Eksistensi Tradisi Kajian Kitab Kuning dalam Lingkup Perubahan Sosial


Eksistensi Tradisi Kajian Kitab Kuning dalam Lingkup
Perubahan Sosial (Studi Kasus di Pesantren Darun
Nahdhah, Darel Hikmah, dan Babussalam)

Oleh: Amrizal, MA
                    

ABSTRACT

This study wants to find answers about how the existence of stsudy of the yellow book (kitab kuning)  at pesantren Darun Nahdhah, Darel Hikmah, and Babussalam within the scope of social change. In general, the three pesantren have responded positively to social change, to make changes and adjustments to the education system, including in order to maintain the tradition of the study of the yellow book. In other words, the identity of pesantren with yellow book still attached at their respective schools. However, its existence is different. Among them, there were made studies of yellow book as co curriculer, together with other curriculum, then there is also making it only limited additional or extra curricular activities.

Keywords: Pesantren, Kitab kuning, Perubahan sosial.

A.  Pendahuluan
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-qutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-‘ashriyah).[1] Di kalangan pesantren kitab-kitab tersebut dikenal sebagai kitab kuning atau kitab gundul yang menjadi reference kajian antara kiyai dan santrinya.[2]
Menurut Martin van Bruinessen, seorang peneliti dari Belanda, pada akhir abad ke-20 ini judul kitab kuning yang beredar di kalangan pesantren Jawa dan Madura jumlahnya mencapai 900 judul. Menurut Steenbrink, hampir seluruh kitab yang dipakai oleh pesantren tersebut berasal dari zaman pertengahan dunia Islam.[4] Pada penelitian sebelumnya yaitu pada akhir abad ke-19 L.W.C. van den Berg hanya menemukan 54 judul kitab kuning. Dengan demikian, terjadi peningkatan yang sangat signifikan jumlah kitab kuning yang beredar di pesantren. Peningkatan tersebut disinyalir disebabkan oleh beberapa faktor; yaitu: (1) banyak kyai yang menulis kitab sendiri, baik dengan menggunakan bahasa Arab, maupun dengan menggunakan bahasa lokal yang ditulis dengan Arab Melayu (pegon), (2) beberapa kyai melakukan penyederhanaan (mukhtashar) terhadap kitab-kitab yang ada dalam rangka penyesuaian materi, bahasa, maupun pembahasannya, (3) mulai diadopsinya kitab-kitab yang tadinya dianggap tabu karena tidak sealiran dengan paham pesantren, misalnya kitab-kitab di luar mazhab Syafi'i, (4) pesantren juga mulai mengaji kitab-kitab al-`ashriyyah, karya ulama modern.[3]
 Sejauh bukti-bukti historis sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa kitab klasik atau kitab kuning teks book merupakan referencesi dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren. Bahkan bisa dikatakan, sejak pertengahan abad ke-19 kajiannya sudah menjadi massal dan permanen sejak ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari program belajarnya di mekah.[5] Namun, waktu bisa berubah. Ketika kebudayaan dan sistem sosial mengalami perubahan, maka pendidikan pun ikut berubah atau dituntut untuk berubah. Karena pendidikan merupakan subsistem kebudayaan atau subsistem sosial. Bila perubahan sosial dianggap linier, maka perubahan ini telah berproses dari era tradisional (pramodern) ke modern. Bagi sebagian kalangan, perubahan sosial kini menuju ke era postmodern. Sekalipun masih bersifat gejala, namun beberapa wacana postmodern tengah memasuki percaturan dan dinamika budaya global, antara lain; wacana pluralisme, multikulturalisme, liberalisme, relativisme, fundamentalisme, back to nature, postpositivisme, postindustrialisme dan sebagainya.
Di dalam arus perubahan, pesantren dengan segala keunikan yang dimilikinya masih diharapkan menjadi penopang berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. keaslian dan kekhasan pesantren di samping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa, juga merupakan kekuatan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral. Oleh sebab itu, arus globalisasi mengandaikan tuntutan profesionalisme dalam mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu. Realitas inilah yang menuntut adanya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan sesuai tuntatan zaman. Signifikansi professionalisme manajemen pendidikan menjadi sebuah keniscayaan di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan perkembangan teknologi modern.[6]
Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis, pesantren sebagaimana diistilahkan Gus Dur sebagai ‘sub kultur’ memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial.[7] Dalam kaitannya dengan respon keilmuan pesantren terhadap dinamika modernitas, setidaknya terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan. Keduanya merupakan upaya kultural keilmuan pesantren, sehingga peradigma keilmuannya tetap menemukan relevansinya dengan perkembangan kontemporer. Pertama, keilmuan pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Kedua, peantren dipandang sebagai lembaga pendidikan, maka kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi terhadap dinamika kekinian.[8] Sebab inilah, perlu dibangun manajemen pesantren yang lebih memberdayakan sumber daya manusia agar siap menghadapi gejala modernitas.
Di antara problem yang dihadapi dunia pesantren adalah sikap para pengampuh pesantren terhadap perubahan sosial yang berpengaruh terhadap keinginan mereka untuk berubah seiring dengan perubahan dimaksud. Maka dalam hal ini, modernisasi pendidikan di dunia pesantren mengalami kendala, atau menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Hal ini terlihat dari pola pengelolaan pesantren yang beragam ketika merespon gagasan tentang modernisasi pendidikan.
Atmaturida mengkategorikan sikap pondok pesantren tersebut kepada tiga sikap, antara lain: (a) Pondok pesantren yang menolak sistem baru dan tetap mempertahankan sistem tradisionalnya; (b) Pondok pesantren yang mempertahankan sistem tradisionalnya, dan memasukkan sistem baru dalam bentuk sekolah yang bercorak klasikal, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Institut/Sekolah Tinggi; (c) Pondok pesantren yang tetap mengajarkan kitab klasik, namun di lingkungan pondok menyelenggarakan sekolah umum, seperti SD, SMP, SMA dan Universitas.[9]
Berdasarkan studi  yang penulis lakukan, pengalaman beberapa pesantren di Pulau Jawa dapat dikatakan sedikit berbeda dengan pengalaman masyarakat Riau. Riau sebagai provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim dan mengidentikkan dirinya dengan negeri melayu, memiliki sejarah panjang dalam tradisi kepesantrenan, khusunya tradisi kajian kitab klasik atau kitab kuning.
Kampar merupakan salah satu kabupaten di Riau yang dianggap amat kental dengan tradisi ini, bahkan menyatakan dirinya sebagai serambi Mekkahnya Riau. Kabupaten Kampar dapat dikatakan sebagai pusat pesantren tradisionil, yang telah melahirkan banyak tokoh keagamaan di Riau. Di antara pesantren yang tua di Kampar misalnya Pesantren Darun Nahdhah, Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tg.Berulak, Pesantren Darus Salam Batu Bersurat, dan sebagainya. Masing-masing mempertahankan ciri tradisionalismenya dan menyatakan dirinya sebagai penegak mazhab Syafiiah.
Belakangan, didirikan pesantren yang telah “termodernisasikan” di Pekanbaru, antara lain; Pesantren Dar al-Hikamah, Pesantren Babus Salam, Pesantren Teknologi Riau, dan sebagainya. Pesantren Babus Salam misalnya, menerapkan sistem sekolahan di lingkungan Pesantren, seperti SMP dan SMA. Pesantren Dar al-Hikmah mengidentikkan dirinya (dan berafiliasi) dengan pesantren modern di Jawa, seperti Pesantren Dar al-Salam di Gontor, Dar al-Najah di Jakarta, dan sebagainya.
Merujuk kepada kategori Atmaturida dan Maghfurin di atas, agaknya tidak ada di antara pesantren di Riau, seperti disebutkan di atas, yang mempertahankan kemurnian tradisi pesatren. Berhadapan dengan modernisasi yang amat pesat, pesantren-pesantren tersebut meresponnya dengan mengadakan perubahan atau pembaharuan, namun respon mereka bervariasi. Untuk  mengetahui respon tersebut, penulis akan mengambil tiga pesantren di provinsi Riau yang memiliki latarbelakang berbeda, yaitu Darun Nahdhah di Bangkingan, Darel Hikmah dan Babussalam di Pekanbaru.

B.  Tradisi Pesantren dan Kajian Kitab Kuning
1.       Pengertian Tradisi, Kajian, dan Kitab Kuning
Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris, tradition yang berarti tradisi.[10] Dalam bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dan sebagainya) yang turun temurun dari nenek moyang hingga anak cucu.[11]
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tradisi pesantren adalah segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati, dan dipraktekkan di pesantren, yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan peradaban yang memebedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan lainnya. Tradisi pesantren juga berarti nilai-nilai yang dipahami, dihayati, diamalkan, dan melekat pada seluruh komponen pesantren sebagaimana tersebut di atas.
Dalam kaitan ini, berdasarkan hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa tradisi yang ada di pesantren tersebut antara lain: (1) tradisi rihlah ilmiah, (2) meneliti, (3) menulis kitab, (4) membaca kitab kuning, (5) praktek thariqat, (6) penghafal, (7) berpolitik, dan (8) tradisi berbahasa Arab, dan (9) tradisi yang bersifat sosial keagamaan lainnya.[12]
Adapun istilah kajian berasal dari kerja ngaji, dan istilah “ngaji” adalah proses bergurunya seorang santri terhadap kiai. Menurut Cak Nur, mgaji adalah bentuk kata kerja aktif dari perkataan “kaji”, yang berarti “mengikuti jejak haji”. Yaitu belajar agama dengan bahasa Arab. Tampaknya, karena keadaan pada abad-abad lalu memaksa orang untuk tinggal lama di tanah suci, sehingga memberi kesempatan padanya untuk belajar agama di Makkah, yang kelak diajarkan kepada orang lain ketika pulang. Yang perlu dicatat di sini adalah hampir rata-rata orang-orang yang menjadi pengasuh  di pondok pesantren, dulunya adalah orang yang pernah mengenyam pendidikan di kota suci. Tokoh utama pendidikan seperti KH. Kholil Bangkalan, KH. Nawawi al-Bantani, KH. Mahfudz al-Tirmasi, bahkan KH. Hasyim al-‘Asy’ari, mereka semua adalah orang-orang yang mengenyam pendidikan di Makkah dalam kurun waktu yang lama. [13]
Selain itu Cak Nur juga menduga bahwa ngaji berasal dari bentuk kerja aktif “aji” yang berarti “terhormat”, “mahal”, “kadang-kadang”. Keterkaitan itu bisa dibuktikan dengan adanya kata aji-aji yang berarti “jimat”. Jadi ngaji dalam hal ini berarti “ mencari sesuatu yang berharga, atau menjadikan diri terhormat, atau berharga”. 
Untuk memutuskan mana pernyataan yang lebih benar dari kedua arti berbeda tersebut tidak memiliki data sejarah yang pasti. Namun demikian, seluruh alasan  yang diungkapkan sangat logis dan mengarah kepada kemuliaan pesantren, kiai, santri, dan pengajian.

