Eksistensi Tradisi Kajian
Kitab Kuning dalam Lingkup
Perubahan Sosial (Studi
Kasus di Pesantren Darun
Nahdhah, Darel Hikmah,
dan Babussalam)
Oleh: Amrizal, MA
ABSTRACT
This study wants to find answers about how the
existence of stsudy of the yellow book (kitab kuning) at pesantren
Darun Nahdhah, Darel Hikmah, and Babussalam within the scope of
social change. In general, the three pesantren have responded positively to social change, to
make changes and adjustments to the education system, including in order to
maintain the tradition of the study of the yellow book. In other words, the
identity of pesantren with yellow book still attached at their respective
schools. However, its existence is different. Among them, there were made studies
of yellow book as co
curriculer, together with other curriculum, then there is also making it only limited additional or extra
curricular activities.
Keywords: Pesantren, Kitab kuning, Perubahan sosial.
A. Pendahuluan
Dalam
tradisi intelektual Islam, khususnya Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk
menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format
penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-qutub
al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub
al-‘ashriyah).[1]
Di kalangan pesantren kitab-kitab tersebut dikenal sebagai kitab kuning
atau kitab gundul yang menjadi reference kajian antara kiyai dan santrinya.[2]
Menurut Martin van Bruinessen, seorang
peneliti dari Belanda, pada akhir abad ke-20 ini judul kitab kuning yang
beredar di kalangan pesantren Jawa dan Madura jumlahnya mencapai 900 judul. Menurut
Steenbrink, hampir seluruh kitab yang dipakai oleh pesantren tersebut berasal
dari zaman pertengahan dunia Islam.[4] Pada
penelitian sebelumnya yaitu pada akhir abad ke-19 L.W.C. van den Berg hanya
menemukan 54 judul kitab kuning. Dengan demikian, terjadi peningkatan yang sangat signifikan jumlah kitab kuning yang beredar di pesantren. Peningkatan tersebut disinyalir disebabkan oleh beberapa faktor; yaitu: (1) banyak kyai yang menulis kitab
sendiri, baik dengan menggunakan bahasa Arab, maupun dengan menggunakan bahasa
lokal yang ditulis dengan Arab Melayu (pegon), (2) beberapa kyai
melakukan penyederhanaan (mukhtashar) terhadap kitab-kitab yang ada
dalam rangka penyesuaian materi, bahasa, maupun pembahasannya, (3) mulai
diadopsinya kitab-kitab yang tadinya dianggap tabu karena tidak sealiran dengan
paham pesantren, misalnya kitab-kitab di luar mazhab Syafi'i, (4) pesantren
juga mulai mengaji kitab-kitab al-`ashriyyah, karya ulama modern.[3]
Sejauh bukti-bukti historis sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa kitab
klasik atau kitab kuning teks book merupakan referencesi dan kurikulum dalam sistem
pendidikan pesantren. Bahkan bisa dikatakan, sejak pertengahan abad ke-19
kajiannya sudah menjadi massal dan permanen sejak ulama Nusantara, khususnya
Jawa, kembali dari program belajarnya di mekah.[5]
Namun, waktu bisa berubah. Ketika kebudayaan dan sistem sosial mengalami
perubahan, maka pendidikan pun ikut berubah atau dituntut untuk berubah. Karena
pendidikan merupakan subsistem kebudayaan atau subsistem sosial. Bila perubahan
sosial dianggap linier, maka perubahan ini telah berproses dari era tradisional
(pramodern) ke modern. Bagi sebagian kalangan, perubahan sosial kini menuju ke
era postmodern. Sekalipun masih bersifat gejala, namun beberapa wacana
postmodern tengah memasuki percaturan dan dinamika budaya global, antara lain;
wacana pluralisme, multikulturalisme, liberalisme, relativisme,
fundamentalisme, back to nature, postpositivisme, postindustrialisme
dan sebagainya.
Di
dalam arus perubahan, pesantren dengan segala keunikan yang dimilikinya masih
diharapkan menjadi penopang berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia.
keaslian dan kekhasan pesantren di samping sebagai khazanah tradisi budaya
bangsa, juga merupakan kekuatan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan
pemimpin bangsa yang bermoral. Oleh sebab itu, arus globalisasi mengandaikan
tuntutan profesionalisme dalam mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu.
Realitas inilah yang menuntut adanya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan
sesuai tuntatan zaman. Signifikansi professionalisme manajemen pendidikan
menjadi sebuah keniscayaan di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan
perkembangan teknologi modern.[6]
Dalam
memahami gejala modernitas yang kian dinamis, pesantren sebagaimana
diistilahkan Gus Dur sebagai ‘sub kultur’ memiliki dua tanggung jawab
secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai
bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan
rekayasa sosial.[7] Dalam
kaitannya dengan respon keilmuan pesantren terhadap dinamika modernitas,
setidaknya terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan. Keduanya merupakan
upaya kultural keilmuan pesantren, sehingga peradigma keilmuannya tetap
menemukan relevansinya dengan perkembangan kontemporer. Pertama, keilmuan
pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan peradaban manusia
di dunia. Kedua, peantren dipandang sebagai lembaga pendidikan, maka
kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi terhadap dinamika
kekinian.[8]
Sebab inilah, perlu dibangun manajemen pesantren yang lebih memberdayakan
sumber daya manusia agar siap menghadapi gejala modernitas.
Di
antara problem yang dihadapi dunia pesantren adalah sikap para pengampuh
pesantren terhadap perubahan sosial yang berpengaruh terhadap keinginan mereka
untuk berubah seiring dengan perubahan dimaksud. Maka dalam hal ini,
modernisasi pendidikan di dunia pesantren mengalami kendala, atau menghadapi
tantangan yang cukup kompleks. Hal ini terlihat dari pola pengelolaan pesantren
yang beragam ketika merespon gagasan tentang modernisasi pendidikan.
Atmaturida
mengkategorikan sikap pondok pesantren tersebut kepada tiga sikap, antara lain:
(a) Pondok pesantren yang menolak sistem baru dan tetap mempertahankan sistem
tradisionalnya; (b) Pondok pesantren yang mempertahankan sistem tradisionalnya,
dan memasukkan sistem baru dalam bentuk sekolah yang bercorak klasikal, seperti
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Institut/Sekolah
Tinggi; (c) Pondok pesantren yang tetap mengajarkan kitab klasik, namun di
lingkungan pondok menyelenggarakan sekolah umum, seperti SD, SMP, SMA dan
Universitas.[9]
Berdasarkan
studi yang penulis lakukan, pengalaman
beberapa pesantren di Pulau Jawa dapat dikatakan sedikit berbeda dengan
pengalaman masyarakat Riau. Riau sebagai provinsi yang berpenduduk mayoritas
muslim dan mengidentikkan dirinya dengan negeri melayu, memiliki sejarah
panjang dalam tradisi kepesantrenan, khusunya tradisi kajian kitab klasik atau
kitab kuning.
Kampar
merupakan salah satu kabupaten di Riau yang dianggap amat kental dengan tradisi
ini, bahkan menyatakan dirinya sebagai serambi Mekkahnya Riau. Kabupaten Kampar
dapat dikatakan sebagai pusat pesantren tradisionil, yang telah melahirkan
banyak tokoh keagamaan di Riau. Di antara pesantren yang tua di Kampar misalnya
Pesantren Darun Nahdhah, Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Tg.Berulak, Pesantren Darus Salam Batu Bersurat, dan sebagainya. Masing-masing
mempertahankan ciri tradisionalismenya dan menyatakan dirinya sebagai penegak
mazhab Syafi‟iah.
Belakangan,
didirikan pesantren yang telah “termodernisasikan” di Pekanbaru, antara lain;
Pesantren Dar al-Hikamah, Pesantren Babus Salam, Pesantren Teknologi Riau, dan
sebagainya. Pesantren Babus Salam misalnya, menerapkan sistem sekolahan di
lingkungan Pesantren, seperti SMP dan SMA. Pesantren Dar al-Hikmah
mengidentikkan dirinya (dan berafiliasi) dengan pesantren modern di Jawa,
seperti Pesantren Dar al-Salam di Gontor, Dar al-Najah di Jakarta, dan
sebagainya.
Merujuk
kepada kategori Atmaturida dan Maghfurin di atas, agaknya tidak ada di antara
pesantren di Riau, seperti disebutkan di atas, yang mempertahankan kemurnian
tradisi pesatren. Berhadapan dengan modernisasi yang amat pesat,
pesantren-pesantren tersebut meresponnya dengan mengadakan perubahan atau
pembaharuan, namun respon mereka bervariasi. Untuk mengetahui respon tersebut, penulis akan
mengambil tiga pesantren di provinsi Riau yang memiliki latarbelakang berbeda,
yaitu Darun Nahdhah di Bangkingan, Darel Hikmah dan Babussalam di Pekanbaru.
B. Tradisi Pesantren dan
Kajian Kitab Kuning
1. Pengertian Tradisi,
Kajian, dan Kitab Kuning
Kata
tradisi berasal dari bahasa Inggris, tradition yang berarti tradisi.[10]
Dalam bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai segala sesuatu (seperti adat,
kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dan sebagainya) yang turun temurun dari nenek
moyang hingga anak cucu.[11]
Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tradisi pesantren adalah
segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, dihayati, dan dipraktekkan di
pesantren, yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan peradaban yang memebedakannya
dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan lainnya. Tradisi pesantren
juga berarti nilai-nilai yang dipahami, dihayati, diamalkan, dan melekat pada
seluruh komponen pesantren sebagaimana tersebut di atas.
Dalam
kaitan ini, berdasarkan hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa tradisi
yang ada di pesantren tersebut antara lain: (1) tradisi rihlah ilmiah, (2)
meneliti, (3) menulis kitab, (4) membaca kitab kuning, (5) praktek thariqat,
(6) penghafal, (7) berpolitik, dan (8) tradisi berbahasa Arab, dan (9) tradisi
yang bersifat sosial keagamaan lainnya.[12]
Adapun
istilah kajian berasal dari kerja ngaji, dan istilah “ngaji” adalah proses
bergurunya seorang santri terhadap kiai. Menurut Cak Nur, mgaji adalah bentuk
kata kerja aktif dari perkataan “kaji”, yang berarti “mengikuti jejak haji”.
