimah
Seorang pebisnis harus memiliki
komitmen yang kuat untuk mengandalkan akhlak mulia, seperti tekun bekerja
sambil menundukan diri (berzikir kepada Allah), jujur dan dapat dipercaya,
cakap dan komunikatif.
11. Prinsip Terhindar Dari Jual Beli dan
Investasi yang Dilarang.
a)
Terhindar dari Ikhtikaar
Ikhtikaar
adalah upaya dari seseorang untuk
menimbun barang pada saat barang itu langka atau diperkirakan harga akan naik,
seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari. Misalnya menimbun bahan bakar
minyak.
b)
Terhindar dari Ikhtinaz
Ikhtinaz
adalah penimbunan harta seperti uang, emas,
perak dan lain sebagainya. Allah mengancam orang-orang yang menimbun harta
dengan siksaan yang sangat pedih di akhirat kelak sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran
Surah At-Taubah ayat 34-35.
c)
Terhindar dari Tas’ir
Tas’ir
yaitu penetapan harga standar pasar
yang ditetapkan oleh pemerintah atau yang berwenang untuk disosialisasikan
secara paksa kepada masyarakat dalam jual beli. Tas’ir merupakan salah
satu praktik yang dilarang dalam syariat Islam. Pemerintah atau yang memiliki
otoritas ekonomi tidak memiliki hak dan wewenang untuk menentukan harga tetap
sebuah komoditas, kecuali pemerintah telah menyediakan pada para pedagang
jumlah yang cukup untuk dijual dengan menggunakan harga yang telah ditentukan,
atau melihat dan mendapatkan kezaliman-kezaliman yang terjadi di pasar yang
mengakibatkan rusaknya mekanisme pasar yang sehat. Rasulullah SAW Bersabda: “Fluktuasi
harga itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya saya ingin berjumpa dengan-Nya,
dan saya tidak akan melakukan kezaliman pada seseorang, karena ia akan menuntut
saya (di akhirat)”. (H.R. Abu Daud).
d)
Terhindar dari Upaya Melambungkan Harga
e)
Dan lain sebagainya.[55]
Dalam hal ini Ahmad Azhar Basyir juga
menjelaskan bahwa hukum Islam (fikih) mempunyai prinsip-prinsip sebagaimana
dikutip Pujiono yaitu sebagai berikut.
1.
Semua bentuk muamalah adalah mubah (boleh), kecuali yang
ditentukan lain oleh al-Qur’ân dan Sunah Rasul SAW,
2.
Muamalah dilakukan atas dasar sukarela,
3.
Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan
manfaat,
4.
Muamalah dilakukan dengan memelihara nilai keadilan dan
menghindari unsur-unsur penganiayaan.[56]
E.
KESIMPULAN
Fikih muamalah adalah ilmu yang membahas aturan-aturan
(hukum) Allah SWT yang ditujukan kepada umat manusia untuk mengatur urusan duniawi
termasuk di dalamnya masalah sosial kemasyarakatan. Pembagian fikih muamalah
meliputi al-Muamalah al-Madiyah dan al-Mu’amalah al-adabiyah. Al-Muamalah
al-Madiyah yaitu muamalah yang mengkaji objeknya dan bersifat kebendaan.
Sementara itu, al-Mu’amalah al-Adabiyah adalah muamalah yang ditinjau
dari segi cara tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indera.
Ruang lingkup fikih muamalah mengikuti
pembagian daripada fikih muamalah itu sendiri, yaitu ruang lingkup fikih
muamalah yang bersifat adabiyah dan ruang lingkup fikih muamalah yang
bersifat madiyah. Prinsip yang paling mendasar dan penting adalah bahwa hukum awal
segala muamalah adalah mubah (boleh) selagi tidak ada dalil atau nash yang
melarang suatu muamalah tersebut.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ali, Zainuddin. 2009. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar
Grafika.
Cholil,
Abdulloh Arief dkk. 2015. Studi Islam II. Jakarta: Rajawali Pers.
Dahlan, And. Rahman.
2010. Ushul Fiwh. Jakarta: Amzah.
Djamil, Fathurrahman. 2013. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep.
Jakarta: Sinar Grafika.
Ghazaly, Abdul Rahman., Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. 2015. Fiqh Muamalat. Jakrta: Prenadamedia
Group.
Hamid, Abdul dan Ahmad Saebani. 2009. Fiqh Ibadah. Bandung: Pustaka Setia.
Mahfud, Rois.
2011. Al-Islam: Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga.
Mardani.
2012. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.
Muhammad
Azzam, Abdul Aziz. 2010. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam.
Jakarta: Amzah.
Muslich, Ahmad Wardi.
2013. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Nata,
Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Pujiono.
2012. Hukum Islam dan Dinamika Perkembangan Masyarakat: Menguak Pergeseran
Perilaku Kaum Santri. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suhendi, Hendi.
2014. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Syafe'i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifudin,
Amir. 2004. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum
Islam. Jakarta: Zikrul Hakim.
Tihami dan
Sohari Sahrani. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Amzah, 2013), h. 1.
[2] Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh
Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 11.
[3] Abuddin Nata, Studi Islam
Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 240.
[4] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), h. 13.
[5] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.1.
[6] Ibid.
[7] Arif Fakhrudin dan Siti Irhamah, Alhidayah:
Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Banten: Kalim, 2011), h. 233.
[8] Ibid., h. 91.
[9] Ibid., h. 136.
[10] Ibid., h. 141.
[11] Abuddin Nata, Op.Cit., h. 241.
[12] Ibid., h. 132.
[13] Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Op.Cit.,
h. 14.
[14] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Amzah, 2010), h. 6.
[15] Ibid.
[16] Tihami dan Sohari Sahrani, Op.Cit., h.
3.
[17] Abuddin Nata, Op.Cit.
[18] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji
dan Memahami Hukum Islam secara Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim,
2004), h. 4.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid., h. 5.
[22] Fathurrahman Djalil, Hukum Ekonomi
Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 149.
[23] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., h.
2.
[24] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 278.
[25] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 2.
[26] Rois Mahfud, Al-Islam: Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 34.
[27] Abdulloh Arief Cholil dkk, Studi
Islam II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 230.
[28] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), h. 2.
[29] Lihat Rachmat Syafe’i, Op.Cit.,
h. 15.
[30] Hendi Suhendi, Op.Cit.
[31] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., h.
2.
[32] Hendi Suhendi, Op.Cit.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh
Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 6.
[36] Hendi Suhendi, Op.Cit., h. 3.
[37] Rachmat Syafe’i, Op.Cit., h. 17.
[38] Rois Mahfid, Op.Cit., h.35-36.
[39] Hendi Suhendi, Op.Cit., h. 5,
[40] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 3-5.
[41] Abudllah Aref Cholil, Op.Cit., h.
231.
[42] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., h.
4.
[43] Ibid.
[44] Ibid.
[45] Ibid.
[46] Fathurrahman Djamil, Op.Cit., h.
154-155.
[48] Ibid.
[49] Ibid., h. 7.
[50] Ibid.
[51] Fathurrahman Djalil, Op.Cit., h.
154.
[52] Ibid., h. 155.
[53] Ibid.
[54] Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., h.
7-12.
[55] Mardani, Op.Cit. h. 7-12.
[56] Pujiono, Hukum Islam dan Dinamika
Perkembangan Masyarakat: Menguak Pergeseran Perilaku Kaum Santri, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2012), h. 120-121.



0 komentar