2               2.  Tradisi kitab Kuning di Pesantren
Dalam konteks tradisi membaca kitab kuning, seorang peneliti asal Belanda, Martin van Bruinessen, telah menunjukkan dengan jelas tentang adanya tradisi membaca kitab kuning di Pesantren. Melalui bukunya yang berjudul Yellow Book (kitab kuning), Bruinessen menginformasikan bahwa kitab-kitab karangan para kiai sebagaimana tersebut di atas, khususnya karya Nawawi al-Bantani dan Mahfudz al-Tirmizi telah menjadi kitab rujukan utama yang dipelajari di pesantren-pesantren di Pulau Jawa dan sekitarnya. [14]
Dalam dunia pesantren, posisi kitab kuning sangat strategis karena kitab kuning dijadikan sebagai text book, references, dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren. Selain sebagai pedoman bagi tatacara keberagamaan, kitab kuning difungsikan juga oleh kalangan pesantren sebagai referensi universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.[15] Menurut Affandi Mochtar, ada 2 alasan penting yang mendasari pentingnya posisi kitab kuning sebagai referensi dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren. Pertama, kebenaran kitan kuning bagi kalangan pesantren merupakan referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa kitab kuning yang ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa kitab kuning sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang bersandar pada al-Quran dan Hadis Nabi. Kedua, bahwa kitab kuning penting pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam, al-Quran, dan Hadis Nabi.[16]
Pelestarian pengajaran kitab kuning di pesantren telah berjalan terus-menerus,  dan secara kultural telah menjadi ciri khusus pesantren sampai saat ini. Di sini peran kelembagaan pesantren dalam meneruskan tradisi keilmuan klasik sangatlah besar. Pengajaran-pengajaran kitab klasik tersebut pada gilirannya telah menumbuhkan warna tersendiri dalam bentuk paham dan sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini berkembang secara wajar dan mengakar dalam kultur pesantren, baik yang berbentuk dari pengajaran kitab-kitab klasik maupun yang lahir dari pengaruh lingkungan pesantren.[17]
Melalui tradisi membaca kitab kuning ini, para kiai pesantren telah berhasil mewarnai corak kehidupan keagamaan masyarakat pada khususnya dan kehidupan sosial kemasyarakatan pada umumnya. Kuatnya pengaruh ajaran ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di kalangan umat Islam, yang dicirikan dengan penggunaan pahan Asy’ariyah dalam bidang teologi, penggunaan paham al-Syafi’i dalam bidang Fiqh, dan penggunaan Tasawuf al-Ghazali dan Imam al-Junaid dalam bidang tasawuf terjadi karena pengaruh dari tradisi membaca kitab kuning oleh para kiai di pesantren, serta ceramah-ceramah yang mereka sampaikan di masyarakat.[18] Kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren memiliki tingkatan-tingkatan. Tingkatan-tingkatan tersebut ditentukan oleh keadaan santri; tingkat pemula (awwaliyah), tingkat menengah (wushtha), dan tingkat tinggi (`aly). Ada juga tingkatan itu ditentukan pola penyajian kitan itu sendiri, seperti pola matan, syarah, dan khasyiyah. Pola lain dalam penyajian kitab yang tampaknya memperkuat kecenderungan pembagian tingkatan itu adalah kitab-kitab jenis mukhtashar yang merupakan ringkasan dari kitab yang ada, mubassathah atau mutawassithah yang tampaknya berisi tambahan penjelasan, dan muthawwalah yang memberikan tambahan penjelasan yang lebih banyak, namun bukan syarah atau bukan pula khasiyah.
3.    Sebaran Kitab Kuning di Pesantren
Adapun kitab-kitab kuning yang beredar di pesantren-pesantren memiliki beberapa kajian sebagai berikut:[19] (a) Bidang Bahasa Arab[20]; (b) Bidang Ilmu Mantiq[21]; (c) Bidang Ilmu Fiqh; [22](d) Bidang Ushul Fiqh; [23] (e) Bidang tafsir dan ilmu tafsir; [24](f) Bidang hadits dan ilmu hadits; [25] (g) Bidang tauhid; [26](h) Bidang tasawuf; [27]
 Dari sejumlah kajian kitab kuning yang diajarkan di pesantren, fikih merupakan disiplin ilmu yang memperoleh perhatian terbesar,[28] tapi bukan berarti pelajaran lain diabaikan. Karya-karya fikih yang dipelajari di pesantren berada dalam satu alur pemikiran mazhab, khususnya mazhab al-Syafi'i. Survei van Brinessen dalam hal ini perlu dicatat. la mengungkapkan bahwa karya-karya fikih Syafi'i berasal atau merupakan kreasi lanjutan dari tiga kitab kuning pendahulu; masing-masing kitab al-Muharrar karya Rafi'i (w. 625 H11226 M), kitab al-Taqrib karya Abu Syuja' al-Ishfahani (w. 593 H/1197 M) dan kitab Qurrah al-`Ayn karangan Malibari (w. kira-kira 975 H/1567 M). Ketiga kitab ini masing-masing membuat garis sejarah perkembangan sejumlah kitab tersendiri sesudahnya.[29]

4.         Metode Pembelajaran Kitab Kuning
Diskursus mengenai metode pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren Salafiyah tidak akan terlepas dari penggunaan metode tradisional konvensional. Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan untuk menyapaikan ajaran sampai ke tujuan. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren Salafiyah, ajaran adalah apa yang terdapat dalam kitab kuning atau kitab rujukan atau referensi yang dipegang oleh lembaga tersebut. Dalam perjalanannya, selama kurun waktu yang panjang pondok pesantren jenis ini menerapkan beberapa metode pembelajaran diantaranya; wetonan atau bandongan, sorogan dan hafalan (tahfidz) dan munazharah (musyawarah/muzkarah).

C.  Pesantren dan Perubahan Sosial
1.       Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan berasal dari kata ubah yang diberikan awalan per dan akhiran an. W.J.S. Poerwadarminta, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, mengartikan perubahan sebagai keadaan yang berubah dari keadaan yang semula ke dalam bentuk lain.[30] Sedangkan sosial atau masyarakat adalah kumpulan manusia yang bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu dan terikat oleh aturan yang disepakati bersama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pada masyarakat yang sudah maju kesepakatan bersama tersebut didokumentasikan dalam sebuah undang-undang atau peraturan. Sedangkan pada masyarakat yang belum maju atau tradisional, kesepakatan tersebut belum dituliskan, melainkan masih berupa bentuk ucapan atau perbuatan yang dibina dan diawasi pelaksanaannya oleh pemangku adat. Masyarakat yang melanggar undang-undang dan peraturan akan dikenakan sanksi baik perdata maupun pidana. Demikian pula orang yang melanggar adat istiadat yang berlaku di masyarakat juga akan dikenai sanksi yang dilaksankan oleh pemangku adat.
Adapun perubahan sosial merupakan peralihan dari suatu keadaan masyarakat pada suatu keadaan yang baru. Atau bisa juga dikatakan sebagai perubahan satu realitas ke dalam bentuk realitas yang lain, yang berbeda dengan realitas asasnya.  Ada atau tidaknya suatu perubahan di dalam masyarakat hanya dapat dilihat dari gejala-gejala yang tampak. Di antara gejala-gejala tersebut, yaitu: depersonalisasi, adanya frustasi dan apathy (kelumpuhan mental), pertentangan-pertentangan, dan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai norma-norma susila yang hingga kini dianggap mutlak, adanya pendapat-pendapat yang tidak disetujui oleh banyak orang, terjadinya jarak antara generasi (generation gap), dan lain-lain. [31]