Yaitu belajar agama dengan bahasa Arab. Tampaknya, karena keadaan pada
abad-abad lalu memaksa orang untuk tinggal lama di tanah suci, sehingga memberi
kesempatan padanya untuk belajar agama di Makkah, yang kelak diajarkan kepada
orang lain ketika pulang. Yang perlu dicatat di sini adalah hampir rata-rata orang-orang
yang menjadi pengasuh di pondok
pesantren, dulunya adalah orang yang pernah mengenyam pendidikan di kota suci.
Tokoh utama pendidikan seperti KH. Kholil Bangkalan, KH. Nawawi al-Bantani, KH.
Mahfudz al-Tirmasi, bahkan KH. Hasyim al-‘Asy’ari, mereka semua adalah
orang-orang yang mengenyam pendidikan di Makkah dalam kurun waktu yang lama. [13]
Selain
itu Cak Nur juga menduga bahwa ngaji berasal dari bentuk kerja aktif “aji” yang
berarti “terhormat”, “mahal”, “kadang-kadang”. Keterkaitan itu bisa dibuktikan
dengan adanya kata aji-aji yang berarti “jimat”. Jadi ngaji dalam hal ini
berarti “ mencari sesuatu yang berharga, atau menjadikan diri terhormat, atau
berharga”.
Untuk
memutuskan mana pernyataan yang lebih benar dari kedua arti berbeda tersebut tidak
memiliki data sejarah yang pasti. Namun demikian, seluruh alasan yang diungkapkan sangat logis dan mengarah
kepada kemuliaan pesantren, kiai, santri, dan pengajian.
2 2.
Tradisi
kitab Kuning di Pesantren
Dalam
konteks tradisi membaca kitab kuning, seorang peneliti asal Belanda, Martin van
Bruinessen, telah menunjukkan dengan jelas tentang adanya tradisi membaca kitab
kuning di Pesantren. Melalui bukunya yang berjudul Yellow Book (kitab
kuning), Bruinessen menginformasikan bahwa kitab-kitab karangan para kiai
sebagaimana tersebut di atas, khususnya karya Nawawi al-Bantani dan Mahfudz
al-Tirmizi telah menjadi kitab rujukan utama yang dipelajari di
pesantren-pesantren di Pulau Jawa dan sekitarnya. [14]
Dalam
dunia pesantren, posisi kitab kuning sangat strategis karena kitab kuning
dijadikan sebagai text book, references, dan kurikulum dalam sistem
pendidikan pesantren. Selain sebagai pedoman bagi tatacara keberagamaan, kitab
kuning difungsikan juga oleh kalangan pesantren sebagai referensi universal
dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.[15]
Menurut Affandi Mochtar, ada 2 alasan penting yang mendasari pentingnya posisi
kitab kuning sebagai referensi dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren.
Pertama, kebenaran kitan kuning bagi kalangan pesantren merupakan referensi
yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa kitab
kuning yang ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan
bahwa kitab kuning sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab
kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang bersandar pada al-Quran
dan Hadis Nabi. Kedua, bahwa kitab kuning penting pesantren untuk
memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu
merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam,
al-Quran, dan Hadis Nabi.[16]
Pelestarian
pengajaran kitab kuning di pesantren telah berjalan terus-menerus, dan secara kultural telah menjadi ciri khusus
pesantren sampai saat ini. Di sini peran kelembagaan pesantren dalam meneruskan
tradisi keilmuan klasik sangatlah besar. Pengajaran-pengajaran kitab klasik
tersebut pada gilirannya telah menumbuhkan warna tersendiri dalam bentuk paham
dan sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini berkembang secara wajar dan
mengakar dalam kultur pesantren, baik yang berbentuk dari pengajaran
kitab-kitab klasik maupun yang lahir dari pengaruh lingkungan pesantren.[17]
Melalui
tradisi membaca kitab kuning ini, para kiai pesantren telah berhasil mewarnai
corak kehidupan keagamaan masyarakat pada khususnya dan kehidupan sosial
kemasyarakatan pada umumnya. Kuatnya pengaruh ajaran ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah di kalangan umat Islam, yang dicirikan dengan penggunaan pahan
Asy’ariyah dalam bidang teologi, penggunaan paham al-Syafi’i dalam bidang Fiqh,
dan penggunaan Tasawuf al-Ghazali dan Imam al-Junaid dalam bidang tasawuf
terjadi karena pengaruh dari tradisi membaca kitab kuning oleh para kiai di
pesantren, serta ceramah-ceramah yang mereka sampaikan di masyarakat.[18]
Kitab-kitab
kuning yang diajarkan di pesantren memiliki tingkatan-tingkatan.
Tingkatan-tingkatan tersebut ditentukan oleh keadaan santri; tingkat pemula (awwaliyah),
tingkat menengah (wushtha), dan tingkat tinggi (`aly). Ada
juga tingkatan itu ditentukan pola penyajian kitan itu sendiri, seperti pola matan,
syarah, dan khasyiyah. Pola lain dalam penyajian kitab yang
tampaknya memperkuat kecenderungan pembagian tingkatan itu adalah kitab-kitab
jenis mukhtashar yang merupakan ringkasan dari kitab yang ada, mubassathah
atau mutawassithah yang tampaknya berisi tambahan penjelasan, dan muthawwalah
yang memberikan tambahan penjelasan yang lebih banyak, namun bukan syarah
atau bukan pula khasiyah.
3. Sebaran Kitab Kuning di Pesantren
Adapun
kitab-kitab kuning yang beredar di pesantren-pesantren memiliki beberapa kajian
sebagai berikut:[19] (a) Bidang Bahasa Arab[20];
(b) Bidang Ilmu Mantiq[21];
(c) Bidang Ilmu Fiqh; [22](d)
Bidang Ushul Fiqh; [23]
(e) Bidang tafsir dan ilmu tafsir; [24](f)
Bidang hadits dan ilmu hadits;
[25] (g)
Bidang tauhid; [26](h)
Bidang tasawuf; [27]
Dari
sejumlah kajian kitab kuning yang diajarkan di pesantren, fikih merupakan
disiplin ilmu yang memperoleh perhatian terbesar,[28]
tapi bukan berarti pelajaran lain diabaikan. Karya-karya fikih yang dipelajari
di pesantren berada dalam satu alur pemikiran mazhab, khususnya mazhab
al-Syafi'i. Survei van Brinessen dalam hal ini perlu dicatat. la mengungkapkan
bahwa karya-karya fikih Syafi'i berasal atau merupakan kreasi lanjutan dari
tiga kitab kuning pendahulu; masing-masing kitab al-Muharrar karya
Rafi'i (w. 625 H11226 M), kitab al-Taqrib karya Abu Syuja' al-Ishfahani
(w. 593 H/1197 M) dan kitab Qurrah al-`Ayn karangan Malibari (w.
kira-kira 975 H/1567 M). Ketiga kitab ini masing-masing membuat garis sejarah
perkembangan sejumlah kitab tersendiri sesudahnya.[29]
4.
Metode Pembelajaran Kitab Kuning
Diskursus mengenai metode
pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren Salafiyah tidak akan terlepas
dari penggunaan metode tradisional konvensional. Metode pembelajaran dapat
diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan untuk menyapaikan ajaran sampai
ke tujuan. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren Salafiyah, ajaran adalah apa
yang terdapat dalam kitab kuning atau kitab rujukan atau referensi yang
dipegang oleh lembaga tersebut. Dalam perjalanannya, selama kurun waktu yang
panjang pondok pesantren jenis ini menerapkan beberapa metode pembelajaran
diantaranya; wetonan atau bandongan, sorogan dan hafalan (tahfidz) dan munazharah
(musyawarah/muzkarah).
C. Pesantren dan Perubahan Sosial
1.
Pengertian
Perubahan Sosial
Perubahan
berasal dari kata ubah yang diberikan awalan per dan akhiran an. W.J.S.
Poerwadarminta, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, mengartikan perubahan
sebagai keadaan yang berubah dari keadaan yang semula ke dalam bentuk lain.[30]
Sedangkan sosial atau masyarakat adalah kumpulan manusia yang bertempat tinggal
di suatu wilayah tertentu dan terikat oleh aturan yang disepakati bersama dalam
rangka mencapai tujuan bersama. Pada masyarakat yang sudah maju kesepakatan
bersama tersebut didokumentasikan dalam sebuah undang-undang atau peraturan.
Sedangkan pada masyarakat yang belum maju atau tradisional, kesepakatan
tersebut belum dituliskan, melainkan masih berupa bentuk ucapan atau perbuatan
yang dibina dan diawasi pelaksanaannya oleh pemangku adat. Masyarakat yang
melanggar undang-undang dan peraturan akan dikenakan sanksi baik perdata maupun
pidana. Demikian pula orang yang melanggar adat istiadat yang berlaku di
masyarakat juga akan dikenai sanksi yang dilaksankan oleh pemangku adat.
Adapun
perubahan sosial merupakan peralihan dari suatu keadaan masyarakat pada suatu
keadaan yang baru. Atau bisa juga dikatakan sebagai perubahan satu realitas ke
dalam bentuk realitas yang lain, yang berbeda dengan realitas asasnya. Ada atau tidaknya suatu perubahan di dalam
masyarakat hanya dapat dilihat dari gejala-gejala yang tampak. Di antara
gejala-gejala tersebut, yaitu: depersonalisasi, adanya frustasi dan apathy
(kelumpuhan mental), pertentangan-pertentangan, dan perbedaan-perbedaan
pendapat mengenai norma-norma susila yang hingga kini dianggap mutlak, adanya
pendapat-pendapat yang tidak disetujui oleh banyak orang, terjadinya jarak
antara generasi (generation gap), dan lain-lain. [31]
2.
Sebab
dan Akibat Perubahan Sosial
Pada
1920-an, terjadi tiga pembaruan penting yang diadopsi oleh banyak pesantren, terpengaruh
oleh kemajuan pendidikan Islam dari Timur Tengah dan persaingan dengan sistem
pendidikan Belanda. [32]
Pertama, pembukaan beberapa pesantren untuk santri perempuan. Kedua,
penggunaan sistem madrasah, sejenis sekolah Islam yang diadopsi dari Timur Tengah
yang memformalkan pendidikan pesantren melalui penggunaan sistem kelas
bertingkat-tingkat. Ketiga, penambahan beberapa pengajaran umum seperti
Matamatika dan Bahasa Indonesia pada kurikulum. [33]
Menurut
Suwendi, sebagai respon terhadap gerakan reformasi Islam tersebut, pesantren
melakukan sejumlah akomodasi dan adjustment yang dianggap tidak hanya mendukung
kontinuitas pesantren tetapi juga bermanfaat bagi para santri. Dalam wujudnya
secara konkret, pesantren merespon tantangan itu dalam berbagai bentuk.
Pertama,
pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan
subjek-subjek umum dan ketrampilan (vacational). Kedua, pembaruan
metodologi seperti klasikal dan penjenjangan; ketiga, pelembagaan,
seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan; dan keempat,
pembaruan fungsi dari fungsi pendidikan mencakup fungsi sosial ekonomi.
Sebagai
bukti empirik yang bisa dilihat sekarang adalah banyaknya pesantren yang
menggunakan sistem klasikal, serta pengaturan kurikulum. Bahkan sebagai bentuk
negosiasi. Kebanyakan pesantren yang berdiri sekarang ini menggunakan dua
sistem pembelajaran sekaligus. Sistem klasikal yang disesuaikan dengan
kurikulum pemerintah yang dilakukan pada jam sekolah biasa, mulai dari jam
tujuh sampai setengah dua(an); dan selebihnya pengajian wetonan, pada
waktu-waktu ba’da shalat, seperti pasca Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh.
Lebih
dari itu, beberapa pondok pesantren bahkan mulai menerapkan sistem pembelajaran
modern secara penuh, di mana pola pembelajaran semacam ta’lim, wetonan dan
sorogan ditiadakan sama sekali. Contoh kasus seperti: Pondok pesantren Gontor,
Wali Songo Ngabar, Al Zaitun, dan lain-lain.
Tentang
penolakan pesantren terhadap budaya manajemen dan profesionalitas, tampaknya
juga bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam laju perkembangan pondok pesantren
secara gradual, pondok-pondok pesantren ini juga mulai menggunakan sistem
organisasi dalam manajemen pondok. Kiai yang pada mulanya sebagai poros dari
struktur keorganisasian secara pelan-pelan mulai bergeser. Proses pergeserannya
pun terdiri dari beberapa tahapan. Pada tahapan pertama, jika pada mulanya
seluruh manajemen berada dalam tangan kiai, sekarang seorang kiai mulai
mengangkat beberapa badal yang disebut pengurus juga seorang kepala pondok/lurah.
Pada tahap ini, sudah mulai ada pembagian fungsi keorganisasian, dalam arti
tidak setiap kegiatan harus melibatkan peran kiai secara penuh. Namun demikian,
peran kiai masih tampak kuat. Pengurus menjalankan fungsi, tetapi tidak begitu
substansial.
Pada
tahapan kedua, masuknya pengajar-pengajar klasikal selain kiai di pondok
pesantren. Secara otomatis kiai mulai membutuhkan bantuan dari luar pondok yang
difungsikan untuk mengajar pelajaran-pelajaran tertentu yang tidak dikuasainya.
Pun secara otomatis manajemen pada tingkat ini lebih profesional.
Pada
tahap ketiga, telah mulai dibentuk yayasan di mana selain pondok pesantren juga
berdiri sekolah-sekolah umum. Baik Madrasah Ibtida’iyah (MI) setingkat SD,
Madrasah Tsanawiyah (MTs) setingkat SMP, atau Madrasah ‘Aliyah setingkat SMA.
Beberapa urusan setiap lembagaa di bawah yayasan itu, memiliki kebijakan
sendiri. Namun demikian, peran kiai sebagai kepala yayasan juga masih banyak
melakukan intervensi pada hal-hal tertentu; misalnya banyaknya – kalau tidak
semuanya – kepala sekolah di bawah yayasan tersebut merupakan anak atau kerabat
dari kiai tersebut.
Pada
tahap terakhir, hampir sama sengan tahap ketiga, yaitu pondok pesantren
melembagakan dirinya sendiri menjadi yayasan; hanya pimpinan pusat tidak lagi
terletak pada seorang kiai tunggal. Pada tahap ini, model kepemimpinan
kharismatik mulai tercerabut dari akarnya, di mana munculnya pondok pesantren
didasarkan atas organisasi modern yang berpijak pada sistem birokrasi yang
rasional. Sementara itu posisi kiai tidak lagi di puncak pimpinan tapi sudah
berada di bawah naugan organisasi. Pada pola ini, siapa yang akan jadi pimpinan
akan dipilih dalam musyawarah tahunan. Salah satu contoh dari pondok pesantren
yang menggunakan metode ini adalah Pondok Pesantren As-Syafi’iyah di Jakarta
yang sudah menjadi yayasan sejak tahun 1963.[34]
Dalam
perkembangan selanjutnya, peranan pesantren terdesak oleh munculnya
sekolah-sekolah agama dan sekolah-sekolah umum baik di tingkat dasar maupun
tingkat perguruan tinggi. Realitas seperti ini kemudian membuat kecenderungan
orang tua untuk lebih memilih sekolah agama atau sekolah uum bagi anak-anaknya.
Pun, kecenderungan ini mau tidak mau, membuat beberapa pesantren merombak
sedikit pola pembelajarannya untuk menyesuaikan dengan zaman yang
menghendakinya, Maka hasilnya, selain masih mempertahannkan pola pembelajaran
lama, beberapa pesantren mulai berbenah diri untuk fastaqul khairat. Selain
itu, muncullah sekolah-sekolah agama (ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah) serta
sekolah-sekolah umum dari rahim pesantren sendiri.
Sayangnya,
tidak selamanya harapan sesuai dengan kenyataan. Terbukti, dengan dibukanya
pendidikan agama dari rahim pesantren inilah secara otomatis telah mengurangi
jam pengajian yang dilakukan seorang kiai dalam pesantren. Masuknya pola
pembelajaran dengan kurikulum modern dan pelajaran-pelajaran umum sesuai dengan
ditentukan oleh pemerintah, membuat semakin berkurangnya jam baca kitab
kuning oleh seorang kiai dan santrinya.
Banyak pesantren akhirnya menjadi pondok yang “serba nanggung”, alias kemampuan
baca kuning santrinya kurang bisa dipertanggungawabkan, sementara kemampuan
penyerapan pelajaran umum juga belum bersaing dengan sekolah umum di luar
pesantren.
Lebih
jauh, akibatnya adalah defungsionalisasi pondok pesantren. Bila awalnya orang
pergi ke pesantren dengan niatan untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan, justru
berbalik arah. Pesantren seakan menjadi “tempat kos” ansich dan tempat
kedua setelah pendidikan formal itu sendiri. Orang-orang yang belajar ke pesantren tidak lagi mereka
yang benar-benar ingin belajar agama, dan niatnya pun tidak semata-mata untuk
mendalami ktab kuning belaka tetapi mejadi macam-macam.
Pada saat ini ada kebutuhan besar untuk
sistem pendidikan nasional yang baru dan banyak siswa pindah dari pesantren dan
madrasah ke sistem pemerintah. Dampak perubahan ini adalah pesantren semakin
terus-menerus menambah kurikulum umum
pada kurikulum agama, seringkali melalui peningkatan pembangunan sekolah
madrasah di pesantren. [35]
Pada
tahun 1958, untuk menyatukan sistem madrasah swasta dan meningkatkan mutu
pendidikannya, DEPAG menciptakan Kurikulum Madrasah Wajib Belajar. Akan tetapi,
madrasah terus menjaga kurikulum tersendiri, jadi sebagai upaya untuk
meningkatkan penguasaan pemerintah atas pendidikan Islam dan
mengimplementasikan kurikulum tersebut, DEPAG mulai mendirikan madrasah negeri
yang diurus oleh pemerintah. Walaupun sudah ada madrasah swasta, namun upaya pemerintah ini mencoba mempengaruhi
madrasah swasta untuk mengadopsi sistem pemerintah. Pada tahun 1975 dikeluarkan
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri untuk menyamakan kurikulum madrasah
melalui implementasi kurikulum nasional. DEPAG memutuskan bahwa kurikulum ini
akan termasuk 70% pelajaran umum (termasuk ilmu alam, ilmu sosial, kebudayaan
dan bahasa) dan 30% pelajaran beragama (ilmu keagamaan secara umum dan fiqih).
Madrasah yang menerima perubahan ini bisa menerima dana dari pemerintah dan
siswanya bisa mengambil ujian nasional untuk pendidikan tinggi.[36]
3. Tradisi Pesantren dalam Tantangan Globalisasi
Globalisasi
adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada “bersatunya” berbagai negara
dalam globe menjadi satu entitas. Globalisasi secara istilah berarti
perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang
mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antara manusia,
organisasi-organisasi sosial, dan pandangan-pandangan dunia.[37]
Memahami
pengaruh proses globalisasi ini adalah sangat penting pada topik pesantren.
Ketika kita membahas perubahan-perubahan pada pendidikan pesantren di
Indonesia, kita harus mengakui proses-proses perubahan sosial yang lebih luas
daripada masyarakat Islam di Indonesia saja. Walaupun ada beberapa pengikut
Islam yang mencoba menolak perubahan dan pengaruh dari masyarakat luar, tidak
ada seorang yang berhasil dalam proses mengabaikan pengaruh-pengaruh ini.[38]
Modernisasi
telah membawa dampak begitu besar bagi berlangsungnya sebuah realitas sosial.
Ada beberapa fenomena – seperti yang dieksplorasi A. Malik Fadjar,[39]
yang bisa diungkap mengenai implikasi dari modernisasi. Pertama,
berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media. Seperti
televisi, hingga arus informasi tidak lagi bersifat lokal, tetapi nasional
bahkan global. Hal ini akan berdampak pada kondisi keragaman atau pun heterogenitas
nilai dalam masyarakat, yang akan berpengaruh terhadap nilai-nilai agama yang
ada dalam masyarakat.
Kedua,
tumbuhnya sikap hidup yang lebih terbuka sehingga memungkinkan terjadinya
proses perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan beragama. Ketiga,
tumbuhnya sikap hidup rasional, sehingga banyak hal didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang lebih rasional, termasuk dalam menyikapi ajaran
agamanya. Keempat, tumbuhnya sikap dan orientasi hidup pada kebendaan atau
sikap hidup materialistik. Sehingga ukuran-ukuran hidup kebendaan menjadi lebih
dominan dibandingkan dengan hidup batin.