2.      Sebab dan Akibat Perubahan Sosial
Pada 1920-an, terjadi tiga pembaruan penting yang diadopsi oleh banyak pesantren, terpengaruh oleh kemajuan pendidikan Islam dari Timur Tengah dan persaingan dengan sistem pendidikan Belanda. [32] Pertama, pembukaan beberapa pesantren untuk santri perempuan. Kedua, penggunaan sistem madrasah, sejenis sekolah Islam yang diadopsi dari Timur Tengah yang memformalkan pendidikan pesantren melalui penggunaan sistem kelas bertingkat-tingkat. Ketiga, penambahan beberapa pengajaran umum seperti Matamatika dan Bahasa Indonesia pada kurikulum. [33]
Menurut Suwendi, sebagai respon terhadap gerakan reformasi Islam tersebut, pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan adjustment yang dianggap tidak hanya mendukung kontinuitas pesantren tetapi juga bermanfaat bagi para santri. Dalam wujudnya secara konkret, pesantren merespon tantangan itu dalam berbagai bentuk.
Pertama, pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subjek-subjek umum dan ketrampilan (vacational). Kedua, pembaruan metodologi seperti klasikal dan penjenjangan; ketiga, pelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan; dan keempat, pembaruan fungsi dari fungsi pendidikan mencakup fungsi sosial ekonomi.
Sebagai bukti empirik yang bisa dilihat sekarang adalah banyaknya pesantren yang menggunakan sistem klasikal, serta pengaturan kurikulum. Bahkan sebagai bentuk negosiasi. Kebanyakan pesantren yang berdiri sekarang ini menggunakan dua sistem pembelajaran sekaligus. Sistem klasikal yang disesuaikan dengan kurikulum pemerintah yang dilakukan pada jam sekolah biasa, mulai dari jam tujuh sampai setengah dua(an); dan selebihnya pengajian wetonan, pada waktu-waktu ba’da shalat, seperti pasca Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh.
Lebih dari itu, beberapa pondok pesantren bahkan mulai menerapkan sistem pembelajaran modern secara penuh, di mana pola pembelajaran semacam ta’lim, wetonan dan sorogan ditiadakan sama sekali. Contoh kasus seperti: Pondok pesantren Gontor, Wali Songo Ngabar, Al Zaitun, dan lain-lain.
Tentang penolakan pesantren terhadap budaya manajemen dan profesionalitas, tampaknya juga bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam laju perkembangan pondok pesantren secara gradual, pondok-pondok pesantren ini juga mulai menggunakan sistem organisasi dalam manajemen pondok. Kiai yang pada mulanya sebagai poros dari struktur keorganisasian secara pelan-pelan mulai bergeser. Proses pergeserannya pun terdiri dari beberapa tahapan. Pada tahapan pertama, jika pada mulanya seluruh manajemen berada dalam tangan kiai, sekarang seorang kiai mulai mengangkat beberapa badal yang disebut pengurus juga seorang kepala pondok/lurah. Pada tahap ini, sudah mulai ada pembagian fungsi keorganisasian, dalam arti tidak setiap kegiatan harus melibatkan peran kiai secara penuh. Namun demikian, peran kiai masih tampak kuat. Pengurus menjalankan fungsi, tetapi tidak begitu substansial.
Pada tahapan kedua, masuknya pengajar-pengajar klasikal selain kiai di pondok pesantren. Secara otomatis kiai mulai membutuhkan bantuan dari luar pondok yang difungsikan untuk mengajar pelajaran-pelajaran tertentu yang tidak dikuasainya. Pun secara otomatis manajemen pada tingkat ini lebih profesional.
Pada tahap ketiga, telah mulai dibentuk yayasan di mana selain pondok pesantren juga berdiri sekolah-sekolah umum. Baik Madrasah Ibtida’iyah (MI) setingkat SD, Madrasah Tsanawiyah (MTs) setingkat SMP, atau Madrasah ‘Aliyah setingkat SMA. Beberapa urusan setiap lembagaa di bawah yayasan itu, memiliki kebijakan sendiri. Namun demikian, peran kiai sebagai kepala yayasan juga masih banyak melakukan intervensi pada hal-hal tertentu; misalnya banyaknya – kalau tidak semuanya – kepala sekolah di bawah yayasan tersebut merupakan anak atau kerabat dari kiai tersebut.
Pada tahap terakhir, hampir sama sengan tahap ketiga, yaitu pondok pesantren melembagakan dirinya sendiri menjadi yayasan; hanya pimpinan pusat tidak lagi terletak pada seorang kiai tunggal. Pada tahap ini, model kepemimpinan kharismatik mulai tercerabut dari akarnya, di mana munculnya pondok pesantren didasarkan atas organisasi modern yang berpijak pada sistem birokrasi yang rasional. Sementara itu posisi kiai tidak lagi di puncak pimpinan tapi sudah berada di bawah naugan organisasi. Pada pola ini, siapa yang akan jadi pimpinan akan dipilih dalam musyawarah tahunan. Salah satu contoh dari pondok pesantren yang menggunakan metode ini adalah Pondok Pesantren As-Syafi’iyah di Jakarta yang sudah menjadi yayasan sejak tahun 1963.[34]
Dalam perkembangan selanjutnya, peranan pesantren terdesak oleh munculnya sekolah-sekolah agama dan sekolah-sekolah umum baik di tingkat dasar maupun tingkat perguruan tinggi. Realitas seperti ini kemudian membuat kecenderungan orang tua untuk lebih memilih sekolah agama atau sekolah uum bagi anak-anaknya. Pun, kecenderungan ini mau tidak mau, membuat beberapa pesantren merombak sedikit pola pembelajarannya untuk menyesuaikan dengan zaman yang menghendakinya, Maka hasilnya, selain masih mempertahannkan pola pembelajaran lama, beberapa pesantren mulai berbenah diri untuk fastaqul khairat. Selain itu, muncullah sekolah-sekolah agama (ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah) serta sekolah-sekolah umum dari rahim pesantren sendiri.
Sayangnya, tidak selamanya harapan sesuai dengan kenyataan. Terbukti, dengan dibukanya pendidikan agama dari rahim pesantren inilah secara otomatis telah mengurangi jam pengajian yang dilakukan seorang kiai dalam pesantren. Masuknya pola pembelajaran dengan kurikulum modern dan pelajaran-pelajaran umum sesuai dengan ditentukan oleh pemerintah, membuat semakin berkurangnya jam baca kitab kuning  oleh seorang kiai dan santrinya. Banyak pesantren akhirnya menjadi pondok yang “serba nanggung”, alias kemampuan baca kuning santrinya kurang bisa dipertanggungawabkan, sementara kemampuan penyerapan pelajaran umum juga belum bersaing dengan sekolah umum di luar pesantren.
Lebih jauh, akibatnya adalah defungsionalisasi pondok pesantren. Bila awalnya orang pergi ke pesantren dengan niatan untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan, justru berbalik arah. Pesantren seakan menjadi “tempat kos” ansich dan tempat kedua setelah pendidikan formal itu sendiri. Orang-orang  yang belajar ke pesantren tidak lagi mereka yang benar-benar ingin belajar agama, dan niatnya pun tidak semata-mata untuk mendalami ktab kuning belaka tetapi mejadi macam-macam.
Pada saat ini ada kebutuhan besar untuk sistem pendidikan nasional yang baru dan banyak siswa pindah dari pesantren dan madrasah ke sistem pemerintah. Dampak perubahan ini adalah pesantren semakin terus-menerus menambah  kurikulum umum pada kurikulum agama, seringkali melalui peningkatan pembangunan sekolah madrasah di pesantren. [35]
Pada tahun 1958, untuk menyatukan sistem madrasah swasta dan meningkatkan mutu pendidikannya, DEPAG menciptakan Kurikulum Madrasah Wajib Belajar. Akan tetapi, madrasah terus menjaga kurikulum tersendiri, jadi sebagai upaya untuk meningkatkan penguasaan pemerintah atas pendidikan Islam dan mengimplementasikan kurikulum tersebut, DEPAG mulai mendirikan madrasah negeri yang diurus oleh pemerintah. Walaupun sudah ada madrasah swasta, namun  upaya pemerintah ini mencoba mempengaruhi madrasah swasta untuk mengadopsi sistem pemerintah. Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri untuk menyamakan kurikulum madrasah melalui implementasi kurikulum nasional. DEPAG memutuskan bahwa kurikulum ini akan termasuk 70% pelajaran umum (termasuk ilmu alam, ilmu sosial, kebudayaan dan bahasa) dan 30% pelajaran beragama (ilmu keagamaan secara umum dan fiqih). Madrasah yang menerima perubahan ini bisa menerima dana dari pemerintah dan siswanya bisa mengambil ujian nasional untuk pendidikan tinggi.[36]

3.    Tradisi Pesantren dalam Tantangan Globalisasi

Globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada “bersatunya” berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas. Globalisasi secara istilah berarti perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antara manusia, organisasi-organisasi sosial, dan pandangan-pandangan dunia.[37]
Memahami pengaruh proses globalisasi ini adalah sangat penting pada topik pesantren. Ketika kita membahas perubahan-perubahan pada pendidikan pesantren di Indonesia, kita harus mengakui proses-proses perubahan sosial yang lebih luas daripada masyarakat Islam di Indonesia saja. Walaupun ada beberapa pengikut Islam yang mencoba menolak perubahan dan pengaruh dari masyarakat luar, tidak ada seorang yang berhasil dalam proses mengabaikan pengaruh-pengaruh ini.[38]
Modernisasi telah membawa dampak begitu besar bagi berlangsungnya sebuah realitas sosial. Ada beberapa fenomena – seperti yang dieksplorasi A. Malik Fadjar,[39] yang bisa diungkap mengenai implikasi dari modernisasi. Pertama, berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media. Seperti televisi, hingga arus informasi tidak lagi bersifat lokal, tetapi nasional bahkan global. Hal ini akan berdampak pada kondisi keragaman atau pun heterogenitas nilai dalam masyarakat, yang akan berpengaruh terhadap nilai-nilai agama yang ada dalam masyarakat.
Kedua, tumbuhnya sikap hidup yang lebih terbuka sehingga memungkinkan terjadinya proses perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan beragama. Ketiga, tumbuhnya sikap hidup rasional, sehingga banyak hal didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang lebih rasional, termasuk dalam menyikapi ajaran agamanya. Keempat, tumbuhnya sikap dan orientasi hidup pada kebendaan atau sikap hidup materialistik. Sehingga ukuran-ukuran hidup kebendaan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan hidup batin.
Kelima, tumbuhnya mobilitas penduduk yang semakin cepat, sehingga mempercepat proses urbanisasi. Keenam, tumbuhnya sikap hidup yang individualistik, sehingga merenggangkan silaturrahmi dan kebersamaan. Ketujuh, munculnya sikap hidup yang cenderung “permisif”, yaitu sikap hidup yang longgar terhadap berbagai bentuk penyimpangan, termasuk penyimpangan terhadap ajaran agamanya.
Berhadapan dengan modernitas, kalangan santri merupakan kalangan yang paling lama melakukan reaksi penerimaan. Gaung kejayaan yang ditawarkan tidak juga membuat mata terbelalak untuk segera mengambil mentah-mentah tradisi modernitas itu. Namun demikan, bukan berarti orang-orang santri lantas bersikap proteksionis dan apatis terhadap laju perkembangan zaman yang telah dihembuskan oleh modernitas.
Dengan berpegang teguh pada prinsip adigum”al-Muhafazhah ‘ala al-Qadim al-Shaalih wa al-Ahzdu bi al-Jadid al-Ashlah” kalangan pesantren coba mulai memilah-milah antara satu persatu dari gebyar modernitas untuk dicari sarinya; mana yang bisa digunakan, dan mana yang tidak. Sayangnya, tindakan yang begitu berhati-hati ini, membuat kalangan pesantren dinilai terlalu lamban hingga akhirnya dituding oleh orang luar pesantren sebagai masyarakat yang apatis terhadap kemajuan zaman.
Namun demikian, masih juga ada kalangan pesantren yang dengan terang bersiap apatis terhadap modernitas . Ada beberapa alasan reaksi mereka antara lain: pertama, kemunculan modernitas yang dari Barat sangat tidak bisa lepas dari dunia Barat itu sendiri. Kalangan ini mencurigai bahwa modernisasi sama halnya dengan westernisasi. Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesatnya di zaman modern – di Barat, menyebabkan ketimpangan luar biasa antara masyarakat Islam dengan masyarakat modern. Dan pada akhirnya, mereka mempertentangkan antara tradisi dan modernitas menjadi sesuatu yang tak beralasan; mengingat pada dasarnya tradisi sendiri bersifat dialogis dan berkembang.
Sebagaimana yang dikatakan Arkoun, bahwa sikap proteksionisme beberpa kalangan Islam terhadap modernitas bisa saja disingkirkan jika mereka konsisten memperlakukan tradisi sebagai “ a living dialogue grounded in common freference to particular creative event”, maka usaha modernisasi sebagai suatu bentuk tindakan kultural menjadi amat penting, dan juga dapat berlangsung dalam perangkat tradisi yang dinamis (dialogis). Sebab, pada dasarnya setiap tradisi tidak menentang kemajuan. Pola seperti inilah yang secara persis terjadi di Barat dalam permulaan modernisasi.[40]
Kemudian , menghadapi krisis kemanusiaan seperti inilah ternyata lembaga pondok pesantren menjadi semacam jawaban yang ditunggu-tunggu- kalau tidak  disebut sebagai sebuah solusi. Tanpa merendahkan sistem pendidikan yang ada, tampaknya pembelajaran yang diterapkan di pondok peantren –masih- lebih efektif dibandinkan dengan pendidikan umum lainnya.
Beberapa hal yang bisa dijadikan alasan antara lain:[41]pertama, dengan menggunakan sistem pembelajaran pondok pesantren ternyata lebih memungkinkan tercapainya target pembelajaran pendidikan siswa pada tiga aspek potensi; (1) aspek kognitif dapat diperoleh dengan menggunakan sistem pembelajaran harian yang diberikan oleh seorang kiai. Karena, sistem pembelajaran di dalam kelas atau pun di dalam pondok inilah yang telah menjadi sarana pemberian pengertian berbagai macam disiplin ilmu yang diajarkan di sana. (2) dan (3) aspek afektif dan psikomotor dapat diperoleh dengan praktek harian. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pada kenyataannya, kehidupan seorang kiai yang disaksikan oleh santri dan praktek tauladan kiai dalam mengamalkan disiplin ilmu yang dimilikinya merupakan pembelajaran terbesar dalam rangka pencapaian dua potensi tersebut. Selain itu, kehidupan bersama antara kiai dan santri, pada akhirnya lebih menumbuhkan hubungan emosional di antara keduanya. Perhatian yang besa yang dberikan kiai kepada santrinya merupakan nilai plus yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lain.
Kedua, tradisi kasih sayang dan saling menghormati merupakan acuan yang dijadikan standar utama. Seorang santri yang kecil diwajibkan untuk menghormati santri yang besar begitu pun sebaliknya seorang santri yang besar diharapkan untuk menyayangi yang kecil. Dengan demikian, pola pembelajaran di pesantren tidak mengenal klasifikasi rangking kelas karena hanya akan mencerabut sifat kemanusiaan anak didik belaka. Siswa seakan menjadi robot yang setiap hari disuguhi  persaingan-persaigan tanpa ada rasa cinta kasih.
Ketiga, pesantren juga mengajarkan rasa tanggungjawab yang tinggi,terlebih pada santri-santri yang sudah lama di pondok pesantren. Pengangkatan beberapa santri yang dianggap cukup capable untuk menjadi badal atau wakil sang kiai , merupakanpola pembelajaran kepemimpinan yang sangat efektif. Pada fase inilah seorang santri dituntut tidak hanya belajar bersikap profesional dengan berbagai macam administrasinya . Lebih dari itu, naluri mendidik dan rasa peduli terhadap adik santri juga mulai diajarkan. Ilmu adalah praktis bukan pada tataran kognitif saja.
Keempat, proses interaksi antar santri yang begitu beragam dalam pondok pesantren, lengap dengan perilaku hariannya, lebih mengajarkan sikap sosial dibandingkan dengan pembelajaran di sekolah umum. Dalam kehidupanpesantren, seorang santri sudah dilatih sejak dini untuk bekerjasama dengan sesama, tidak langsung secara praktek. Kegiatan harian semisal mempersiapkan  makanan dilakukan bersama-sama.
Kelima, pondok pesantren juga mengajarkan kehidupan disiplin untuk para santri. Minimal sehari lima kali seorang santri dikontrol (mengajak tapi condong ke arah perintah) untuk menjalankan ibadah shalat fardhu secara berjama’ah.
Keenam, dalam dunia pesantren, aspek kemandirian betul-betul ditekankan. Dua puluh empat jam, ia lalui setiap harinya dalam sebuah asrama yang terpisah dengan orang tua. Segala macam aktivitas dilakukan secara mandiri.

D. Hasil Penelitian
1.     Pesantren Darun Nahdhah
a.        Sekilas tentang Pesantren Darun Nahdhah
Pondok Pesantren Darun Nahdhah Thawalib Bangkinang merupakan kelanjutan dari Madrasah Daarul Mu’allimin pimpinan H. Syeh Abdul Malik yang didirikan pada tahun 1923. Pesantren ini menggunakan sistem pendidikan khalaqah dan klasikal. Pada awalnya, ia  hanya diperuntukkan bagi santri laki-laki. Sebenarnya ketika itu pesantren telah banyak mengalami kemajuan. Namun ketika Jepang masuk ke wilayah tersebut 21 Maret 1942, membuat kegiatan Darul Mu’allimin terhenti total.
Kurang lebih enam tahun kegiatan Madrasah Darul Mu’allimin terhenti, almarhum Abuya H. M. Nur Mahyuddin, salah seorang murid almarhum Syekh Abdul Malik mengambil prakarsa untuk menghidupkan kembali Madrasah. Setelah melalui musyawarah, akhirnya pada tanggal 11 Januari 1948 disepakati untuk menghidupkan kembali pondok tersebut dengan nama Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (PPDN-TB). Pendirian tersebut ditandai dengan penerimaan santri baru untuk Ibtidaiyah. Barulah pada tanggal 18 Agustus 1948 pesantren tersebut membuka jenjang pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah.
Adapun kegiatan pendidikan formal yang dilasanakan pesantren Darun Nahdhah saat ini meliputi jenjang Tsanawiyah dengan  1048 santri dan Aliyah dengan 446 santri, yang saat ini para santri terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tenaga pengajar/guru berjumlah 91 orang, 15% berpendidikan S2, 75% berpendidikan S1 dari berbagai disiplin ilmu, selebihnya para pegawai tamatan S1 dan SLTA.
Sejak masa berdirinya sampai saat ini Darun Nahdha telah melakukan perubahan mendasar  pada sistem pendidikannya; (1) Sejak tahun 1970 pesantren ini telah memasukkan sistem madrasah (di bawah naungan Kementerian Agama) ke dalam sistem pendidikan  pendidikannya, baik untuk tingkat Tsanawiyah maupun Aliyah. (2) Sejak tahun 2010 pesantren ini telah memangkas  masa studi bagi para santrinya, dari tujuh tahun menjadi enam tahun (tiga tahun untuk Tsanawiyah dan tiga tahun untuk Aliyah).