Kelima,
tumbuhnya mobilitas penduduk yang semakin cepat, sehingga mempercepat proses
urbanisasi. Keenam, tumbuhnya sikap hidup yang individualistik, sehingga
merenggangkan silaturrahmi dan kebersamaan. Ketujuh, munculnya sikap
hidup yang cenderung “permisif”, yaitu sikap hidup yang longgar terhadap
berbagai bentuk penyimpangan, termasuk penyimpangan terhadap ajaran agamanya.
Berhadapan
dengan modernitas, kalangan santri merupakan kalangan yang paling lama
melakukan reaksi penerimaan. Gaung kejayaan yang ditawarkan tidak juga membuat
mata terbelalak untuk segera mengambil mentah-mentah tradisi modernitas itu.
Namun demikan, bukan berarti orang-orang santri lantas bersikap proteksionis
dan apatis terhadap laju perkembangan zaman yang telah dihembuskan oleh
modernitas.
Dengan
berpegang teguh pada prinsip adigum”al-Muhafazhah ‘ala al-Qadim al-Shaalih
wa al-Ahzdu bi al-Jadid al-Ashlah” kalangan pesantren coba mulai
memilah-milah antara satu persatu dari gebyar modernitas untuk dicari sarinya;
mana yang bisa digunakan, dan mana yang tidak. Sayangnya, tindakan yang begitu
berhati-hati ini, membuat kalangan pesantren dinilai terlalu lamban hingga
akhirnya dituding oleh orang luar pesantren sebagai masyarakat yang apatis
terhadap kemajuan zaman.
Namun
demikian, masih juga ada kalangan pesantren yang dengan terang bersiap apatis
terhadap modernitas . Ada beberapa alasan reaksi mereka antara lain: pertama,
kemunculan modernitas yang dari Barat sangat tidak bisa lepas dari dunia Barat
itu sendiri. Kalangan ini mencurigai bahwa modernisasi sama halnya dengan
westernisasi. Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
demikian pesatnya di zaman modern – di Barat, menyebabkan ketimpangan luar
biasa antara masyarakat Islam dengan masyarakat modern. Dan pada akhirnya,
mereka mempertentangkan antara tradisi dan modernitas menjadi sesuatu yang tak
beralasan; mengingat pada dasarnya tradisi sendiri bersifat dialogis dan
berkembang.
Sebagaimana
yang dikatakan Arkoun, bahwa sikap proteksionisme beberpa kalangan Islam
terhadap modernitas bisa saja disingkirkan jika mereka konsisten memperlakukan
tradisi sebagai “ a living dialogue grounded in common freference to particular
creative event”, maka usaha modernisasi sebagai suatu bentuk tindakan
kultural menjadi amat penting, dan juga dapat berlangsung dalam perangkat
tradisi yang dinamis (dialogis). Sebab, pada dasarnya setiap tradisi tidak
menentang kemajuan. Pola seperti inilah yang secara persis terjadi di Barat
dalam permulaan modernisasi.[40]
Kemudian
, menghadapi krisis kemanusiaan seperti inilah ternyata lembaga pondok
pesantren menjadi semacam jawaban yang ditunggu-tunggu- kalau tidak disebut sebagai sebuah solusi. Tanpa
merendahkan sistem pendidikan yang ada, tampaknya pembelajaran yang diterapkan
di pondok peantren –masih- lebih efektif dibandinkan dengan pendidikan umum
lainnya.
Beberapa
hal yang bisa dijadikan alasan antara lain:[41]pertama,
dengan menggunakan sistem pembelajaran pondok pesantren ternyata lebih
memungkinkan tercapainya target pembelajaran pendidikan siswa pada tiga aspek
potensi; (1) aspek kognitif dapat diperoleh dengan menggunakan sistem
pembelajaran harian yang diberikan oleh seorang kiai. Karena, sistem
pembelajaran di dalam kelas atau pun di dalam pondok inilah yang telah menjadi
sarana pemberian pengertian berbagai macam disiplin ilmu yang diajarkan di
sana. (2) dan (3) aspek afektif dan psikomotor dapat diperoleh dengan praktek
harian. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pada kenyataannya, kehidupan
seorang kiai yang disaksikan oleh santri dan praktek tauladan kiai dalam
mengamalkan disiplin ilmu yang dimilikinya merupakan pembelajaran terbesar
dalam rangka pencapaian dua potensi tersebut. Selain itu, kehidupan bersama
antara kiai dan santri, pada akhirnya lebih menumbuhkan hubungan emosional di
antara keduanya. Perhatian yang besa yang dberikan kiai kepada santrinya
merupakan nilai plus yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lain.
Kedua,
tradisi kasih sayang dan saling menghormati merupakan acuan yang dijadikan
standar utama. Seorang santri yang kecil diwajibkan untuk menghormati santri
yang besar begitu pun sebaliknya seorang santri yang besar diharapkan untuk
menyayangi yang kecil. Dengan demikian, pola pembelajaran di pesantren tidak
mengenal klasifikasi rangking kelas karena hanya akan mencerabut sifat
kemanusiaan anak didik belaka. Siswa seakan menjadi robot yang setiap hari
disuguhi persaingan-persaigan tanpa ada
rasa cinta kasih.
Ketiga,
pesantren juga mengajarkan rasa tanggungjawab yang tinggi,terlebih pada
santri-santri yang sudah lama di pondok pesantren. Pengangkatan beberapa santri
yang dianggap cukup capable untuk menjadi badal atau wakil sang kiai ,
merupakanpola pembelajaran kepemimpinan yang sangat efektif. Pada fase inilah
seorang santri dituntut tidak hanya belajar bersikap profesional dengan
berbagai macam administrasinya . Lebih dari itu, naluri mendidik dan rasa
peduli terhadap adik santri juga mulai diajarkan. Ilmu adalah praktis bukan
pada tataran kognitif saja.
Keempat,
proses interaksi antar santri yang begitu beragam dalam pondok pesantren,
lengap dengan perilaku hariannya, lebih mengajarkan sikap sosial dibandingkan
dengan pembelajaran di sekolah umum. Dalam kehidupanpesantren, seorang santri
sudah dilatih sejak dini untuk bekerjasama dengan sesama, tidak langsung secara
praktek. Kegiatan harian semisal mempersiapkan
makanan dilakukan bersama-sama.
Kelima,
pondok pesantren juga mengajarkan kehidupan disiplin untuk para santri. Minimal
sehari lima kali seorang santri dikontrol (mengajak tapi condong ke arah
perintah) untuk menjalankan ibadah shalat fardhu secara berjama’ah.
Keenam,
dalam dunia pesantren, aspek kemandirian betul-betul ditekankan. Dua puluh empat
jam, ia lalui setiap harinya dalam sebuah asrama yang terpisah dengan orang
tua. Segala macam aktivitas dilakukan secara mandiri.
D. Hasil Penelitian
1.
Pesantren Darun Nahdhah
a.
Sekilas tentang Pesantren Darun Nahdhah
Pondok Pesantren Darun Nahdhah Thawalib Bangkinang
merupakan kelanjutan dari Madrasah Daarul Mu’allimin pimpinan H. Syeh Abdul
Malik yang didirikan pada tahun 1923. Pesantren ini menggunakan sistem
pendidikan khalaqah dan klasikal. Pada awalnya, ia hanya diperuntukkan bagi santri laki-laki. Sebenarnya
ketika itu pesantren telah banyak mengalami kemajuan. Namun ketika Jepang masuk
ke wilayah tersebut 21 Maret 1942, membuat kegiatan Darul Mu’allimin terhenti
total.
Kurang lebih enam tahun kegiatan Madrasah Darul
Mu’allimin terhenti, almarhum Abuya H. M. Nur Mahyuddin, salah seorang murid
almarhum Syekh Abdul Malik mengambil prakarsa untuk menghidupkan kembali
Madrasah. Setelah melalui musyawarah, akhirnya pada tanggal 11 Januari 1948
disepakati untuk menghidupkan kembali pondok tersebut dengan nama Daarun
Nahdhah Thawalib Bangkinang (PPDN-TB). Pendirian tersebut ditandai dengan
penerimaan santri baru untuk Ibtidaiyah. Barulah pada tanggal 18 Agustus 1948
pesantren tersebut membuka jenjang pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah.
Adapun kegiatan pendidikan formal yang dilasanakan
pesantren Darun Nahdhah saat ini meliputi jenjang Tsanawiyah dengan 1048
santri dan Aliyah dengan 446 santri, yang saat ini para santri terdiri dari
laki-laki dan perempuan. Tenaga pengajar/guru berjumlah 91 orang, 15%
berpendidikan S2, 75% berpendidikan S1 dari berbagai disiplin ilmu, selebihnya
para pegawai tamatan S1 dan SLTA.
Sejak masa berdirinya sampai saat ini Darun Nahdha
telah melakukan perubahan mendasar pada
sistem pendidikannya; (1) Sejak tahun 1970 pesantren ini telah memasukkan
sistem madrasah (di bawah naungan Kementerian Agama) ke dalam sistem pendidikan
pendidikannya, baik untuk tingkat
Tsanawiyah maupun Aliyah. (2) Sejak tahun 2010 pesantren ini telah
memangkas masa studi bagi para
santrinya, dari tujuh tahun menjadi enam tahun (tiga tahun untuk Tsanawiyah dan
tiga tahun untuk Aliyah).
b.
Kurikulum Pesantren Darun Nahdhah
Pondok Pesantren Darun
Nahdhah pada awal berdirinya lebih dikategorikan sebagai pesantren salaf atau
tradisional karena lebih mengutamakan pengajian kitab kuning atau lebih
berorientasi pada pengajaran pengetahuan agama (tafaqquh fil addin) daripada
pengetahuan umum, dengan metode sorogan atau bandongannya. Dengan demikian posisi kitab kuning pada saat itu sangat strategis.
Namun sejak
tahun 1970 sebagai respon terhadap kebijakan IAIN Sulthan Syarif Qasim
Pekanbaru ketika itu yang mempersyaratkan ijazah Madrasah Aliyah Kemeterian
Agama bagi calon mahasiswa barunya, maka Darun Nadhah merubah sistem
pendidikannya dengan mengadopsi kurikulum madrasah, dengan harapan para
alumninya bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Konsekuensi logis
dari masuknya sistem madrasah pada pesantren Darun Nahdhah berpengaruh pada
pergeseran penggunaan sumber belajar.