b.      Kurikulum Pesantren Darun Nahdhah
Pondok Pesantren Darun Nahdhah pada awal berdirinya lebih dikategorikan sebagai pesantren salaf atau tradisional karena lebih mengutamakan pengajian kitab kuning atau lebih berorientasi pada pengajaran pengetahuan agama (tafaqquh fil addin) daripada pengetahuan umum, dengan metode sorogan atau bandongannya. Dengan demikian posisi kitab kuning pada saat itu sangat strategis.
Namun sejak tahun 1970 sebagai respon terhadap kebijakan IAIN Sulthan Syarif Qasim Pekanbaru ketika itu yang mempersyaratkan ijazah Madrasah Aliyah Kemeterian Agama bagi calon mahasiswa barunya, maka Darun Nadhah merubah sistem pendidikannya dengan mengadopsi kurikulum madrasah, dengan harapan para alumninya bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Konsekuensi logis dari masuknya sistem madrasah pada pesantren Darun Nahdhah berpengaruh pada pergeseran  penggunaan sumber belajar. Pada sumber belajar yang digunakan oleh para santri tidak lagi terbatas pada kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning). Buku-buku Islam kontemporer yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia juga telah memasuki pesantren Daarun Nahdhah. Hal ini berarti para santri memiliki sumber belajar lain sebagai komplemen dari kitab kuning. Hal demikian telah mengurangi intensitas kajian dan perhatian santri terhadap kitab kuning. Walaupun demikian, secara formal pesantren ini tidak mengabaikan kajian kitab kuning tapi masih menjadikan  sebagai referensi pokok atau  kurikulum inti (core curriculum) dalam sistem pendidikannya.
Dengan demikian, Darun Nahdhah dapat dikatakan menerapkan kurikulum terpadu dalam sistem pendidikannya; kurikulum madrasah di bawah naungan Kementerian Agama dan kurikulum pesantren (baca: kitab kuning). Untuk tidak menggeser kedudukan kitab kuning dalam kurikulum pesantren maka kurikulum madrasah pada matapelajaran Fiqh, Akidah Akhlak, Quran Hadis, Sejarah Kebudayaan Islam, dan bahasa Arab materi-materinya diambil dari kitab-kitab kuning.
 Adapun mata pelajaran yang berbasis kitab kuning yang diajarkan di Darun Nahdhah adalah:
1)   Tingkat Tsanawiyah
 Fiqih, Tauhid, Tafsir, Tarikh, Ushul Fiqih, Hadits, Musthalah Hadits, Qawa’id al-Lughah al-Arabiyah (nahwu dan sharaf).
2)   Tingkat Aliyah
Seluruh matapelajaran-matapelajaran di atas ditambah dengan matapelajaran Balaghoh, Mantiq, Tarikh Tasyrik.
Pengajaran seluruh materi di atas dilakukan dengan pendekatan qawa’id tarjamah.
c.      Sebaran Kitab Kuning di Darun Nahdhah
1)      Bidang Fiqh
 Nihayat al-Zain, Safinah al-Najah, Fathul Mu’in, Kasyifat Al-Saja, Taqrib, Fath al-Qarib, Kifayatu al-Akhyar, Iqna, Hasyiyah Bajuri, Minhaj al-Thalibin, Minhaj al- Thullab, Mughni al-Muhtaj, Nihayah al-Muhtaj, Fath al-Wahhab, Minhaj al-Qawim, Sullam al-Taufiq, Syarah Sittin, Zubad, Mawahib as-Shamad, Riyad al-Badi’ah, Rohabiyah, Bugyah at- Mustarsyidin, Bidayah Al Hidayah, Al Mahali, Tahrir, Sulam al-Munajat, Uqud al-Lujain, Muhadzab, Fiqh al-Wadih, Tuhfatut Tulab, Nailu al-Author, Safinat as-Salah, Sulam as- Safinah.
2)      Bidang ushul fiqih
Waraqat/Syarah Al-Waraqat, Lathaifulisyarah, Gayatulwusul, Jam’ul Jawami’, Lubbul Usul, Al Luma’, Al-Asybah wa Al-Nadhair.
3)      Bidang Nahwu
Matan/Syarh Jurumiyah, Mukhtasar Jiddan, Mulhatul’irab, ‘lmriti, Alfiyah lbnu Malik, Mutamimah, Qowaidul l’rab, Awamil, Fathu Rabul Bariyyah, Al Kawakib al- Duriyyah, Qatrun Nada, Alfiyah Khudari, Syuzurud dahab.
4)      Bidang sharaf
Nadom Maqsud, Kitabu Tasrif, Kailani, Matan Kailani, Al Bina Wal Asas, Tashilul Amani, Kafrawi, Mugni Labib.
5)      Bidang balaghoh
Matan Jauharul Maknun, Syarah Jauharul Maknun, dan Uquduj Zuman.
6)      Bidang tafsir
Jalalain, Munir, lbnu Kasir, Tafsir Yasin, Al Tahbir, Baidowi, Jamiul Bayan/ Tabari, Al Kazin.
7)      Bidang ilmu tafsir
Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran, Asbabun Nuzul, Ilmut Tafsir, Al Burhan fi UlumilQur’an, Al ltqan, Itmamu Diraya.
8)      Bidang hadits dan ilmu hadits
 Arba’in nawawi, Tanqihul qaul, Riyadussalihin, Adzkarunnawawi, Sahih Buchori, Durratunnasihin, Syarah NadzomBaiquniyah, Minhaj Dzawinnazhar, Alfiyah Suyuti, Al Muwato, Usfuriyah, Majalisus Saniyah, Tanqihul Qaul, Sunan Tirmizi, Sunan Nasal, Sunan Abu daud, Sunan lbnu Majah, Sahih Muslim, Al jami’ As Sagir.
9)      Bidang tauhid
 Matan Tijanuddirari, Syarh Tijanuddirari, ‘Aqidatul Awam, Umul Barahin, Sanusiyah, Syu’bun Iman, Qatrul Gais, Qamiuttugyan, Kifayatul Awam, Bahjatul Wasail, Nuruz Zulum, Daqaiqul Akhbar, Kharidatul Bahiyah, Fathul Majid, Dasuki, Hudhud, Syarqowi, Usuluddin.
10)  Bidang tasawuf
Hikam/Syarh, lhya Ulumuddin, Risalah Muawanah, Nasaihuddiniyah, Sirajuttalibin, Bidayatulhidayah, Tanwirul Qulub, Salalimul Fudhala, Irsyadul Ibad, Kasyfus Saja, Dalilul Khairat, Hidayatul Adkiya, Sairus Salikin, Hidayatus Salikin, Tanbihul Gafilin, Mudrajus suhud, Irsyad al Fuhul, Zurratun Nasihin, Sabilul Izkar, Mauizatul Mu’minin, Insan Kamil, Al Maftuhah Arabi, Fathu Rabb Al bariyah. Dan dalam bidang akhlak diajarkan: Matan/syarahTa’limulmu ta’allim, Ahlak lil Banin, Akhlak lil Banat, Munadorotul walidiyah, Wasaya, ‘Idotu nnasi’in, ls’adur Rafiq, Tafrihatul Wildan, Wa saya, Nasaihul Ibad, Qamiut Tugyan, Taisirul Khalaq, Nazmul Matlab, Nazmul Akhlaq, Tahliyah,
Makarjmul Akhlak, Washiyah Al Mustofa.

Tidak semua kitab-kitab tersebut diajarkan kyai atau ustadz/ustazdah atau dipelajari sendiri oleh santri/wati, tapi hanya sebagian kecil saja. Di antara kitab-kitab yang dipelajari adalah seperti pada tabel berikut:

No
Mata Pelajaran
Nama Kitab
Kelas & Ket
1
Hadits
Al-Arbain al-Nawawiyah
V


Bulughul Marom
VI
2
Tajwid
Zad Mubtadi
I & II


Aqidah al Awam
III


Matan Ibrahim al-Bajuriy
IV


Al-Kharidah al-Bahiyah
V


As-Sanusiyah
VI
3
Fiqh
Fasalatan
I


Hidayah al-Mubtadi



Safinah al-Salah
II


Tanwir al-Hija
III


Sullam at-Taufiq
IV


Fath al-Qarib
V dan VI


Uyun al-Masail li an-Nisa
VI
4
Nahwu
Al-Awamil
III


Al-Jurumiyah
IV


Al-Fushul al-Fikriyah
V


Al-Amriti
VI
5
Sharf
Al-Amsilah al-Tasrifiyah dan  Qaidah Nasar
III


Al-Amsilah al-Tasrifiyah,  Al-Qawaid al-Sarfiyah dan al-I’lal
IV


Al-Amsilah al-Tasrifiyah
V


Al-I’lal
V


Al-Maqsud
VI
6
Ilmu Tajwid
Fath al-Rahman
II


Hidayah al-Sibyan
III


Tuhfah al-Atfal
IV


Al-Jazariyah
V
7
Ilmu Akhlak
Nazm al-Akhlak
I


Nazm al-Matlab
II


Wasaya
III


Tahliyah
IV


Taisir al-Khallaq
V
8
Ilmu Imla
Qawaid al-Imla
VI
9
Ilmu khat
Mabadi Qiraah Asriyah
I dan II
10
Bahasa Arab
Ra’sun sirah
I


Mabadi Muhawarah li al-Atfal
II


Ta’lim al-lughah al-Arabiyah
III s.d V


d    



f.Metode Pengajaran 
 Secara formal pembelajaran di Darun Nahdhah dilaksanakan dengan sistem klasikal, dengan menggunakan metode dan strategi yang variatif. Khusus dalam konteks pembelajaran kitan kuning dilaksanakan dengan metode qawa’id tarjamah; untuk tingkat Tsanawiyah diawali dengan bacaan kitab oleh kyai/ustadz/ustadza, sambil mendengarkan santri memberi harakat setiap kata, kemudian nash tersebut diterjemahkan dan diberi penjelasan. Adapun untuk tingkat Madrasah Aliyah lebih kurang sama dengan tingkat tsanawiyah. Hanya saja, sekali waktu pembelajaran diawali dengan bacaan kitab oleh santri kemudian bacaan tersebut didiskusikan berdasarkan aturan qawa’id yang ada.
Dalam menjelaskan sebuah materi yang terdapat di sebuah kitab tidak jarang kyai memberikan penjelasan yang berkait dengan tatanan dan perilaku di masyarakat. Sehingga apa yang disampaikan dapat menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi para santri sebagai bekal,  menjadi evaluator dan memberikan kritik membangun tentang keadaan sosial, ekonomi, politik, terhadap pemerintah sesuai dengan tema materi yang sedang dibaca kyai. Setiap santri memperhatikan kitabnya masing-masing dan membuat catatan-catatan (baik arti per kata, maupun keterangan kyai) yang dianggap penting dan diberi catatan di tepi kitab kanan atau kiri, sedangkan terjemahannya ditulis dibawah teks kitab dengan huruf Arab dengan bahasa Arab yang searti dengan kata-kata diatasnya atau dengan bahasa arab melayu atau dengan bahasa Indonesia.
Tradisi kajian kitab kuning tidak hanya dilakukan secara formal (klasikal) tapi juga secara nonformal, yaitu dilaksanakan satu kali dalam seminggu yang disampaikan oleh Abuya, dan bertempat di mesjid kampus. Kajiannya focus pada materi qawa’id al-‘arabiyah.