Pada sumber belajar yang digunakan oleh para santri tidak lagi terbatas pada
kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning). Buku-buku Islam kontemporer yang
diterbitkan dalam bahasa Indonesia juga telah memasuki pesantren Daarun
Nahdhah. Hal ini berarti para santri memiliki sumber belajar lain sebagai
komplemen dari kitab kuning. Hal demikian telah mengurangi intensitas kajian
dan perhatian santri terhadap kitab kuning. Walaupun
demikian, secara formal pesantren ini tidak mengabaikan kajian kitab kuning tapi
masih menjadikan sebagai referensi pokok
atau kurikulum inti (core curriculum)
dalam sistem pendidikannya.
Dengan demikian, Darun Nahdhah dapat dikatakan menerapkan kurikulum terpadu
dalam sistem pendidikannya; kurikulum madrasah di bawah naungan Kementerian
Agama dan kurikulum pesantren (baca: kitab kuning). Untuk tidak menggeser
kedudukan kitab kuning dalam kurikulum pesantren maka kurikulum madrasah pada
matapelajaran Fiqh, Akidah Akhlak, Quran Hadis, Sejarah Kebudayaan Islam, dan
bahasa Arab materi-materinya diambil dari kitab-kitab kuning.
Adapun mata pelajaran yang berbasis
kitab kuning yang diajarkan di Darun Nahdhah adalah:
1)
Tingkat Tsanawiyah
Fiqih, Tauhid,
Tafsir, Tarikh, Ushul Fiqih, Hadits, Musthalah Hadits, Qawa’id al-Lughah
al-Arabiyah (nahwu dan sharaf).
2)
Tingkat Aliyah
Seluruh
matapelajaran-matapelajaran di atas ditambah dengan matapelajaran Balaghoh,
Mantiq, Tarikh Tasyrik.
Pengajaran
seluruh materi di atas dilakukan dengan pendekatan qawa’id tarjamah.
c.
Sebaran Kitab Kuning di Darun Nahdhah
1)
Bidang Fiqh
Nihayat al-Zain, Safinah al-Najah, Fathul Mu’in,
Kasyifat Al-Saja, Taqrib, Fath al-Qarib, Kifayatu al-Akhyar, Iqna, Hasyiyah
Bajuri, Minhaj al-Thalibin, Minhaj al- Thullab, Mughni al-Muhtaj, Nihayah al-Muhtaj, Fath al-Wahhab,
Minhaj al-Qawim, Sullam al-Taufiq, Syarah Sittin, Zubad, Mawahib as-Shamad, Riyad al-Badi’ah,
Rohabiyah, Bugyah at- Mustarsyidin, Bidayah Al Hidayah, Al Mahali, Tahrir, Sulam
al-Munajat, Uqud al-Lujain, Muhadzab, Fiqh al-Wadih, Tuhfatut Tulab, Nailu
al-Author, Safinat as-Salah, Sulam as- Safinah.
2)
Bidang ushul fiqih
Waraqat/Syarah Al-Waraqat, Lathaifulisyarah,
Gayatulwusul, Jam’ul Jawami’, Lubbul Usul, Al Luma’, Al-Asybah wa Al-Nadhair.
3)
Bidang Nahwu
Matan/Syarh Jurumiyah, Mukhtasar Jiddan,
Mulhatul’irab, ‘lmriti, Alfiyah lbnu Malik, Mutamimah, Qowaidul l’rab, Awamil,
Fathu Rabul Bariyyah, Al Kawakib al- Duriyyah, Qatrun Nada, Alfiyah Khudari,
Syuzurud dahab.
4)
Bidang sharaf
Nadom Maqsud, Kitabu Tasrif, Kailani, Matan Kailani,
Al Bina Wal Asas, Tashilul Amani, Kafrawi, Mugni Labib.
5)
Bidang balaghoh
Matan Jauharul Maknun, Syarah Jauharul Maknun, dan
Uquduj Zuman.
6)
Bidang tafsir
Jalalain, Munir, lbnu Kasir, Tafsir Yasin, Al
Tahbir, Baidowi, Jamiul Bayan/ Tabari, Al Kazin.
7)
Bidang ilmu tafsir
Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran, Asbabun Nuzul, Ilmut
Tafsir, Al Burhan fi UlumilQur’an, Al ltqan, Itmamu Diraya.
8)
Bidang hadits dan ilmu hadits
Arba’in nawawi, Tanqihul qaul, Riyadussalihin,
Adzkarunnawawi, Sahih Buchori, Durratunnasihin, Syarah NadzomBaiquniyah, Minhaj
Dzawinnazhar, Alfiyah Suyuti, Al Muwato, Usfuriyah, Majalisus Saniyah, Tanqihul
Qaul, Sunan Tirmizi, Sunan Nasal, Sunan Abu daud, Sunan lbnu Majah, Sahih
Muslim, Al jami’ As Sagir.
9)
Bidang tauhid
Matan Tijanuddirari, Syarh Tijanuddirari,
‘Aqidatul Awam, Umul Barahin, Sanusiyah, Syu’bun Iman, Qatrul Gais, Qamiuttugyan,
Kifayatul Awam, Bahjatul Wasail, Nuruz Zulum, Daqaiqul Akhbar, Kharidatul Bahiyah, Fathul
Majid, Dasuki, Hudhud, Syarqowi, Usuluddin.
10) Bidang tasawuf
Hikam/Syarh, lhya Ulumuddin, Risalah Muawanah, Nasaihuddiniyah,
Sirajuttalibin, Bidayatulhidayah, Tanwirul Qulub, Salalimul Fudhala, Irsyadul
Ibad, Kasyfus Saja, Dalilul Khairat, Hidayatul Adkiya, Sairus
Salikin, Hidayatus Salikin, Tanbihul Gafilin, Mudrajus suhud, Irsyad al Fuhul,
Zurratun Nasihin, Sabilul Izkar, Mauizatul Mu’minin, Insan Kamil, Al Maftuhah
Arabi, Fathu Rabb Al bariyah. Dan dalam bidang akhlak diajarkan:
Matan/syarahTa’limulmu ta’allim, Ahlak lil Banin, Akhlak lil Banat, Munadorotul
walidiyah, Wasaya, ‘Idotu nnasi’in, ls’adur Rafiq, Tafrihatul Wildan, Wa saya,
Nasaihul Ibad, Qamiut Tugyan, Taisirul Khalaq, Nazmul Matlab, Nazmul Akhlaq,
Tahliyah,
Makarjmul Akhlak, Washiyah Al Mustofa.
Tidak semua kitab-kitab tersebut diajarkan kyai
atau ustadz/ustazdah atau dipelajari sendiri oleh santri/wati, tapi hanya
sebagian kecil saja. Di antara kitab-kitab yang dipelajari adalah seperti pada
tabel berikut:
|
No
|
Mata Pelajaran
|
Nama Kitab
|
Kelas & Ket
|
|
1
|
Hadits
|
Al-Arbain al-Nawawiyah
|
V
|
|
Bulughul Marom
|
VI
|
||
|
2
|
Tajwid
|
Zad Mubtadi
|
I & II
|
|
Aqidah al Awam
|
III
|
||
|
Matan Ibrahim al-Bajuriy
|
IV
|
||
|
Al-Kharidah al-Bahiyah
|
V
|
||
|
As-Sanusiyah
|
VI
|
||
|
3
|
Fiqh
|
Fasalatan
|
I
|
|
Hidayah al-Mubtadi
|
|||
|
Safinah al-Salah
|
II
|
||
|
Tanwir al-Hija
|
III
|
||
|
Sullam at-Taufiq
|
IV
|
||
|
Fath al-Qarib
|
V dan VI
|
||
|
Uyun al-Masail li an-Nisa
|
VI
|
||
|
4
|
Nahwu
|
Al-Awamil
|
III
|
|
Al-Jurumiyah
|
IV
|
||
|
Al-Fushul al-Fikriyah
|
V
|
||
|
Al-Amriti
|
VI
|
||
|
5
|
Sharf
|
Al-Amsilah al-Tasrifiyah dan
Qaidah Nasar
|
III
|
|
Al-Amsilah al-Tasrifiyah,
Al-Qawaid al-Sarfiyah dan al-I’lal
|
IV
|
||
|
Al-Amsilah al-Tasrifiyah
|
V
|
||
|
Al-I’lal
|
V
|
||
|
Al-Maqsud
|
VI
|
||
|
6
|
Ilmu Tajwid
|
Fath al-Rahman
|
II
|
|
Hidayah al-Sibyan
|
III
|
||
|
Tuhfah al-Atfal
|
IV
|
||
|
Al-Jazariyah
|
V
|
||
|
7
|
Ilmu Akhlak
|
Nazm al-Akhlak
|
I
|
|
Nazm al-Matlab
|
II
|
||
|
Wasaya
|
III
|
||
|
Tahliyah
|
IV
|
||
|
Taisir al-Khallaq
|
V
|
||
|
8
|
Ilmu Imla
|
Qawaid al-Imla
|
VI
|
|
9
|
Ilmu khat
|
Mabadi Qiraah Asriyah
|
I dan II
|
|
10
|
Bahasa Arab
|
Ra’sun sirah
|
I
|
|
Mabadi Muhawarah li al-Atfal
|
II
|
||
|
Ta’lim al-lughah al-Arabiyah
|
III s.d V
|
d
f.Metode Pengajaran
Secara formal
pembelajaran di Darun Nahdhah dilaksanakan dengan sistem klasikal, dengan
menggunakan metode dan strategi yang variatif. Khusus dalam konteks
pembelajaran kitan kuning dilaksanakan dengan metode qawa’id tarjamah; untuk
tingkat Tsanawiyah diawali dengan bacaan kitab oleh kyai/ustadz/ustadza, sambil
mendengarkan santri memberi harakat setiap kata, kemudian nash tersebut diterjemahkan
dan diberi penjelasan. Adapun untuk tingkat Madrasah Aliyah lebih kurang sama
dengan tingkat tsanawiyah. Hanya saja, sekali waktu pembelajaran diawali dengan
bacaan kitab oleh santri kemudian bacaan tersebut didiskusikan berdasarkan
aturan qawa’id yang ada.
Dalam menjelaskan
sebuah materi yang terdapat di sebuah kitab tidak jarang kyai memberikan penjelasan
yang berkait dengan tatanan dan perilaku di masyarakat. Sehingga apa yang disampaikan
dapat menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi para santri sebagai bekal,
menjadi evaluator dan memberikan kritik membangun
tentang keadaan sosial, ekonomi, politik, terhadap pemerintah sesuai dengan
tema materi yang sedang dibaca kyai. Setiap santri memperhatikan kitabnya masing-masing
dan membuat catatan-catatan (baik arti per kata, maupun keterangan kyai) yang dianggap
penting dan diberi catatan di tepi kitab kanan atau kiri, sedangkan
terjemahannya ditulis dibawah teks kitab dengan huruf Arab dengan bahasa Arab
yang searti dengan kata-kata diatasnya atau dengan bahasa arab melayu atau
dengan bahasa Indonesia.