e.    Santri yang Belajar
Santri/wati pesantren Darun Nahdah terbagi dua; santri muqim, artinya santri yang tinggal 24 jam di pesanren; dan ghair muqim, artinya santri yang hanya mengikuti pembelajaran  secara formal/tidak tinggal di pesantren. Santri muqim merupakan mereka-mereka yang berasal dari jauh (mayoritas berasal dari luar kota Bangkinang). Adapun santri ghair muqim mayoritas berasal dari daerah bangkinang.
Dengan demikian, pesantren tidak mewajibkan seluruh santrinya muqim/tinggal di pesantren. Hal ini disebabkan oleh kurangnya lahan dan sarana pemondokan. Di samping itu, hal tersebut merupakan keinginan wali santri yang ingin anaknya belajar di pesantren namun masih bisa jumpa keseharian dengan anak-anaknya. Bagi santri muqim, mereka masih bisa mengikuti kegiatan-kegiatan tambahan; halaqah yang diasuh langsung oleh abuya, tahsin dan tahfiz al-Quran, mudzakarah, dan lain sebagainya.

2.      Pesantren Darel Hikmah
 a.      Sekilas Tentang Darel Himah
Pondok Pesantren Darul Hikmah atau Dar El Hikmah (PPDH) didirikan pada tahun 1987 di jalan Manyar Sakti km.12 Simpang Baru Panam Pekanbaru. Pesantren berada di bawah naungan Yayasan Nur Iman Pekanbaru  dengan akte notaris tanggal 12 September 1987 No 43 oleh notaris Tajib Raharjo, SH . Sejak saat itu pembangunan fisik pun dimulai. Namun, setelah pembangunan rampung tidak serta-merta kegiatan pesantren dapat dilaksanakan dikarenakan tenaga manajerial profesional yang belum ada.
Berkat bantuan almarhum Bapak DR.H. Satria Efendi M. Zen, salah seorang tokoh masyarakat Riau di Jakarta, dan dosen pasca sarjana pada IAIN Syarif hidayatullah Jakarta serta salah seorang Pembina di Pondok Pesantren darunnajah Jakarta, yang menghubungi Bapak Drs. KH. Mahrus Amin selaku Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, maka semakin jelas dan terarahlah langkah dan cita yayasan untuk mendirikan pondok pesantren di bumi lancing kuning. Selanjutnya dijalin kerjasama dengan Pondok Pesantren Darunnjaah Jakarta.
Pada pertemuan yang diadakan pada tanggal 20 April 1991 yang dihadiri oleh segenap pengurus Yayasan Nur Iman Pekanbaru dan simpatisan dari Jakarta antara lain almarhum DR.H. Satria Efendi M. Zein dan Drs. KH. Mahrus Amin ditetapkan dan disepakati bahwa pondok pesantren ini diberi nama "Pondok Pesantren Dar El Hikmah".
Pada tanggal 8 Agustus 1991 barulah Pondok Pesantren ini dikenalkan kepada masyarakat dan secara resmi dibuka operasional pemakaiannya oleh Bapak Oesman Effendi Affan, SH, Walikota Pekanbaru, di kampus Pondok Pesantren Dar El Hikmah beralamat di jalan Manyar Sakti Km.12 Desa Simpang Baru Kec. Tampan Kotamadya Pekanbaru.
Saat ini pesantren Darel Hikmah mengelola empat lembaga pendidikan; Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan SMK.

b.      Kurikulum Pesantren Darel Hikmah
Ada dua bentuk kurikulum yang diberlakukan oleh pesantren Darel Hikmah; kurikulum pemerintah dan kurikulum pesantren. Sejak awal berdirinya, pesantren Darel Hikmah telah mengambil bentuk sistem madrasah atau sekolah dalam sistem pendidikannya. Kurikulum utamanya berasal dari kurikulum pemerintah.
Adapun kajian kitab kuning – ketika itu – hanya menjadi kegiatan ektrakurikuler yang dilaksanakan setiap ba’da maghrib dan ba’da subuh. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh santri baik tingkat Tsanawiyah, Aliyah, maupun SMK. Ada tiga materi yang disampaikan; kajian hadis dengan menggunakan kitab Riyadhus Sholihin, kajian tafsir dengan kitab Jalalain, dan kajian tarbiyah dengan kitab Ta’limul Muta’allim. Kajian-kajian tersebut dilakukan di mesjid.
Di samping itu, kajian kitab kuning non formal lainnya dilakukan secara klasikal khusus bagi santri Madrasah Aliyah, rinciannya sebagai berikut:

No
Kelas
Bidang Studi
Nama Kitab
1
I
Nahwu
Mukhtasor Jiddan
2
Fiqh
Fathul Qarib
3
II
Nahwu
Imrity
4
Fiqh
Fathul Qarib
5
III
Fiqh
Fathul Mu’in
6
Tauhid
Minhajul Abidin

Namun sejak tahun 2013 - untuk tingkat Aliyah - kajian kitab kuning mulai diformalkan dengan subjek yang lebih banyak, seperti sebagai berikut:
No
Bidang Studi
Nama Kitab
Ket
1
Fiqh
Kifayatul Akhyar

2
Nahwu
Mukhtasar Jiddan

3
Musthalah Hadis
Taisir Musthalah Hadis

4
Ushul Fiqh
Mabadi Awaliyah

5
Hadis
Bulughul Marom

6
Tafsir
Tafsir Jalalain

7
Ulum Tafsir




c.      Sebaran Kitab Kuning
Sebaran kitab kitab kuning di pesantren Darel Hikmah sangat terbatas. Informasi yang diperoleh dari petugas pustaka pondok bahwa kitab kuning yang ada lebih kurang hanya 12 judul saja, dan jarang dibaca dan dipinjam oleh santri.
d.      Metode Pembelajaran
Adapun metode pembelajaran yang diterapkan sangat variatif. Di samping menerapkan metode-metode modern juga menerapkan  metode pengajaran salafiyah/tradisional seperti sorogan, bandongan, halaqoh. Sedangkan bahasa pengantar di dalam kelas adalah bahasa Arab untuk pelajaran-pelajaran agama Islam dan bahasa Arab, dan bahasa Inggris untuk pelajaran bahasa Inggris. Untuk pelajaran umum lainnya menggunakan bahasa Indonesia. Namun berdasarkan observasi bi’ah lughawiyah di pesantren belum terbentuk sepenuhnya.
e.      Santri yang Belajar
Seluruh santri pesantren Darel Hikmah wajib muqim. Hal tersebut memberikan kesempatan yang sama seluruh santri untuk mendapatkan pelatihan, pembinaan, dan pendidikan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pihak peantren.

3.      Pesantren Babussalam 
a.      Sekilas tentang Babussalam
Pesantren Babussalam yang berdiri dalam kompleks seluas ±10 Ha   diresmikan pada tahun 1985 oleh Gubernur Riau yang saat itu dijabat oleh Bapak H. Imam  Munandar (alm). Pesantren ini berada di bawah naungan yayasan Syekh Abdul Wahab Rokan  yang saat ini dipimpin oleh Syekh Haji Ismail Royan. Yayasan ini didirikan pada tanggal 21 November 1979 yang bertepatan dengan  tanggal 1 Muharram 1400 H, oleh Almarhum H. Ahmad Royan dan Almarhumah Hj. Faridah yang dikukuhkan melalui  Akta Notaris Syawal Sutan Diatas Nomor 56. Nama Yayasan ini diambil dari nama seorang ulama yang  mengembangkan tariqat naqsabandiah dan pejuang Islam di Indonesia.
Berbeda dengan pesantren kebanyakan, Babussalam memulai kiprahnya dengan mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun 1985. SMP ini mengalami kemajuan yang signifikan. Hal tersebut terlihat pada peningkatan status  yang tadinya TERDAFTAR menjadi DISAMAKAN pada tahun 1996. Di tahun 2002 statusnya tergolong sekolah potensial sesuai SK Mendiknas RI No. 287/C/KEP/PM/2003. Dan pada tahun 2005, Badan Akreditasi Nasional Provinsi Riau telah melakukan akreditasi terhadap SMP Babussalam dengan hasil predikat A (Amat Baik). Kembali di tahun 2011 Badan Akreditasi Nasional Provinsi iau melakukan akreditasi terhadap SMP Babusslam dengan memperoleh hasil predikat "Akeditasi A (nilai 98,78)".
Kemudian tahun 1988 Babussalam mengembangkan lembaga pendidikannya dengan mendirikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan gedung sekolah yang terpusat sebanyak 3 lantai, menjadikan SMA Babussalam salah satu unit pendidikan yang dilengkapi dengan fasilitas laboratorium memadai (Lab.komputer, lab. fisika, lab.kimia, lab.biaologi dan lab.bahasa).Dalam pengelolaannya, SMA Babussalam selalu berorientasi pada mutu (quality) sehingga memiliki status  DISAMAKAN sejak tahun 2000. Melalui Badan Akreditasi Nasional Provinsi Riau, SMA Babussalam di tahun 2005 memiliki hasil akreditasi dengan predikat "Akreditasi A (nilai 98.51)"
Untuk tingkat SMP dan SMA Babussalam menggunakan sistem pendidikan asrama (boarding school). Semua santrinya wajib tnggal di asrama.

b.      Kurikulum Pesantren Babussalam
Kurikulum Pesantren Babussalam mengambil pola kurikulum terintegras antara kurikulum umum (Diknas) dengan kurikulum agama (Pesantren). Untuk kurikulum agama Babussalam mengadopsi kurikulum madrasah (kementerian agama). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kajian kitab kuning  bukan merupakan tradisi pesantren ini. Adapun sistem boarding school yang diterapkan tak lain adalah untuk mewujudkan visi Babussalam: “ melahirkan Generasi Islami, yang  Beriman, Berilmu, Beramal dan  Berakhlak mulia serta Berbudaya Melayu, Mandiri, Berdaya saing Tinggi dalam Dunia global”.
Namun saat ini mulai tahun 2013 Babussalam melakukan perubahan terhadap kurikulum pesantrennya. Ia tidak lagi mengadopsi kurikulum madrasah untuk mata pelajaran agamanya, tetapi menjadikan kitab kuning sebagai referensinya dan terintegrasi (formal) dengan kurikulum umum (Diknas). Perubahan ini dilakukan sebagai jawaban dari asumsi masyarakat bahwa pesantren identik dengan kitab kuningnya; bahwa ternyata Babussalam selalu mendapat undangan untuk mengikuti Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK) baik tingkat lokal maupun nasional.
Berikut ini kitab-kitab kuning yang digunakan:
No
Bidang Studi
Nama Kitab
Jenjang
1
Tafsir
Tafsir Jalalain
SMP


Tafsir  al-Qurtuby
SMA
2
Hadis
Arba’in Nawawi
SMP


Arba;in Nawawi
SMA
3
Fiqh
Shofwatun Najah
SMP


Kasyfi al-Saja’
SMP
4
SKI
Khalashoh Nurul Yaqin
SMP


Syiroh Nabawiyah
SMA
5
Nahwu
Matan Jurumiyah
SMP


Imrity
SMA
6
Sharaf
Amtsilah Tashrifiyah
SMP


Tashriful Wadhihah
SMA
7
Akidah
Aqidatul Awam
SMP



SMA
8
Muhadatsah
Al-Hiwar lil Mubtadiin
SMP


Al-Hiwar lil Mubtadiin
SMA

Di samping itu, dalam rangka mensukseskan orientasi barunya – pesantren yang identik dengan bahasa Arab dan kitab kuningnya - Babussalam mengadakan pelatihan bahasa Arab untuk para gurunya. Hal tersebut di adaakan dua kali dalam seminggu.


E.  Kesimpulan

Ketiga pondok pesantren, Darun Nahdhah di Bangkinang, Darel Hikmah dan Babussalam di Pekanbaru merupakan pesantren bertipologi khalafiyah. Pesantren-pesantren ini telah mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Pesantren-pesantren ini telah memasukkan  pengetahuan-pengetahuan umum di dalam kurikulum pendidikannya , bahkan sejak awal-awal berdirinya. Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang hanya sekedar pelengkap, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi.
Dengan karakter dan keunikan masing-masing, ketiga pesantren ini telah melakukan perubahan-perubahan terkait tradisi kajian kitab kuning; pesantren Darun Nahdhah telah merubah kurikukulumnya dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebijakan di luar dirinya. Yaitu bahwa IAIN Pekanbaru kala itu telah mempersyaratkan ijazah Madrasah Aliyah Negeri (MAN)  bagi tamatan pesantren yang ingin melanjutkan studinya; pesantren Darel Hikmah telah merubah tradisi kitab kuningnya dari program tambahan/pelengkap ke program inti (ekstrakurikuler ke kurikuler) disebabkan minimnya sumber daya manusia (guru) yang mampu mengampu kajian-kajian kitab kuning; Babussalam pun telah membuat perubahan terhadap kurikulum agamanya, dari “kitab putih” (kurikulum keagamaan madrasah) ke kitab kuning. Alasannya sangat pragmatis dan sederhana. Yaitu untuk menjawab tantangan eksternal untuk bisa mengikuti perlombaan Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK).
Sekali lagi, sebuah penelitian membuktikan bahwa tradisi kajian kitab kuning di pesantren-pesantren tidak dibawa hanyut oleh masa. Dari awal-awal munculnya sampai saat ini, pesantren masih mampu mempertahankan tradisi tersebut. Adanya perubahan sosial  yang menyebabkan lahirnya  ragam visi dan misi pada awal berdirinya  sebuah pesantren  -  walaupun, misalnya, keluar  dari karakteristik  sebuah  pesantren;  tanpa kiai,  tanpa kitab kuning, dan lain-lain – belum lagi mampu menghilangkan imej bahwa pesantren identik dengan kitab kuning.  Hasil penelitian ini menunjukkan, untuk kasus pesantren darel Hikmah dan pesantren Babussalam,  akhirnya,  come back-nya pesantren-pesantren “yang tersesat jalan”.  Artinya, tradisi kajian kitab kuning yang pada  awalnya  tidak ada, atau diperlakukan sebagai kegiatan tambahan atau ekstrakurikuler, pada akhirnya kembali ada dan diperlakukan sebagai core curriculum.



[1]Marzuki Wahid dkk. (ed.), Pesantren Masa Depan: wacana Pemberdayaan Dan Traspormasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 222.
[2]Lihat Ali Yafie, Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam, dalam „Pesantren” jurnal Vol. VI (1), Tahun 1988, h. 3.
[3] Lihat DEPAG RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, Jakarta, DEPAG, 2001, h., 32.
[4]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta, Bulam Bintang, 1984, h., 157.
[5]Lihat: Abdurrahman Wahid, Asal-Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren, dalam “Pesantren” Jurnal, No. Perdana (1984), h. 8.
[6] Ibid., h. 8.
[7] Amin Haedari, dkk., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), h.76
[8] 8 Ibid., h. 78-79
[9]Atmaturida, Sistem Pengelolaan Pondok Pesantren, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2001), h. 28.