Tradisi kajian
kitab kuning tidak hanya dilakukan secara formal (klasikal) tapi juga secara
nonformal, yaitu dilaksanakan satu kali dalam seminggu yang disampaikan oleh
Abuya, dan bertempat di mesjid kampus. Kajiannya focus pada materi qawa’id
al-‘arabiyah.
e.
Santri yang Belajar
Santri/wati
pesantren Darun Nahdah terbagi dua; santri muqim, artinya santri yang tinggal
24 jam di pesanren; dan ghair muqim, artinya santri yang hanya mengikuti pembelajaran secara formal/tidak tinggal di pesantren.
Santri muqim merupakan mereka-mereka yang berasal dari jauh (mayoritas berasal
dari luar kota Bangkinang). Adapun santri ghair muqim mayoritas berasal dari
daerah bangkinang.
Dengan demikian,
pesantren tidak mewajibkan seluruh santrinya muqim/tinggal di pesantren. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya lahan dan sarana pemondokan. Di samping itu, hal
tersebut merupakan keinginan wali santri yang ingin anaknya belajar di
pesantren namun masih bisa jumpa keseharian dengan anak-anaknya. Bagi santri
muqim, mereka masih bisa mengikuti kegiatan-kegiatan tambahan; halaqah yang
diasuh langsung oleh abuya, tahsin dan tahfiz al-Quran, mudzakarah, dan lain
sebagainya.
2.
Pesantren Darel Hikmah
a. Sekilas Tentang Darel Himah
Pondok Pesantren Darul Hikmah atau
Dar El Hikmah (PPDH) didirikan pada tahun 1987 di jalan Manyar Sakti km.12
Simpang Baru Panam Pekanbaru. Pesantren berada di bawah naungan Yayasan Nur
Iman Pekanbaru dengan akte notaris
tanggal 12 September 1987 No 43 oleh notaris Tajib Raharjo, SH . Sejak saat itu
pembangunan fisik pun dimulai. Namun, setelah pembangunan rampung tidak
serta-merta kegiatan pesantren dapat dilaksanakan dikarenakan tenaga manajerial
profesional yang belum ada.
Berkat bantuan almarhum Bapak DR.H.
Satria Efendi M. Zen, salah seorang tokoh masyarakat Riau di Jakarta, dan dosen
pasca sarjana pada IAIN Syarif hidayatullah Jakarta serta salah seorang Pembina
di Pondok Pesantren darunnajah Jakarta, yang menghubungi Bapak Drs. KH. Mahrus
Amin selaku Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, maka semakin jelas
dan terarahlah langkah dan cita yayasan untuk mendirikan pondok pesantren di
bumi lancing kuning. Selanjutnya dijalin kerjasama dengan Pondok Pesantren
Darunnjaah Jakarta.
Pada pertemuan yang diadakan pada
tanggal 20 April 1991 yang dihadiri oleh segenap pengurus Yayasan Nur Iman
Pekanbaru dan simpatisan dari Jakarta antara lain almarhum DR.H. Satria Efendi
M. Zein dan Drs. KH. Mahrus Amin ditetapkan dan disepakati bahwa pondok
pesantren ini diberi nama "Pondok Pesantren Dar El Hikmah".
Pada tanggal 8 Agustus 1991 barulah
Pondok Pesantren ini dikenalkan kepada masyarakat dan secara resmi dibuka
operasional pemakaiannya oleh Bapak Oesman Effendi Affan, SH, Walikota
Pekanbaru, di kampus Pondok Pesantren Dar El Hikmah beralamat di jalan Manyar
Sakti Km.12 Desa Simpang Baru Kec. Tampan Kotamadya Pekanbaru.
Saat ini pesantren Darel Hikmah
mengelola empat lembaga pendidikan; Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah,
Madrasah Aliyah, dan SMK.
b.
Kurikulum Pesantren Darel Hikmah
Ada dua bentuk
kurikulum yang diberlakukan oleh pesantren Darel Hikmah; kurikulum pemerintah
dan kurikulum pesantren. Sejak awal berdirinya, pesantren Darel Hikmah telah
mengambil bentuk sistem madrasah atau sekolah dalam sistem pendidikannya.
Kurikulum utamanya berasal dari kurikulum pemerintah.
Adapun kajian
kitab kuning – ketika itu – hanya menjadi kegiatan ektrakurikuler yang
dilaksanakan setiap ba’da maghrib dan ba’da subuh. Kegiatan ini diikuti oleh
seluruh santri baik tingkat Tsanawiyah, Aliyah, maupun SMK. Ada tiga materi
yang disampaikan; kajian hadis dengan menggunakan kitab Riyadhus Sholihin,
kajian tafsir dengan kitab Jalalain, dan kajian tarbiyah dengan kitab Ta’limul
Muta’allim. Kajian-kajian tersebut dilakukan di mesjid.
Di samping itu,
kajian kitab kuning non formal lainnya dilakukan secara klasikal khusus bagi
santri Madrasah Aliyah, rinciannya sebagai berikut:
|
No
|
Kelas
|
Bidang Studi
|
Nama Kitab
|
|
1
|
I
|
Nahwu
|
Mukhtasor Jiddan
|
|
2
|
Fiqh
|
Fathul Qarib
|
|
|
3
|
II
|
Nahwu
|
Imrity
|
|
4
|
Fiqh
|
Fathul Qarib
|
|
|
5
|
III
|
Fiqh
|
Fathul Mu’in
|
|
6
|
Tauhid
|
Minhajul Abidin
|
Namun sejak tahun 2013 - untuk
tingkat Aliyah - kajian kitab kuning mulai diformalkan dengan subjek yang lebih
banyak, seperti sebagai berikut:
|
No
|
Bidang Studi
|
Nama Kitab
|
Ket
|
|
1
|
Fiqh
|
Kifayatul Akhyar
|
|
|
2
|
Nahwu
|
Mukhtasar Jiddan
|
|
|
3
|
Musthalah Hadis
|
Taisir Musthalah Hadis
|
|
|
4
|
Ushul Fiqh
|
Mabadi Awaliyah
|
|
|
5
|
Hadis
|
Bulughul Marom
|
|
|
6
|
Tafsir
|
Tafsir Jalalain
|
|
|
7
|
Ulum Tafsir
|
|
|
c.
Sebaran Kitab Kuning
Sebaran kitab kitab kuning di pesantren Darel Hikmah
sangat terbatas. Informasi yang diperoleh dari petugas pustaka pondok bahwa
kitab kuning yang ada lebih kurang hanya 12 judul saja, dan jarang dibaca dan
dipinjam oleh santri.
d.
Metode Pembelajaran
Adapun metode pembelajaran yang diterapkan sangat
variatif. Di samping menerapkan metode-metode modern juga menerapkan metode pengajaran salafiyah/tradisional
seperti sorogan, bandongan, halaqoh. Sedangkan bahasa pengantar di dalam kelas
adalah bahasa Arab untuk pelajaran-pelajaran agama Islam dan bahasa Arab, dan
bahasa Inggris untuk pelajaran bahasa Inggris. Untuk pelajaran umum lainnya menggunakan
bahasa Indonesia. Namun berdasarkan observasi bi’ah lughawiyah di pesantren
belum terbentuk sepenuhnya.
e.
Santri yang Belajar
Seluruh santri pesantren Darel Hikmah wajib muqim. Hal
tersebut memberikan kesempatan yang sama seluruh santri untuk mendapatkan
pelatihan, pembinaan, dan pendidikan sesuai dengan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pihak peantren.
a.
Sekilas tentang Babussalam
Pesantren Babussalam yang berdiri
dalam kompleks seluas ±10 Ha diresmikan pada tahun 1985 oleh Gubernur
Riau yang saat itu dijabat oleh Bapak H. Imam Munandar (alm). Pesantren
ini berada di bawah naungan yayasan Syekh Abdul Wahab Rokan yang saat ini
dipimpin oleh Syekh Haji Ismail Royan. Yayasan ini didirikan pada tanggal 21
November 1979 yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1400 H, oleh
Almarhum H. Ahmad Royan dan Almarhumah Hj. Faridah yang dikukuhkan
melalui Akta Notaris Syawal Sutan Diatas Nomor 56. Nama Yayasan ini
diambil dari nama seorang ulama yang mengembangkan tariqat naqsabandiah
dan pejuang Islam di Indonesia.
Berbeda dengan pesantren kebanyakan,
Babussalam memulai kiprahnya dengan mendirikan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) pada tahun 1985. SMP ini mengalami kemajuan yang signifikan. Hal
tersebut terlihat pada peningkatan status
yang tadinya TERDAFTAR menjadi DISAMAKAN pada tahun 1996. Di
tahun 2002 statusnya tergolong sekolah potensial sesuai SK Mendiknas RI No.
287/C/KEP/PM/2003. Dan pada tahun 2005, Badan Akreditasi Nasional Provinsi Riau
telah melakukan akreditasi terhadap SMP Babussalam dengan hasil predikat A
(Amat Baik). Kembali di tahun 2011 Badan Akreditasi Nasional Provinsi iau
melakukan akreditasi terhadap SMP Babusslam dengan memperoleh hasil predikat
"Akeditasi A (nilai 98,78)".
Kemudian tahun 1988 Babussalam mengembangkan lembaga
pendidikannya dengan mendirikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan gedung
sekolah yang terpusat sebanyak 3 lantai, menjadikan SMA Babussalam salah satu
unit pendidikan yang dilengkapi dengan fasilitas laboratorium memadai
(Lab.komputer, lab. fisika, lab.kimia, lab.biaologi dan lab.bahasa).Dalam
pengelolaannya, SMA Babussalam selalu berorientasi pada mutu (quality) sehingga
memiliki status DISAMAKAN sejak tahun 2000. Melalui Badan Akreditasi
Nasional Provinsi Riau, SMA Babussalam di tahun 2005 memiliki hasil
akreditasi dengan predikat "Akreditasi A (nilai 98.51)"
Untuk tingkat SMP dan SMA Babussalam menggunakan sistem
pendidikan asrama (boarding school). Semua santrinya wajib tnggal di asrama.
b.