[10] Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1980), cet. VIII, h. 599
[11] Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, h. 1089
[12]Lihat Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada, 2013), h. 315
[13] Lihat Amir Haedari, op. cit., h. 5
[14] Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), cet. III, h. 27
[15] Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 185
[16] Lihat Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum”, dalam Said Aqiel Sirajd (ed.), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Tranformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 235-236
[17] Lihat Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 90
[18] Abuddin Nata, op. cit., h. 321-322
[19] Mochtar dalam Wahid, dkk (Ed.), op. cit., h. 241-244
[20] Kitab kuning dalam disiplin bahasa Arab berkaitan erat terutama dengan masalah-masalah nahwu, shorf dan balaghah. Kitab kuning shorf paling dasar bagi para pemula adalah Al-Bina wa Al-Asas karya Mulla Al-Danqari, kemudian dilanjutkan kitab Al-Tashrif buah karya Ibrahmin Al-Zanzani atau kitab Al-Maqshud. Dalam bidang ini, kitab dalam bahasa jawa pun beredar misalnya kitab Al-Amsilah Al-Tashrifiyyah karya Muhammad Ma’shum bin Ali, asal Lasem, Jawa Tengah dan shorf mlangi hasil anggitan Kyai Nur Iman dari Mlangi, Yogyakarta. Setelah itu setingkat lebih tinggi ada kitab kuning syarkh (komentar) atas Al-Maqshud yaitu Hall Al-Maqal karya Muhammad Ullays (w. 1881 M) dan komentar atas Al-Tashrif yaitu Kaylani karya Ali Ibn Hisyam Al-Kaylani. Sedangkan dalam bidang Nahwu, kitab kuning pemula adalah Al-Awamil Al-Miah karya Abd Al-Qahir Ibn Abdirrahman Al-Jurjani (w. 471 H), Al-Muqaddimah Al-Ajrumiyyah karya Abu Abdillah Ibn Dawud Al-Shanhaji bin Ajrum (w. 723 H). Kemudian kajian nahwu tingkat menengah menggunakan Al-Durar Al-Bahiyyah yang dikenal dengan ‘Imrithi karangan Syarf Ibn Yahya  Al-Anshari Al-Imrithi dan lebih tinggi lagi menggunakan kitab kuning Al-Mutammimah karya Samsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Ru’yani Al-Khatabi dan Alfiyyah Ibn Malik beserta kitab kuning syarkh yang dikenal dengan Ibn Aqil anggitan Abdullah bin Abdirrahman Al-Aqil. Adapun yang membahas balaghah sekurang-kurangnya ada tiga kitab kuning yang terkenal yaitu Al-Jauhar Al-Maknun karya Abdurrahman Al-Akhdari (w. 920 H/1514 M), Al-Mursyid Ala Uqud Al-Juman fi ‘Ilm Al-Maani wa Al-Bayan karya Jalaluddin Al-Suyuthi yang meupakan edisi nadzm dari ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan karya Sirajuddin Al-Sakkaki dan Al-Risalah Al-Samarqandiyyah karya Abu Al-Qasim Al-Samarqandi.
[21] Kitab kuning yang paling terkenal dalam masalah ini adalah Al-Sulam Al-Munawarraq fi ‘Ilm Al-Manthiq karya Al-Akhdar, pengarang kitab Al-Jauhar Al-Maknun. Komentar atas kitab kuning ini dibuatnya sendiri dalam Idat Al-Mubham min Ma’ani Al-Sulam. Selain itu ada satu lagi kitab kuning manthiq yang selalu dikaji di pesantren yaitu Isaghuzi, karya Atsiruddin Mufadhdhal Al-Bahri (w. 663 H/1264 M).
[22] Adapun kitab kuning dalam bidang fiqh hampir semua yang beredar termasuk dalam kriteria fiqh Madzhab Syafi’i. Van Bruinessen mengungkapkan bahwa karya-karya fiqh Syafi’i berasal atau merupakan kreasi lanjutan dari tiga kitab kuning yang muncul sebelumnya yaitu Al-Muharrar karya Al-Rafi’i (w. 625 H/1226 M), Al-Taqrib karya Abu Syuja’ Al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) dan Qurrah Al-Ayn karangan Al-Malibari (w. 9756 H/1567 M). Dari garis Al-Muharrar lahir Minhaj Al-Thalibin karya Abu Zakariyya Yahya An-Nawawi (w. 676 H/1277-8 H). Kemudian generasi berikutnya kitab-kitab kuning yang ada merupakan syarkh atas Minhaj yaitu Tuhfah Al-Muhtaj karya Ibn Hajar Al-Haytami (w. 973 H/1565-6 M) dan Nihayah Al-Muhtaj karya Samsuddin Al-Romli (w. 1004 H/1595-6 M). Begitu juga Mughni Al-Muhtaj karya Khatib Al-Syarbini (w. 977H/1569-70 M), Kanz Al-Raghibin yang lebih dikenal dengan Al-Mahalli karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H/1460 M) dan Minhaj Al-Thullab karya Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H1520 M). Generasi ketiga dari kitab Al-Muharrar adalah karya Al-Anshari, Fath Al-Wahhab yang merupakan ringkasan dari karyanya sendiri yaitu Minhaj Al-Thullab. Kitab kuning lainnya dari generasi ini hanya merupakan ringkasan dan intisari dari kitab kuning generasi sebelumnya. Sementara itu dari kitab Fath Al-Wahab lahir dua kitab hasyiyah (komentar atas komentar), masing-masing oleh Bujayrimi (w. 1221 H/1806 M) dan Jamal (w. 1204 H/1780-90 M).
Adapun dari kitab Ghayah wa Al-Taqrib karya Abu Syuja juga lahir dan berkembang sejumlah kitab kuning di lingkungan pesantren. Dari kitab ini muncul Al-Iqna’ karya Syarbini (w. 977 H/1569-70 M), Kifayah Al-Akhyar karya Al-Dimasyqi (w. 829 H/1426 M0 danb Fath Al-Qarib karya Ibn Qasim (w. 918 H/1512 M). Garis lain dari fiqh Syafi’i adalah Kitab Qurrah Al-‘Ayn karya Al-Malibari. Dari sini lahirlah Nihayah Al-Zayn karya Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Fath Al-Mu’in karya lanjutan Al-Malibari sendiri. Kemudian dua kitab kuning lain lahir dari Fath Al-Mu’in yaitu I’anah Al-Thalibin karya Sayyid Bakri (w. 1893 M) dan Tarsyih Al-Mustafidin karangan Alwi Al-Saqqaf (w. 1916 M).
Dalam daftar van den Berg ada garis lain yakni kitab kuning elementer abad ke 9 H, yaitu kitab Muqaddimah Al-Hadhramiyyah karya Abdullah bin Abdul Karim ba-Fadhal. Dari garis ini lahir Minhaj Al-Qawim karya Ibn Hajar, yang kemudian pada abad ke 18 melahirkan Al-Hawasyi Al-Madaniyyah karya Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi. Melalui garis ini, kitab kuning yang paling terkenal dan beredar di hampir seluruh pesantren di Jawa hanya kitab Minhaj Al-Qawim yang kandungannya terbatas pada fiqh ibadah saja. Adapun dua kitab komentar lagi atas kitab Al-Muqadddimah adalah karya Syaikh Mahfudz Al-Tirmisi dan Busyr Al-Karim bi Syarkh Masail Ta’lim ala Muqaddimat Al-Hadhramiyyah karya Said bin M. Bahsin.
[23] Dalam bidang Ushul Fiqh pesantren mengenal beberapa kitab di antranya Al-Waraqat karya Imam Al-Haramayn (419-478 H/1028-1085 M), Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh karya Abu Ishaq Al-Syairazi Al-Syafi’i (w. 476 H), Lathaif Al-Isyarat dan Jam’ Al-Jawami’ karya Tajuddin Al-Subki (w. 769 H) serta Al-Asybah wa Al-Nadzair karya Jalaluddin Al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M).Kitab Jam’ Al-Jawami’ karya Al-Subki mendapatkan komentar dalam Lubb Al-Ushul karya Abu Zakariya Al-Anshari. Lubb Al-Ushul sendiri mendapatkan komentar oleh Muhammad Al-Jauhari dan Abu Zakariya Al-Anshari dalam Ghayah Al-Wushul. Jalaluddin Al-Mahalli juga mempunyai komentar atas Jam‘ Al-Jawami’ yang kemudian mendapatkan komentar atas komentar dari Al-Bannani .(Hanafi, 2004: 33)
[24] Dalam bidang tafsir ada kita Jalalain, Munir, lbnu Kasir, Tafsir Yasin, Al Tahbir, Baidowi, Jamiul Bayan/ Tabari, Al Kazin. Adapun dalam bidang ilmu tafsir, yaitu: Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran, Asbabun Nuzul, Ilmut Tafsir, Al Burhan fi UlumilQur’an, Al ltqan, Itmamu Diraya.
[25] Arba’in nawawi, Tanqihul qaul, Riyadussalihin, Adzkarunnawawi, Sahih Buchori, Durratunnasihin, Syarah NadzomBaiquniyah, Minhaj Dzawinnazhar, Alfiyah Suyuti, Al Muwato, Usfuriyah, Majalisus Saniyah, Tanqihul Qaul, Sunan Tirmizi, Sunan Nasal, Sunan Abu daud, Sunan lbnu Majah, Sahih Muslim, Al jami’ As Sagir.
[26] Matan Tijanuddirari, Syarh Tijanuddirari, ‘Aqidatul Awam, Umul Barahin, Sanusiyah, Syu’bun Iman, Qatrul Gais, Qamiuttugyan, Kifayatul Awam, Bahjatul Wasail, Nuruz Zulum, Daqaiqul Akhbar, Kharidatul Bahiyah, Fathul Majid, Dasuki, Hudhud, Syarqowi, Usuluddin.
[27] Hikam/Syarh, lhya Ulumuddin, Risalah Muawanah, Nasaihuddiniyah, Sirajuttalibin, Bidayatulhidayah, Tanwirul Qulub, Salalimul Fudhala, Irsyadul Ibad, Kasyfus Saja, Dalilul Khairat, Hidayatul Adkiya, Sairus Salikin, Hidayatus Salikin, Tanbihul Gafilin, Mudrajus suhud, Irsyad al Fuhul, Zurratun Nasihin, Sabilul Izkar, Mauizatul Mu’minin, Insan Kamil, Al Maftuhah Arabi, Fathu Rabb Al bariyah. Dan dalam bidang akhlak diajarkan: Matan/syarahTa’limulmu ta’allim, Ahlak lil Banin, Akhlak lil Banat, Munadorotul walidiyah, Wasaya, ‘Idotu nnasi’in, ls’adur Rafiq, Tafrihatul Wildan, Wa saya, Nasaihul Ibad, Qamiut Tugyan, Taisirul Khalaq, Nazmul Matlab, Nazmul Akhlaq, Tahliyah, Makarjmul Akhlak, Washiyah Al Mustofa.
[28]Kecenderungan pesantren terhadap studi fikih, sudah dimulai abad ke-17. Islam Indonesia yang semula berorientasi tasawuf secara berangsur-angsur dan bertahap menjadi lebih berorientasi syari'ah. Hal ini antara lain disebabkan suatu proses gerakan pembaharuan atau "pemurnian" yang sudah mulai abad ke-17 tersebut. Gelombang pembaharuan tersebut misalnya tampak pada kemunculan gerakan Padri di Sumatra barat yang dikenal sebagai bersemangat Wahabi. Kaum Muda dan gerakan modernis seperti Al-Irsyad, Muammadiyah, dan Persis. Tarekat Naqsabandiyah yang lebih berorientasi syari'ah dari pada tarekat sebelumnya, setidak-tidaknya ikut berpartisipasi dalam proses pembahatvan tersebut. Sampai munclnya tarekat Naqsabandiyah tersebut pada akhir abad ke-17, gelombang pembaharuan pembaharuan itu masing-masing membawa perhatian yang lebih besar terhadap fikih dan kemuadian juga ushul fikih. Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa..., op. cit., h., 143-4, 173-4.
[29]Untuk mengetahui garis perkembangan kitab-kitab tersebut di atas, lihat Affandi Mochtar, op. cit. h., 242-3.
[30] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1998), h. 87
[31] Lihat Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan perubahan Sosial, (Bandung: Binacipta, 1979) cet. II, h. 178
[32] Jones, Sidney. "The Javanese Pesantren: between elite and peasantry " in Reshaping Local Worlds: formal education and cultural change in Southeast Asia, edited by Charles Keyes. (New Haven: Yale Center for International and Area Studies, 1991), hlm. 20.
[33] Ibid
[34] Muhammad Jamilun, Pesantren dan Otentisitas Pendidikan Kita, (Jakarta: Pesantren, edisi V/th.1/2002), h.47
[35]Hefner. 2009. Op. Cit. 64-65.
[36]Zuhdi. Op. Cit, hlm. 20.
[37] Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, ( Jakarta: Logas Wacana Ilmu, 1999), h. 44
[38]Roy. Op. Cit, h. 270.
[39] A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, LP3NI, 1998), h, 218
[40] Suadi Putro, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 45.
[41] Amin Haedari, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, ( Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h. 30-32

Popular Posts

Like us on Facebook