Kurikulum Pesantren Babussalam
Kurikulum Pesantren
Babussalam mengambil pola kurikulum terintegras antara kurikulum umum (Diknas)
dengan kurikulum agama (Pesantren). Untuk kurikulum agama Babussalam mengadopsi
kurikulum madrasah (kementerian agama). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kajian kitab kuning bukan merupakan
tradisi pesantren ini. Adapun sistem boarding school yang diterapkan tak lain
adalah untuk mewujudkan visi Babussalam: “ melahirkan
Generasi Islami, yang Beriman, Berilmu, Beramal dan Berakhlak mulia
serta Berbudaya Melayu, Mandiri, Berdaya saing Tinggi dalam Dunia global”.
Namun saat ini mulai tahun 2013 Babussalam melakukan perubahan terhadap
kurikulum pesantrennya. Ia tidak lagi mengadopsi kurikulum madrasah untuk mata
pelajaran agamanya, tetapi menjadikan kitab kuning sebagai referensinya dan
terintegrasi (formal) dengan kurikulum umum (Diknas). Perubahan ini dilakukan
sebagai jawaban dari asumsi masyarakat bahwa pesantren identik dengan kitab
kuningnya; bahwa ternyata Babussalam selalu mendapat undangan untuk mengikuti
Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK) baik tingkat lokal maupun nasional.
Berikut ini kitab-kitab kuning yang digunakan:
|
No
|
Bidang
Studi
|
Nama
Kitab
|
Jenjang
|
|
1
|
Tafsir
|
Tafsir Jalalain
|
SMP
|
|
|
|
Tafsir al-Qurtuby
|
SMA
|
|
2
|
Hadis
|
Arba’in Nawawi
|
SMP
|
|
|
|
Arba;in Nawawi
|
SMA
|
|
3
|
Fiqh
|
Shofwatun Najah
|
SMP
|
|
|
|
Kasyfi al-Saja’
|
SMP
|
|
4
|
SKI
|
Khalashoh Nurul
Yaqin
|
SMP
|
|
|
|
Syiroh Nabawiyah
|
SMA
|
|
5
|
Nahwu
|
Matan Jurumiyah
|
SMP
|
|
|
|
Imrity
|
SMA
|
|
6
|
Sharaf
|
Amtsilah
Tashrifiyah
|
SMP
|
|
|
|
Tashriful
Wadhihah
|
SMA
|
|
7
|
Akidah
|
Aqidatul Awam
|
SMP
|
|
|
|
|
SMA
|
|
8
|
Muhadatsah
|
Al-Hiwar lil
Mubtadiin
|
SMP
|
|
|
|
Al-Hiwar lil
Mubtadiin
|
SMA
|
Di samping itu, dalam rangka mensukseskan orientasi barunya – pesantren
yang identik dengan bahasa Arab dan kitab kuningnya - Babussalam mengadakan
pelatihan bahasa Arab untuk para gurunya. Hal tersebut di adaakan dua kali
dalam seminggu.
E. Kesimpulan
Ketiga
pondok pesantren, Darun Nahdhah di Bangkinang, Darel Hikmah dan Babussalam di
Pekanbaru merupakan pesantren bertipologi khalafiyah. Pesantren-pesantren
ini telah mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam
pondok pesantren. Pesantren-pesantren ini telah memasukkan pengetahuan-pengetahuan umum di dalam
kurikulum pendidikannya , bahkan sejak awal-awal berdirinya. Pengajian
kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang hanya sekedar
pelengkap, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi.
Dengan
karakter dan keunikan masing-masing, ketiga pesantren ini telah melakukan
perubahan-perubahan terkait tradisi kajian kitab kuning; pesantren Darun Nahdhah
telah merubah kurikukulumnya dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebijakan di
luar dirinya. Yaitu bahwa IAIN Pekanbaru kala itu telah mempersyaratkan ijazah
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) bagi
tamatan pesantren yang ingin melanjutkan studinya; pesantren Darel Hikmah telah
merubah tradisi kitab kuningnya dari program tambahan/pelengkap ke program inti
(ekstrakurikuler ke kurikuler) disebabkan minimnya sumber daya manusia (guru)
yang mampu mengampu kajian-kajian kitab kuning; Babussalam pun telah membuat
perubahan terhadap kurikulum agamanya, dari “kitab putih” (kurikulum keagamaan
madrasah) ke kitab kuning. Alasannya sangat pragmatis dan sederhana. Yaitu
untuk menjawab tantangan eksternal untuk bisa mengikuti perlombaan Musabaqah
Qiraatul Kutub (MQK).
Sekali
lagi, sebuah penelitian membuktikan bahwa tradisi kajian kitab kuning di
pesantren-pesantren tidak dibawa hanyut oleh masa. Dari awal-awal munculnya
sampai saat ini, pesantren masih mampu mempertahankan tradisi tersebut. Adanya
perubahan sosial yang menyebabkan
lahirnya ragam visi dan misi pada awal
berdirinya sebuah pesantren -
walaupun, misalnya, keluar dari
karakteristik sebuah pesantren;
tanpa kiai, tanpa kitab kuning,
dan lain-lain – belum lagi mampu menghilangkan imej bahwa pesantren identik
dengan kitab kuning. Hasil penelitian
ini menunjukkan, untuk kasus pesantren darel Hikmah dan pesantren Babussalam, akhirnya,
come back-nya pesantren-pesantren “yang tersesat jalan”. Artinya, tradisi kajian kitab kuning yang
pada awalnya tidak ada, atau diperlakukan sebagai kegiatan
tambahan atau ekstrakurikuler, pada akhirnya kembali ada dan diperlakukan
sebagai core curriculum.
[1]Marzuki
Wahid dkk. (ed.), Pesantren Masa Depan: wacana Pemberdayaan Dan Traspormasi
Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 222.
[2]Lihat
Ali Yafie, Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam, dalam „Pesantren”
jurnal Vol. VI (1), Tahun 1988, h. 3.
[3]
Lihat
DEPAG RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, Jakarta, DEPAG, 2001, h., 32.
[4]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di
Indonesia Abad ke-19, Jakarta, Bulam Bintang, 1984, h., 157.
[5]Lihat: Abdurrahman
Wahid, Asal-Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren, dalam “Pesantren”
Jurnal, No. Perdana (1984), h. 8.
[7]
Amin
Haedari, dkk., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), h.76
[8]
8
Ibid., h. 78-79
[9]Atmaturida, Sistem
Pengelolaan Pondok Pesantren, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta,
2001), h. 28.
[10] Lihat John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1980), cet. VIII,
h. 599
[11] Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, h. 1089
[12]Lihat Abuddin Nata, Kapita Selekta
Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Jakarta: PT
Rajagrapindo Persada, 2013), h. 315
[13]
Lihat Amir Haedari, op. cit.,
h. 5
[14] Lihat Martin van Bruinessen, Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1999), cet. III, h. 27
[15] Abdullah Aly, Pendidikan Islam
Multikultural di Pesantren, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 185
[16] Lihat Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab
Kuning: Sebuah Observasi Umum”, dalam Said Aqiel Sirajd (ed.), Pesantren
Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Tranformasi Pesantren, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), h. 235-236
[17] Lihat Yasmadi, Modernisasi Pesantren,
(Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 90
[18] Abuddin Nata, op. cit., h.
321-322
[19]
Mochtar dalam
Wahid, dkk (Ed.), op. cit., h. 241-244
[20]
Kitab kuning dalam disiplin bahasa Arab berkaitan erat terutama dengan
masalah-masalah nahwu, shorf dan balaghah. Kitab kuning shorf
paling dasar bagi para pemula adalah Al-Bina wa Al-Asas karya Mulla
Al-Danqari, kemudian dilanjutkan kitab Al-Tashrif buah karya Ibrahmin
Al-Zanzani atau kitab Al-Maqshud. Dalam bidang ini, kitab dalam bahasa
jawa pun beredar misalnya kitab Al-Amsilah Al-Tashrifiyyah karya
Muhammad Ma’shum bin Ali, asal Lasem, Jawa Tengah dan shorf mlangi hasil
anggitan Kyai Nur Iman dari Mlangi, Yogyakarta. Setelah itu setingkat lebih
tinggi ada kitab kuning syarkh (komentar) atas Al-Maqshud yaitu Hall
Al-Maqal karya Muhammad Ullays (w. 1881 M) dan komentar atas Al-Tashrif yaitu
Kaylani karya Ali Ibn Hisyam Al-Kaylani. Sedangkan dalam bidang Nahwu,
kitab kuning pemula adalah Al-Awamil Al-Miah karya Abd Al-Qahir Ibn
Abdirrahman Al-Jurjani (w. 471 H), Al-Muqaddimah Al-Ajrumiyyah karya Abu
Abdillah Ibn Dawud Al-Shanhaji bin Ajrum (w. 723 H). Kemudian kajian nahwu
tingkat menengah menggunakan Al-Durar Al-Bahiyyah yang dikenal dengan ‘Imrithi
karangan Syarf Ibn Yahya Al-Anshari Al-Imrithi dan lebih tinggi lagi
menggunakan kitab kuning Al-Mutammimah karya Samsuddin Muhammad bin
Muhammad Al-Ru’yani Al-Khatabi dan Alfiyyah Ibn Malik beserta kitab
kuning syarkh yang dikenal dengan Ibn Aqil anggitan Abdullah bin
Abdirrahman Al-Aqil. Adapun yang membahas balaghah sekurang-kurangnya
ada tiga kitab kuning yang terkenal yaitu Al-Jauhar Al-Maknun karya
Abdurrahman Al-Akhdari (w. 920 H/1514 M), Al-Mursyid Ala Uqud Al-Juman fi
‘Ilm Al-Maani wa Al-Bayan karya Jalaluddin Al-Suyuthi yang meupakan edisi nadzm
dari ‘Ilm Al-Ma’ani wa Al-Bayan karya Sirajuddin Al-Sakkaki dan Al-Risalah
Al-Samarqandiyyah karya Abu Al-Qasim Al-Samarqandi.
[21] Kitab kuning yang paling terkenal dalam masalah ini
adalah Al-Sulam Al-Munawarraq fi ‘Ilm Al-Manthiq karya Al-Akhdar,
pengarang kitab Al-Jauhar Al-Maknun. Komentar atas kitab kuning ini
dibuatnya sendiri dalam Idat Al-Mubham min Ma’ani Al-Sulam. Selain itu
ada satu lagi kitab kuning manthiq yang selalu dikaji di pesantren yaitu
Isaghuzi, karya Atsiruddin Mufadhdhal Al-Bahri (w. 663 H/1264 M).
[22] Adapun kitab kuning dalam bidang fiqh hampir semua
yang beredar termasuk dalam kriteria fiqh Madzhab Syafi’i. Van Bruinessen
mengungkapkan bahwa karya-karya fiqh Syafi’i berasal atau merupakan kreasi
lanjutan dari tiga kitab kuning yang muncul sebelumnya yaitu Al-Muharrar
karya Al-Rafi’i (w. 625 H/1226 M), Al-Taqrib karya Abu Syuja’
Al-Isfahani (w. 593 H/1197 M) dan Qurrah Al-Ayn karangan Al-Malibari (w.
9756 H/1567 M). Dari garis Al-Muharrar lahir Minhaj Al-Thalibin
karya Abu Zakariyya Yahya An-Nawawi (w. 676 H/1277-8 H). Kemudian generasi
berikutnya kitab-kitab kuning yang ada merupakan syarkh atas Minhaj yaitu Tuhfah
Al-Muhtaj karya Ibn Hajar Al-Haytami (w. 973 H/1565-6 M) dan Nihayah
Al-Muhtaj karya Samsuddin Al-Romli (w. 1004 H/1595-6 M). Begitu juga Mughni
Al-Muhtaj karya Khatib Al-Syarbini (w. 977H/1569-70 M), Kanz Al-Raghibin
yang lebih dikenal dengan Al-Mahalli karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864
H/1460 M) dan Minhaj Al-Thullab karya Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H1520
M). Generasi ketiga dari kitab Al-Muharrar adalah karya Al-Anshari, Fath
Al-Wahhab yang merupakan ringkasan dari karyanya sendiri yaitu Minhaj
Al-Thullab. Kitab kuning lainnya dari generasi ini hanya merupakan
ringkasan dan intisari dari kitab kuning generasi sebelumnya. Sementara itu
dari kitab Fath Al-Wahab lahir dua kitab hasyiyah (komentar atas
komentar), masing-masing oleh Bujayrimi (w. 1221 H/1806 M) dan Jamal (w. 1204
H/1780-90 M).
Adapun dari
kitab Ghayah wa Al-Taqrib karya Abu Syuja juga lahir dan berkembang
sejumlah kitab kuning di lingkungan pesantren. Dari kitab ini muncul Al-Iqna’
karya Syarbini (w. 977 H/1569-70 M), Kifayah Al-Akhyar karya Al-Dimasyqi
(w. 829 H/1426 M0 danb Fath Al-Qarib karya Ibn Qasim (w. 918 H/1512 M).
Garis lain dari fiqh Syafi’i adalah Kitab Qurrah Al-‘Ayn karya
Al-Malibari. Dari sini lahirlah Nihayah Al-Zayn karya Syaikh Nawawi
Al-Bantani dan Fath Al-Mu’in karya lanjutan Al-Malibari sendiri.
Kemudian dua kitab kuning lain lahir dari Fath Al-Mu’in yaitu I’anah
Al-Thalibin karya Sayyid Bakri (w. 1893 M) dan Tarsyih Al-Mustafidin
karangan Alwi Al-Saqqaf (w. 1916 M).
Dalam daftar
van den Berg ada garis lain yakni kitab kuning elementer abad ke 9 H, yaitu
kitab Muqaddimah Al-Hadhramiyyah karya Abdullah bin Abdul Karim
ba-Fadhal. Dari garis ini lahir Minhaj Al-Qawim karya Ibn Hajar,
yang kemudian pada abad ke 18 melahirkan Al-Hawasyi Al-Madaniyyah karya
Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi. Melalui garis ini, kitab kuning yang paling
terkenal dan beredar di hampir seluruh pesantren di Jawa hanya kitab Minhaj
Al-Qawim yang kandungannya terbatas pada fiqh ibadah saja. Adapun dua kitab
komentar lagi atas kitab Al-Muqadddimah adalah karya Syaikh Mahfudz
Al-Tirmisi dan Busyr Al-Karim bi Syarkh Masail Ta’lim ala Muqaddimat
Al-Hadhramiyyah karya Said bin M. Bahsin.
[23]
Dalam bidang
Ushul Fiqh pesantren mengenal beberapa kitab di antranya Al-Waraqat
karya Imam Al-Haramayn (419-478 H/1028-1085 M), Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh
karya Abu Ishaq Al-Syairazi Al-Syafi’i (w. 476 H), Lathaif Al-Isyarat
dan Jam’ Al-Jawami’ karya Tajuddin Al-Subki (w. 769 H) serta
Al-Asybah wa Al-Nadzair karya Jalaluddin Al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505
M).Kitab Jam’ Al-Jawami’ karya Al-Subki mendapatkan komentar dalam Lubb
Al-Ushul karya Abu Zakariya Al-Anshari. Lubb Al-Ushul sendiri
mendapatkan komentar oleh Muhammad Al-Jauhari dan Abu Zakariya Al-Anshari dalam
Ghayah Al-Wushul. Jalaluddin Al-Mahalli juga mempunyai komentar atas
Jam‘ Al-Jawami’ yang kemudian mendapatkan komentar atas komentar dari
Al-Bannani .(Hanafi, 2004: 33)
[24] Dalam bidang tafsir ada kita Jalalain,
Munir, lbnu Kasir, Tafsir Yasin, Al Tahbir, Baidowi, Jamiul Bayan/ Tabari, Al
Kazin. Adapun dalam bidang ilmu tafsir, yaitu: Tibyan fi
Adabi Hamalatil Quran, Asbabun Nuzul, Ilmut Tafsir, Al Burhan fi UlumilQur’an,
Al ltqan, Itmamu Diraya.
[25] Arba’in nawawi, Tanqihul qaul,
Riyadussalihin, Adzkarunnawawi, Sahih Buchori, Durratunnasihin, Syarah
NadzomBaiquniyah, Minhaj Dzawinnazhar, Alfiyah Suyuti, Al Muwato, Usfuriyah,
Majalisus Saniyah, Tanqihul Qaul, Sunan Tirmizi, Sunan Nasal, Sunan Abu daud,
Sunan lbnu Majah, Sahih Muslim, Al jami’ As Sagir.
[26]
Matan
Tijanuddirari, Syarh Tijanuddirari, ‘Aqidatul Awam, Umul Barahin, Sanusiyah,
Syu’bun Iman, Qatrul Gais, Qamiuttugyan, Kifayatul Awam, Bahjatul Wasail, Nuruz Zulum,
Daqaiqul Akhbar, Kharidatul Bahiyah, Fathul Majid, Dasuki, Hudhud, Syarqowi, Usuluddin.
[27] Hikam/Syarh, lhya Ulumuddin, Risalah Muawanah, Nasaihuddiniyah, Sirajuttalibin, Bidayatulhidayah,
Tanwirul Qulub, Salalimul Fudhala, Irsyadul Ibad, Kasyfus Saja, Dalilul Khairat, Hidayatul Adkiya,
Sairus Salikin, Hidayatus Salikin, Tanbihul Gafilin, Mudrajus suhud, Irsyad al
Fuhul, Zurratun Nasihin, Sabilul Izkar, Mauizatul Mu’minin, Insan Kamil, Al
Maftuhah Arabi, Fathu Rabb Al bariyah. Dan dalam bidang akhlak diajarkan:
Matan/syarahTa’limulmu ta’allim, Ahlak lil Banin, Akhlak lil Banat, Munadorotul walidiyah,
Wasaya, ‘Idotu nnasi’in, ls’adur Rafiq, Tafrihatul Wildan, Wa saya, Nasaihul
Ibad, Qamiut Tugyan, Taisirul Khalaq, Nazmul Matlab, Nazmul Akhlaq, Tahliyah,
Makarjmul Akhlak, Washiyah Al Mustofa.
[28]Kecenderungan
pesantren terhadap studi fikih, sudah dimulai abad ke-17. Islam Indonesia yang
semula berorientasi tasawuf secara berangsur-angsur dan bertahap menjadi lebih
berorientasi syari'ah. Hal ini antara lain disebabkan suatu proses gerakan
pembaharuan atau "pemurnian" yang sudah mulai abad ke-17 tersebut. Gelombang
pembaharuan tersebut misalnya tampak pada kemunculan gerakan Padri di Sumatra
barat yang dikenal sebagai bersemangat Wahabi. Kaum Muda dan gerakan modernis
seperti Al-Irsyad, Muammadiyah, dan Persis. Tarekat Naqsabandiyah yang lebih
berorientasi syari'ah dari pada tarekat sebelumnya, setidak-tidaknya ikut
berpartisipasi dalam proses pembahatvan tersebut. Sampai munclnya tarekat
Naqsabandiyah tersebut pada akhir abad ke-17, gelombang pembaharuan pembaharuan
itu masing-masing membawa perhatian yang lebih besar terhadap fikih dan
kemuadian juga ushul fikih. Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa...,
op. cit., h., 143-4, 173-4.
[29]Untuk
mengetahui garis perkembangan kitab-kitab tersebut di atas, lihat Affandi
Mochtar, op. cit. h., 242-3.
[30] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1998), h. 87
[31] Lihat Astrid S. Susanto, Pengantar
Sosiologi dan perubahan Sosial, (Bandung: Binacipta, 1979) cet. II, h. 178
[32]
Jones,
Sidney. "The Javanese Pesantren: between elite and peasantry " in Reshaping
Local Worlds: formal education and cultural change in Southeast Asia,
edited by Charles Keyes. (New Haven: Yale Center for International and Area
Studies, 1991), hlm. 20.
[33] Ibid
[34] Muhammad Jamilun, Pesantren dan
Otentisitas Pendidikan Kita, (Jakarta: Pesantren, edisi V/th.1/2002), h.47
[35]Hefner. 2009. Op. Cit. 64-65.
[36]Zuhdi.
Op. Cit, hlm. 20.
[37]
Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, ( Jakarta: Logas Wacana
Ilmu, 1999), h. 44
[38]Roy. Op. Cit, h. 270.
[39] A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan
Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan
Naskah Indonesia, LP3NI, 1998), h, 218
[40] Suadi Putro, Muhammad Arkoun tentang
Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 45.
[41] Amin Haedari, Panorama Pesantren
dalam Cakrawala Modern, ( Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h. 30-32
- 15.50
- 0 Comments

